Sabtu, 31 Agustus 2013

“Abenomics”

“Abenomics”
Muhammad Syarkawi Rauf ;  Dosen FE Unhas,
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KOMPAS, 30 Agustus 2013


Pemulihan ekonomi Jepang berada pada jalur yang tepat. Hal ini ditandai oleh kemenangan Partai Demokratik Liberal dalam pemilihan majelis tinggi Jepang, akhir Juli lalu. Kemenangan itu memberikan mandat lebih besar kepada pemerintahan Shinzo Abe dalam menjalankan paket reformasi ekonominya yang populer disebut Abenomics.
Paket reformasi ekonomi Abenomics bertujuan menyelesaikan permasalahan struktural perekonomian Jepang yang sejak beberapa tahun terakhir mengalami deflasi, rasio utang khususnya utang dalam negeri terhadap PDB sangat besar, pertumbuhan ekonomi negatif, dan daya saing global yang melemah.
Paket reformasi Abenomics memiliki tiga kerangka pokok. (1) Monetary easing policy yang hampir serupa dengan quantitative easing policy oleh The Fed, bank sentral Amerika Serikat. (2) Mengurangi defisit fiskal secara signifikan dengan cara memangkas utang dan menyederhanakan program jaminan sosial. (3) Revitalisasi ekonomi dengan cara meningkatkan daya saing industri.
Dalam jangka pendek, paket reformasi Abenomics telah mampu membangkitkan perekonomian Jepang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi 4,1 persen pada triwulan pertama tahun 2013, lebih tinggi dari perkiraan sekitar 3,5 persen.
Tambahan likuiditas ke dalam perekonomian Jepang yang akan mencapai 50 triliun yen dalam setahun─ setara dengan 6,5 kali PDB Indonesia tahun 2012─ menguatkan kembali nilai yen menjadi 94 yen per dollar AS pada Juni 2013, setelah sebelumnya terdepresiasi dari 79 menjadi 103 yen per dollar AS pada Mei 2013.
Namun, dalam jangka menengah dan panjang, sebagian masyarakat Jepang masih tidak yakin terhadap Abenomics. Transmisi kebijakan moneter super longgar ke sektor riil masih perlu pembuktian karena hingga saat ini angka pengangguran di Jepang masih tinggi.
Fokus reformasi
Beberapa bulan sejak terpilih sebagai perdana menteri Jepang, Shinzo Abe merampungkan paket reformasi ekonomi yang dirumuskan oleh tiga dewan, yaitu: (1) Dewan reformasi kebijakan ekonomi dan fiskal. (2) Dewan peningkatan daya saing industri. (3) Dewan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil diskusi dari tiga dewan di atas terangkum dalam lima isu:
Pertama, bank sentral Jepang (BOJ) didorong menjalankan monetary policy easing dengan membeli surat berharga berisiko tinggi. Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan likuiditas perekonomian dalam rangka memengaruhi sektor riil. Kelebihan likuiditas diharapkan dapat segera ditransmisikan ke kegiatan ekonomi riil untuk membuka lapangan kerja baru.
Kedua, Pemerintah Jepang harus menjalankan kebijakan revitalisasi ekonomi dan rekonstruksi kebijakan fiskal secara simultan. Tujuannya mempercepat proses pemulihan ekonomi dengan cara meningkatkan produktivitas yang secara bersamaan menurunkan rasio utang pemerintah terhadap GDP. Pemerintah harus mampu mengurangi separuh defisit fiskal tahun 2015 berdasarkan posisi tahun 2012 dan menjadikan anggaran surplus tahun 2020.
Ketiga, untuk mencapai tujuan di atas, pemerintah dituntut memotong anggaran dan menyederhanakan program jaminan sosial. Tidak terhindarkan, pemerintah akan mengurangi pekerja sektor publik dan juga pemotongan anggaran pemerintah daerah.
Keempat, menjadikan kegiatan inovasi sebagai mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi Jepang yang difokuskan pada lima area, yaitu energi bersih dan ekonomis, perbaikan layanan kesehatan dan peningkatan angka harapan hidup melalui inovasi teknologi kesehatan, pengembangan infrastruktur, revitalisasi perekonomian daerah, dan percepatan proses rekonstruksi pascatsunami.
Kelima, mendorong peningkatan partisipasi kaum perempuan dalam semua kegiatan ekonomi. Pemerintah Jepang juga dituntut meningkatkan pendapatan per kapita dari kondisi saat ini 3,84 juta yen (setara dengan Rp 384 juta per kapita per tahun) menjadi 5,34 juta yen, setara dengan Rp 534 juta per kapita per tahun dalam 10 tahun ke depan.
Permasalahan lanjutan
Implementasi paket reformasi Abenomics melalui kebijakan moneter ekstra longgar telah menyebabkan nilai tukar yen per dollar AS terdepresiasi yang kemudian meningkatkan kinerja industrinya yang berorientasi ekspor. Daya saing produk ekspor perusahaan Jepang membaik dan indeks harga saham gabungan di bursa Tokyo mengalami peningkatan.
Namun, depresiasi yen per dollar AS menyebabkan impor bahan baku industri menjadi mahal. Sebagai contoh, kenaikan biaya impor minyak dan gas bumi menambah beban biaya energi listrik. Sejak gempa tsunami beberapa waktu lalu, pembangkit listrik di Jepang lebih mengandalkan bahan bakar minyak dan gas bumi.
Monetary easing menyebabkan kelebihan likuiditas dalam perekonomian Jepang. Kondisi ini melambungkan harga saham sekitar 50 persen pada Mei 2013 dibandingkan dengan posisi Desember 2012 (The Japan Times, 19/06/13). Perkembangan ini mengarah pada stock market bubble, yaitu meningkatnya harga saham tanpa diikuti oleh perbaikan kondisi fundamentalnya.
Inflasi yang mulai positif dan diperkirakan mencapai 2 persen dalam dua tahun mendatang menyebabkan biaya hidup meningkat. Kesejahteraan masyarakat menurun dan akan semakin buruk jika pemerintahan Shinzo Abe merealisasikan pemangkasan program jaminan sosial.
Akhirnya, sebagai negara perekonomian terbesar ketiga dunia dan sebagai partner dagang utama Indonesia, ketidakpastian pemulihan ekonomi Jepang melalui paket reformasi ekonomi Abenomics memberi sinyal bahwa dalam tiga tahun ke depan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan sangat bertumpu pada pasar domestik. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu segera menyusun paket kebijakan ekonomi baru untuk mengoptimalkan peran pasar domestik sebagai engine of growth. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar