Rabu, 28 Agustus 2013

Gelagat Investor Politik

Gelagat Investor Politik
Anwar Hudijono  ;    Jurnalis, Media Consultant, dan Facebooker
JAWA POS, 27 Agustus 2013


DALAM perhelatan politik besar hampir pasti ada sosok yang disebut investor politik. Keberadaan mereka memang tidak tampak, tetapi memiliki peran yang sangat menentukan seperti angin pada ban sepeda.

Misalnya dalam pemilihan kepala daerah, seseorang yang mau mencalonkan diri tidak selalu harus kaya, punya duit banyak, sekalipun dalam pilkada jelas butuh dana besar. Misalnya biaya untuk memperoleh dukungan partai atau dana pinjam kartu tanda penduduk (KTP) bagi yang melalui jalur independen. Biaya kampanye. Biaya makelar politik. Biaya tim sukses dan tim kreatif. Biaya saksi sejak di TPS sampai tingkat yang lebih tinggi.

Maka, seorang kandidat harus pintar bin cerdas mencari investor politik. Atau kandidat harus pintar bersolek dengan pencitraan diri agar menarik perhatian investor politik. Sehingga dirinya yang didatangi investor ibarat bunga yang diserbu kumbang dan kupu-kupu.

Namanya investor itu tidak ada hibah atau gratisan. Ibarat tak ada tempoa bersarang rendah kalau tidak ada apa-apa. Semua dengan kalkulasi kepentingan bisnis. Misalnya agar bisnisnya yang sudah ada tetap aman. Agar mendapat kemudahan dan proyek. Jika perlu, malah menjadi invisible hand atau penguasa bayangan. Jika tingkat kota, akan menjadi wali kota bayangan. Kalau provinsi, akan menjadi gubernur informal. Eksistensi tak terlihat, tapi daya perannya dahsyat.

Bisa jadi akhirnya kebijakan kepala daerah justru hanya operasionalisasi dari kebijakan kepala daerah informal tersebut. Lebih tidak ilok kalau akhirnya kepala daerah itu justru telah menjadi jongosnya belaka. 

Karena paradigma yang dipakai adalah bisnis, investor politik pun akan menginvestasikan sahamnya kepada kandidat yang punya tingkat elektabilitas tinggi. Tetapi, karena dalam politik sering perhitungan itu tidak bersifat matematis, investor politik akan cukup berhati-hati. Tidak sedikit yang memilih prinsip dagang: jangan menaruh telur di satu petarangan. Maka, lebih amannya menanam saham ke semua kandidat, tentu dengan proporsi yang disesuaikan dengan prediksi elektabilitas.

Karena itulah, biasanya kandidat demi mendongkrak harga sahamnya tidak segan-segan membeli lembaga survei untuk menaikkan ranking-nya. Dengan ranking yang semakin tinggi, harga sahamnya juga semakin mahal. Melakukan display diri secara luas dan besar-besaran ibarat merek rokok atau jamu kuat. 

Jadi kandidat pun menggunakan kiat bisnis. Dengan demikian, seorang kandidat akan berusaha agar tidak mengeluarkan biaya besar. Biarlah para investor yang membiayai. Dengan demikian, kalau kalah pun tidak rugi. Malah kalau perlu, masih sempat menyisihkan hasil entit-entitan.

Jika menang, kandidat yang "baik" biasanya tidak akan pernah melupakan para investornya. Selain balas jasa, juga tahu persis bahwa investor politik itu memiliki kekuatan dahsyat yang bisa menggoyahkan kedudukannya. Bisa membuat dirinya tidak efektif. Bahkan bisa membuat terjungkal sebelum waktunya.

Sebab, investor politik itu menanam sahamnya tidak hanya di pilkada, tetapi juga di mana-mana seperti lembaga legislatif, yudikatif, maupun lembaga sosial kemasyarakatan dan kelompok-kelompok berkepentingan. Karena itu, kekuatannya benar-benar layaknya gurita raksasa.

Kisah Amangkurat 

Fenomena investor politik seolah memutar kembali Indonesia pada abad ke-17. Yang pertama-tama membuat Indonesia bertekuk lutut itu adalah para pedagang yang bergabung dalam sebuah konglomerasi yang bernama VOC. Dengan kekuatan uang dan networking-nya, perusahaan VOC berinvestasi kepada raja-raja. Ada yang dibantu perang, ada yang disetori pelbagai hadiah, mulai nonik Belanda sampai perhiasan mahal.

Akhirnya, satu per satu raja-raja di Nusantara dibuat bertekuk lutut. Secara formal para raja itu memang kepala negara, tetapi secara substansial merupakan jongos VOC.

Contoh monumental adalah Raja Amangkurat dari Mataram. Secara formal Amangkurat adalah kepala negara, tetapi secara substansial adalah jongos VOC. Di depan disembah-sembah para penggawa dan kawula, tetapi di belakang layar mengelap sepatu bos VOC.

Dengan kekuatan uangnya pula, VOC bisa menumpas tepis Puputan Bayu di Banyuwangi. Saat itu VOC sebenarnya sudah kewalahan, tetapi dengan kekuatan uangnya bisa membayar Adipati Cakraningrat dari Madura untuk mengirim 10.000 serdadunya. Ditambah serdadu bayaran dan suruhan dari Mataram, akhirnya Laskar Bayu di bawah pimpinan Wong Agung Wilis, Mas Rempek, dan Sayu Wiwit bisa dihabisi.

Investasi politik VOC telah menciptakan "peradaban baru" di Indonesia, yaitu peradaban kolonialisme dan kapitalisme transendental selama 350 tahun. Bahkan, roh peradaban baru itu tidak serta-merta musnah ketika Indonesia memasuki babak baru sebagai negara merdeka.

Bau-bau substantif zaman VOC itu sepertinya mulai slenang-slening atau sebentar muncul kemudian hilang dan muncul lagi seperti saat kentut sedikit katutan ampasnya. Termasuk dalam pilkada. Lihat saja, begitu semakin derasnya komersialisasi suara. Suara diberikan kepada yang membayar. Mesin politik seperti partai tidak jalan tanpa uang. Ideologi, platform, dan kualitas dinomorsekiankan. Money politics tidak lagi dianggap sebagai aib, tetapi sudah menjadi ganti rugi atau bahkan sedekah.

Yang paling memprihatinkan, kalau sampai pilkada menghasilkan penguasa yang menjadi jongos investor seperti raja-raja yang jadi jongos VOC, nasib rakyat akan seperti jauh panggang dari api. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar