Kamis, 29 Agustus 2013

Anatomi Sebuah Krisis

Anatomi Sebuah Krisis
Rhenald Kasali ;   Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 29 Agustus 2013


Bukan cerita baru bahwa pasar modal bisa menjadi pemicu krisis. Harian ini bahkan kemarin memasang wajah Menteri Keuangan dengan mata terpejam seperti tengah frustrasi tak kuasa menahan tekanan terhadap rupiah. 

Pasar modal, simbol kapitalisme, pemicu munculnya plutocrats (kalangan superkaya) tetapi juga pemicu kehancuran, sudah pasti menjadi perhatian Pak Menteri. Banyak studi dan laporan yang telah dibuat kaum cerdik pandai. Tak kurang ekonom terkemuka Milton Friedman. Semuanya menunjukkan krisis itu ada polanya, tetapi juga ada ketidakpastian meski dalam aksara China krisis dimaknai sebagai danger and opportunity at the same time. 

Maka jangan heran bila menteri A bilang “ini sudah krisis” (yang artinya “berbahaya”), sedangkan yang lainnya menyatakan “belum, masih jauh kok!” Tapi, bagaimanapun, krisis itu adalah sebuah titik persimpangan yang memaksa kita harus memilih, mengambil keputusan, yaitu: for better or for worse? 

Financial Crisis 

Memang benar pelaku di pasar modal Indonesia masih sangat sedikit. Sudah begitu, uang-uang besar justru datang dari luar negeri. Namun jangan lupa, akumulasinya yang besar telah menimbulkan banyak ketergantungan dan hubungannya sangat luas dengan sektor keuangan. Pasar modal juga telah menjadi indikator pertumbuhan, bahkan kesehatan ekonomi suatu bangsa. 

Namun di antara pemainpemain di sektor ini terdapat juga perusahaan-perusahaan besar yang menaruh portofolio keuangannya di sana sehingga kejatuhan pasar modal akan berpengaruh pula pada kesehatan perusahaan-perusahaan besar. Kinerja keuangannya bisa berubah sehingga komitmen sektor-sektor keuangan (bank) bisa ikut berubah terhadap mereka dan akhirnya kinerja perbankan pun akan terganggu. 

Frederic Mishkin pernah melakukan studi terhadap gelombang krisis keuangan yang terjadi sepanjang sejarah. Dia menemukan dua jenis krisis, yang satu disebut real crisis, yang satunya pseudo crisis (krisis bohong-bohongan). Tapi, apa pun namanya, keduanya sama-sama membuat panik orang-orang yang punya uang sehingga apa pun persoalannya, semuanya disebut krisis. 

Ambil saja contoh kedelai yang harganya melambung. Sudah jelas penyebabnya adalah kinerja di sektor pertanian yang ultraburuk, tetapi perajin tempe ikut bergerak karena “rupiahnya loyo”. Padahal, jauh sebelum ini kedelai sudah semakin berkurang, dikonversi menjadi energi. Dari kajian Frederic Mishkin, kita menemukan poin-poin penjelasan, pertama terjadi penurunan harga-harga saham. 

Indeks harga saham gabungan (IHSG) terus merosot dan spread bunga antara high–low quality borrowers terus melonjak. Ini membuat para spekulator panik. Mereka tidak bisa lagi meminjam uang semudah dulu untuk “berjudi” di pasar modal. Yang punya uang pun menarik diri, menunggu suasana tenang dan harga-harga telah mencapai titik terendah. Kepanikan ternyata menular cepat seperti wabah flu burung. 

Terjadi krisis likuiditas di manamana. Easy money hilang. Konsumen yang dipacu kredit pun mulai dipersulit. Akibatnya, penjualan di sektor riil terganggu dan lembaga-lembaga keuangan mengalami kesulitan dan pada akhirnya, ekonomi mendingin, pertumbuhan melambat, ancaman resesi bisa saja muncul. Tapi, tenanglah, itu semua terjadi bila krisis benar-benar real crisis. Siapa tahu ini hanya pseudo crisis. Krisis iseng-iseng yang menampakkan gejala wajar setiap kali kita memacu perekonomian. 

Abaikan Sinyal 

Namun, bagaimanapun, krisis itu selalu datang tidak tanpa alasan. Ia datang baik-baik dengan mengirim utusan demi utusan, yang kalau disambut dengan baik ia akan memberi salam kebaikan. Namun krisis akan berubah menjadi bencana manakala ia diusir, disangkal, dikuyo-kuyo. Utusan itu bernama sinyal dan sinyal-sinyal itu menunjukkan sesuatu yang tak beres yang harus segera dibenahi. 

Kalau didiamkan, ia tentu akan datang lagi, menjebol dan menjebol. Itu sebabnya, krisis mata uang bath yang terjadi di Thailand segera merembet ke negara-negara Asia Tenggara dan setelah itu kita lihat Malaysia, Singapura, dan Thailand cepat pulih kembali. Mengapa mereka bisa cepat pulih? Jawabannya karena mereka membangun sistem pertahanan keuangan yang baik. Mereka tidak abaikan sinyal. 

Sebaliknya, pada 1997–1998, Indonesia mengalami dampak paling buruk karena mengabaikan sinyal. Anda mungkin masih ingat ucapan para ekonom dan pejabat di era itu: “Fundamental ekonomi kita sangat kuat!” Itu diucapkan selama lebih dari setahun pada saat rupiah terus jeblok, pasar modal kolaps, dan situasi keamanan berubah. Ekonomi tidak melihat aspekaspek nonekonomi yang ada di luar radar screen-nya, padahal di era ini semua sudah bercampur menjadi satu, antara politik, ekonomi, teknologi, bisnis, demografi, dan seterusnya. 

Ketika dilanda krisis keuangan pada 2008, beberapa senator Amerika Serikat membuat sejumlah laporan yang mengkaji penyebab krisis. Mereka menemukan 4 hal ini. Pertama, terjadi high risk lending (dengan kegilaan harapan menuai high return). Kedua, para aparat pengawas keuangan melakukan regulatory failure (gagal menegur dan mengenakan sanksi). Ketiga, manipulasi oleh lembaga-lembaga independen (rating agency dan auditor) serta yang keempat: investment bank abuses. 

Inti sebenarnya hanya dua hal: pengabaiansinyal dan keserakahan. Namun jauh sebelum krisis di sektor keuangan yang terjadi, dunia sudah lebih dulu mengenal krisis sebagai gejala alamiah yang normal. Tengoklah bencana tsunami, gunung meletus, banjir, longsor, badai, gempa bumi, dan seterusnya. Semuanya memicu korban, kematian, panik, dan kerusakan. Tapi semua belajar bahwa krisis tidak datang ujug-ujug. 

Krisis itu datang dengan sinyal-sinyal. Karena itu anatomi dapat dibedah menjadi 4 tahap, yaitu prodromal (gejala samar-samar), lalu berubah menjadi jelas: akut, kronik, baru kemudian masuk ke tahap penyembuhan (resolusi). Sekarang, katakanlah krisis keuangan global saat ini mengguncang hampir semua mata uang asing, termasuk rupiah. Masalahnya, apakah mereka semua memiliki masalah yang sama dengan kita? 

Tengoklah betapa seriusnya China menahan laju pertumbuhan ketika menyaksikan perekonomiannya unbalance (antara konsumsi dengan investasi). Tengok pula seberapa serius Pemerintah Australia menangani imigran gelap, lapangan pekerjaan, properti, dan tambang. Lihatlah betapa bersungguh-sungguhnya Malaysia mengejar cadangan energi dunia hingga ke pelosok dunia. 

Lalu tengoklah apa yang terjadi di sini saat harga BBM dunia melambung tinggi? Seberapa cepat kita meresponsnya? Tengoklah bagaimana kita separuh hati memangkas subsidi untuk golongan menengah ke atas. Tengoklah pertengkaran antarkementerian yang tak pernah usai sekadar untuk menurunkan harga daging sapi. Tengok juga bagaimana mungkin harga bawang bisa lebih murah di Malaysia daripada di sini. 

Sebagai negeri kelautan kita tidak bisa berpikir bagaimana para pemimpin membiarkan industri garamnya hancur. Ini benar-benar aneh. Harga daging sapi mahal harusnya mampu memicu rakyat untuk kembali beternak atau sama halnya dengan mahalnya harga kedelai impor harusnya mampu mendorong petani menanam kedelai. Tapi sinyal-sinyal ini mati semua dan berhenti di meja pengambil kebijakan. 

Negeri ini sepertinya memang butuh dipukul krisis untuk menghasilkan perubahan. Sebab, hukum alam menyatakan, ketika manusia tidak memperbaikinya, alam pun akan menjalankan tugasnya. Apakah itu derita yang harus dipikul warga negara dari sebuah sistem yang tak mau berubah atau kita benar-benar telah berubah menjadi bangsa yang maladaptif? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar