Rabu, 28 Agustus 2013

Diet Ekonomi Indonesia

Diet Ekonomi Indonesia
Ahmad Baidhowi  ;    Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 28 Agustus 2013


SAAT terperosok ke jurang krisis moneter 1998, Indonesia diprediksi tercerai-berai seperti nasib negara-negara Balkan di Eropa. Tapi, Indonesia lebih tangguh. Tidak membutuhkan waktu lama untuk merangkak naik, keluar dari jurang krisis, dan membangun kembali dari puing-puing ekonomi. 

Dalam satu dekade terakhir, ekonomi rata-rata tumbuh 4-6 persen per tahun, paling stabil di dunia. Bahkan, tahun lalu, dengan pertumbuhan 6,2 persen, Indonesia menjadi negara besar dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia. Menyalip India yang selama ini menempel ketat Tiongkok di posisi pertama. 

Ekonomi Indonesia memang terlihat gagah dengan bobot yang terus bertambah, namun kurang begitu sehat. Indikator utamanya adalah defisit neraca dagang USD 1,65 miliar pada 2012. Itu kali pertama sejak 1961! 

Tetapi, mulai 2007, Indonesia sebenarnya sudah mengalami defisit perdagangan produk/bahan pangan. Lalu, sejak 2008, defisit menyergap sektor manufaktur/industri pengolahan. Saat ini defisit terutama terjadi karena besarnya impor BBM, sementara produksi minyak di dalam negeri terus turun. Tubuh perekonomian Indonesia menjadi kurang fit. 

Ketika rupiah anjlok dari 9.300 per USD hingga menyentuh 11.000 per USD, pemerintah menuding rencana tapering off program quantitative easing The Fed sebagai biang keladinya. Rupiah tidak sendirian terdampak. Mulai Januari hingga medio Juli, depresiasi rupiah baru 2,02 persen, masih lebih baik jika dibandingkan dengan mata uang lain seperti rupee India (8,4 persen), lira Brasil (10,51 persen), maupun dolar Singapura (5,8 persen). 

Tetapi, sejak pertengahan Agustus, rupiah dan rupee merosot tajam, sedangkan beberapa mata uang lain relatif stagnan. Bahkan, ada yang menguat. Untuk India, salah satu penyebabnya adalah kontrol aliran modal. Regulasi 14 Agustus itu menjadi blunder dan memicu kepanikan investor. 

Lalu, mengapa rupiah juga terjun? Salah satu analisis yang cukup logis adalah, pada 16 Agustus, Bank Indonesia (BI) merilis data defisit transaksi berjalan yang semakin parah. Jika pada triwulan I 2013 hanya USD 5,8 miliar, pada triwulan II 2013 menjadi USD 9,8 miliar gara-gara melebarnya defisit neraca jasa dan perdagangan. 

Seorang ekonom senior yang belasan tahun berkecimpung di industri keuangan menyebutkan, data defisit transaksi berjalan itulah yang memantik kekhawatiran di pasar. Ketika defisit terjadi pada triwulan I, investor masih berharap akan membaik pada triwulan II. Tetapi, ketika justru memburuk, kekhawatiran merebak. Semakin banyaklah investor yang keluar dari pasar keuangan Indonesia sehingga rupiah anjlok.

Kekhawatiran itu tecermin dari credit default swap (CDS) Indonesia yang langsung melonjak. Pada 14 Agustus, CDS Indonesia masih berada di posisi 212 basis poin, lalu 19 Agustus sudah melonjak ke posisi 273 basis poin, dan hingga akhir pekan lalu bertengger di posisi 286 basis poin. 

Selain itu, besarnya utang swasta yang jatuh tempo pada September nanti (sekitar USD 22 miliar) melemahkan rupiah. USD menjadi rebutan. Padahal, pasokan di pasar sedang sempit gara-gara ekspor yang melemah dan membengkaknya impor. 

Jadi, anjloknya rupiah saat ini bukan sekadar dipicu gejolak ekonomi global, tetapi juga disebabkan akumulasi virus defisit sejak 2007 yang gagal disembuhkan pemerintah. 

Lemak Hot Money 

Para ahli ekonomi mengatakan, harga perekonomian suatu negara tecermin dari nilai tukar mata uangnya. Karena itu, ketika pemerintah dan BI menyatakan nilai tukar rupiah sedang menuju level fundamentalnya, kita menyadari bahwa rupiah (termasuk harga saham/IHSG) yang menguat selama ini sudah melampaui level fundamentalnya. 

Penyebabnya adalah hot money atau modal asing yang masuk ke instrumen jangka pendek. Misalnya, saham dan pasar surat berharga. Foreign direct investment ibarat daging dalam tubuh perekonomian, sedangkan hot money adalah lemaknya. 

Lemak bisa membuat tubuh perekonomian tampak lebih besar, tetapi berbahaya. Ketika lemak-lemak hot money di tubuh perekonomian Indonesia ini banyak kabur ke luar negeri, bobot rupiah dan saham pun langsung menyusut. Karena itu, wajib diperbaiki struktur ekonomi yang selama ini terjangkit virus defisit dan lemak hot money. 

Paket kebijakan yang dirilis pemerintah pekan lalu sebenarnya cukup bagus. Meskipun, dampaknya belum terlihat dalam waktu dekat. Janji pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi menjadi kunci utama. Investasi adalah obat defisit, dengan cara pengembangan kapasitas produksi berorientasi ekspor maupun pasar domestik, agar tidak terus bergantung kepada produk impor. 

Lebih seriuslah mengembangkan sektor pertanian dan peternakan agar impor bahan pangan bisa ditekan. Di sektor migas, produksi minyak harus ditingkatkan, membangun kilang minyak, serta program demand side management melalui pengembangan bahan bakar gas (BBG) maupun pengendalian konsumsi BBM. 

Perlu kerja keras mengatasi itu. Ekonomi Indonesia memang membutuhkan diet untuk mengikis serangan virus defisit dan lemak hot money. Saat ini stamina prima mutlak diperlukan di tengah cuaca perekonomian global yang kurang bersahabat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar