Rabu, 31 Juli 2013

Ramadan di Sampang

Ramadan di Sampang
Syafiq Basri  ;   Penggagas Gerakan Antiradikalisme Islam, Muslim Bhinneka Indonesia
MEDIA INDONESIA, 30 Juli 2013


SAAT sahur di sebuah musala di Sampang, Madura, kita membayangkan sekelompok orang bermunajat, memohonkan kebaikan bagi tetangga, teman, dan handai tolan. “Tuhan, kenyangkanlah setiap yang lapar di antara kami; Gusti, lapangkanlah mereka yang sedang dalam kesulitan.”

Itu petikan salah satu doa Imam Syiah, yang menjadi anutan mereka. Saat Ramadan, khususnya pada setiap habis salat, doa semacam itu, yang di dalamnya selalu menyertakan orang lain, banyak mereka lantunkan, sesuai dengan tuntunan akhlak ke-12 Imam Syiah Istna’asyariyah.

Namun, rupanya ajaran agar berbudi baik itu tidak cukup membuat mereka hidup tenang. Mereka dianggap sesat sehingga harus dikucilkan dan mengungsi di negeri sendiri. Rumah dan pesantren mereka dibakar dan aparat negara melakukan pembiaran lalu mengatakan itu karena mereka ‘berkonflik’ dengan yang mayoritas, bukan sedang dizalimi atau ditindas.

Mereka dituduh menyeleweng, atau kafir, sehingga mesti bertobat. Akibat tudingan model begitu, tidak mengherankan bila dalam pertemuan dengan pengungsi Sampang di Surabaya pekan lalu, Menteri Agama Suryadharma Ali dan ulama yang mendampinginya mengotot meminta para pengikut Syiah itu melakukan taubatan nasuha lebih dulu sebelum dipulangkan ke Sampang. Menurut Direktur LBH Universalia Hertasning Ichlas, yang mendampingi pengungsi, keyakinan yang didorong tekanan dan paksaan model itu tidak konstitusional, semu, dan memalukan bagi cara dakwah ahlus sunnah.

Tuduhan yang lain ialah bahwa Quran Syiah berbeda. Namun, anggapan itu dibantah banyak pakar muslim, baik dari Syiah ataupun Sunni. Dalam sebuah seminar Sunni-Syiah di Jakarta pada 1980-an, Nurcholish Madjid (almarhum) terpaksa menunjukkan dua kitab Quran (yang dibelinya di Iran) kepada peserta seminar. Keduanya sama dengan Quran kita. Cak Nur rupanya tak suka mayoritas muslimin yang Sunni memfitnah saudaranya yang minoritas. Ketika bertugas ke Iran sebagai wartawan, penulis juga membuktikan Quran yang dijual di sana sama persis dengan Quran kita. Quran itulah yang dibaca dalam setiap Musabaqah Tilawatil Quran Internasional, yang diikuti qari’ Sunni dan Syiah sedunia.

Sesungguhnya fitnah model begitu bukan hal baru. Sejak dahulu politik penguasa Bani Umayah (661-750 M) dan Bani Abbasiyah (750-1258 M) biasa mendiskreditkan para pengikut keluarga (Ahlul Bait) Nabi, yang populer disebut Syiah, karena khawatir ‘ancaman’ yang mungkin datang dari para pemimpin keluarga Nabi yang banyak mendapat penghormatan dan simpati masyarakat luas baik secara terang-terang an maupun diam-diam.

Akibatnya, kelompok Syiah yang sejak awal terbentuknya sudah selalu terjepit dan dianiaya sering menjadi bulanbulanan musuh politik mereka, atau oleh mereka yang kurang paham mengenai perbedaan mazhab dan perlunya sikap toleran.

Tak mengherankan bila mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam diskusi di sebuah stasiun TV swasta belum lama ini mengatakan penganut Sunni maupun Syiah, mesti kembali menengok sejarah.

Syiah diciptakan Abdullah bin Saba'?

Di antara sejarah yang penting mengenai Syiah ialah adanya anggapan bahwa mazhab Syiah diciptakan Abdullah bin Saba', seorang Yahudi yang bermaksud memecah belah Islam. Namun, banyak pakar, baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, membantah hal itu. Menurut mereka, kisah Abdullah bin Saba' hanya bersumber dari Saif bin Umar (hidup pada pertengahan abad kedua Hijriah) yang diragukan kredibilitasnya.
Ilmuwan kenamaan Mesir Thaha Husain juga menyatakan figur Bin Saba' itu hanya fiktif dan bahwa ia hasil rekayasa musuh-musuh Syiah. Profesor Quraish Shihab mengutip itu (2007, hlm 65). Shihab juga beranggapan para penganut Syiah, pakar-pakar Sunni, dan Ibnu Khaldun (dalam Tarikhnya) berpendapat bahwa benih Syiah muncul sejak masa Nabi SAW, atau setidaknya secara politis benih itu muncul saat wafatnya Nabi SAW.

Sejarawan menulis, saat Nabi baru wafat sebagian sahabat Nabi, dipimpin Umar bin Khattab RA, membaiat (mengangkat) Abubakar RA sebagai khalifah I di balairung Tsaqifah Bani Saidah, di pinggiran Kota Madinah. Pada waktu yang sama, keluarga Nabi SAW dan sejumlah sahabat lain tidak ikut ke Tsaqifah, tetapi tetap berada di samping jenazah Nabi yang belum dimakamkan.

Mereka keberatan terhadap pengangkatan Abubakar itu, antara lain karena telah meyakini bahwa nash Alquran dan hadis Nabi telah jelas menunjukkan penerus kepemimpinan pascaNabi ialah Ali bin Abithalib RA. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai `pengikut' (atau Syiah) Ali, sebagai pembeda dengan Syiah sahabat Abubakar dan Umar.

Selanjutnya Syiah berkembang dan terpecah menjadi empat kelompok besar, Ghulat (yang ekstrem), Ismailiyah, Zaidiyah, dan Imamiyah alias Istna’Asyariyah (12 Imam). Sebagian firqah itu terpecahpecah lagi, sementara lainnya (seperti Ghulat) sudah punah.

Hanya dua kelompok yang terus bertahan dan dimasukkan ke golongan umat Islam, yakni Syiah Zaidiyah (banyak terdapat di Yaman), dan Syiah Itsna’ Asyariyah yang merupakan kelompok terbesar dan dianut penduduk Iran, Irak, Suriah, Libanon, Kuwait, Bahrain, India, Pakistan, Arab Saudi, Mesir, dan 3 jutaan orang di Indonesia. Sekitar 250-an juta penganut mazhab Syiah di dunia (15%-20% dari 1,7 miliar muslimin dunia) itu selama ini tetap melaksanakan haji dan umrah karena pemerintah Saudi tak pernah menganggap mereka di luar Islam.

Sejarah para pendiri mazhab fi qih juga menunjukkan mereka bertukar ilmu. Ja’far As-Shadiq, imam keenam Syiah, misalnya, ialah guru dua pemimpin mazhab Sunni, Nu’man bin Tsabit alias Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), dan Malik (pendiri mazhab Maliki). Kemudian, Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik, dan Imam Hambali berguru kepada Syafi'i. Hambali dan Syafi'i (yang paling banyak diikuti di Indonesia) ialah juga pendiri mazhab Sunni.

Maka bisa dikatakan bahwa, bila hendak melihatnya dari sisi positif, sejatinya perbedaan yang ada di antara kedua mazhab besar itu utamanya hanya berkisar dalam masalah sejarah dan politik zaman dulu, yang mestinya pada era kita sekarang tidak perlu sampai membuat permusuhan di antara keduanya.

Terlebih di Indonesia, Syiah terbukti memiliki peran dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara zaman dulu. NU sendiri, menurut banyak pakar, secara budaya juga dekat dengan Syiah. Menurut tokoh asal Madura Mahfud MD, orang Sunni di Madura kerap mengucapkan selawat yang sama dengan orang Syiah--misalnya, dalam penyebutan lima orang yang pasti tidak masuk neraka, yakni Nabi Muhammad SAW, Ali (Al-Murtadho), kedua anak Ali, Hasan dan Husein, serta ibu mereka Siti Fatimah, yang merupakan putri Nabi.


Bagaimanapun, bila masih tetap ngotot bahwa Syiah berbeda dengan Sunni, dengan kacamata positif kita tetap bisa melihat hal itu sebagai desain Allah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar