Sabtu, 31 Agustus 2013

Kalasuba Setelah Pandora

Kalasuba Setelah Pandora
Yudhistira ANM Massardi ;  Sastrawan
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan para dewa di Olimpus—diciptakan atas keinginan Mahadewa Jupiter yang marah—untuk diberikan kepada Prometeus di Bumi. Ini sebagai ”hukuman” karena Prometeus telah mencuri api surga dan memakmurkan kehidupan di Bumi.
Prometeus yang waspada menolak pemberian Jupiter itu. Namun, saudara Prometeus, Epimeteus, dengan gembira menerimanya. Hingga suatu hari datanglah Merkurius ke rumah Pandora dan menitipkan sebuah peti kayu hitam sangat berat yang dililit rantai emas. Setelah Merkurius pergi, Pandora yang penasaran lalu membuka peti itu, dan dalam sekejap berhamburanlah sejumlah makhluk kecil bersayap penyebar segala macam penyakit, tabiat buruk, dan aneka kejahatan yang menjadi sumber bencana bagi umat manusia.
Analogi reformasi
Kisah kotak Pandora dari mitologi Yunani itu sedikit banyak bisa dianalogikan dengan proses reformasi politik kita yang pintunya terbuka pada 1998. Setelah itu, sepanjang 15 tahun ini, kita hanya menyaksikan maraknya aneka kejahatan, terutama korupsi yang menjadi sumber bencana bagi kelangsungan hidup republik ini.
Bulan Agustus ini, umur pemerintahan negara kita, jika diukur menurut kesempatan hidup manusia, sesungguhnya telah mencapai masa uzur dan sudah layak masuk liang kubur. Namun, pertumbuhan bangsa selama masa kemerdekaan ini ternyata tak bisa mencapai kesesuaian dengan tahap perkembangannya. Pertambahan umur tak seiring dengan pertumbuhan kedewasaan dan kematangan berbangsa-bernegara. Kita hanya mendapatkan umur, tanpa mendapatkan kearifan.
Reformasi hanya jadi sebuah guncangan besar (Fukuyama) yang menjebol dinding dan sekat-sekat yang sebelumnya dianggap mengungkung. Namun, kebebasan yang didapat hanya dimanfaatkan untuk menumpahkan aneka syahwat purba yang emosional, egoistis, gelap, dan destruktif. Seperti dikiaskan oleh sebuah ungkapan Melayu (Tengku Luckman Sinar): ”Sekali air bah, sekali tepian berubah.”
Kejahatan korupsi para pejabat negara dan aneka perbuatan destruktif para anggota masyarakat tak hanya telah membinasakan marwah, tetapi juga sekaligus modal sosial (Tocqueville, Weber, Putnam) yang dibutuhkan sebuah bangsa dan negara untuk membangun kekuatan diri. Sebagaimana dirumuskan James Coleman, modal sosial adalah ”seperangkat sumber daya yang tertanam dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial serta berguna untuk pengembangan kognitif atau sosial anak.” Namun, justru ulah para politisi dan birokrat di lembaga eksekutif-legislatif-yudikatif yang korup menghancurkannya.
Alhasil, keluarga-bangsa pun kehilangan teladan dan landasan moral bagi pengukuhan dan pewarisan norma-norma dan aturan bagi perilaku luhur dan kerja sama sesama warga negara. Kita terperangkap oleh arogansi sektoral, sektarian, dan primordial. Sebagian besar energi bangsa pun terkuras untuk hal-hal sepele, remeh-temeh, dangkal, dan bodoh.
Namun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh telaah Fukuyama, setiap guncangan besar niscaya akan melalui proses alamiah penataan kembali, dari disordering ke reordering of the society. Setelah zaman Kalabendu akan datang zaman Kalasuba yang penuh harapan (Jayabaya, Ronggowarsito). Kotak Pandora pun harus dibuka lebih lebar lagi. Itu karena Jupiter pun masih menyisakan cintanya kepada manusia dengan menempatkan makhluk-makhluk bernama ”Harapan” di dasar kotak Pandora, untuk menyembuhkan aneka penyakit yang menyengsarakan.
Kita yang hidup di zaman kini patut bersyukur terhadap perkembangan teknologi informasi yang memberikan kemudahan dan kecepatan berkomunikasi melalui internet dan jejaring media sosial. Selain memberikan dampak negatif bagi runtuhnya hegemoni lembaga-lembaga (kekuasaan) formal dan menyuburkan lahan bagi aneka bentuk pemberontakan, perlawanan, dan individualisme, kebebasan setiap orang untuk menyatakan pendapatnya pun berperan bagi pembentukan opini yang lebih lekas dan luas.
Dalam beberapa tahun terakhir, para pengguna media sosial tanpa harus merasa takut bisa dengan tegas dan keras menyatakan dukungan bagi kebaikan dan kutukan bagi kejahatan di lingkungannya. Dengan semua fasilitas yang tersedia, tiap warga negara secara spontan dan tanpa tekanan telah bersama-sama membangun kembali modal sosial yang dirusak para aparatur negara, berlandaskan pada nilai-nilai luhur dari sejumlah agama serta norma-norma budaya tradisional yang diwariskan para leluhurnya. Itulah anugerah yang diberikan kemajuan teknologi kepada zaman ini. Itulah wadah baru bagi penguatan modal sosial setiap bangsa.
Kata kuncinya: budaya
Ada yang berpendapat, tanpa modal sosial tidak akan ada masyarakat sipil, dan tanpa masyarakat sipil tidak akan ada demokrasi yang berhasil. Dengan kata lain, kata kuncinya adalah budaya. Tanpa mengukuhkan (kembali) kekuatan budaya, tidak akan ada kemajuan yang bisa dicapai suatu bangsa. Hal itu karena modal sosial sesungguhnya adalah nilai-nilai yang ditumbuhkan sebuah kebudayaan. Kebudayaan adalah kumpulan hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang memperkaya dan menentukan tinggi-rendahnya sebuah peradaban.
Dalam hal ini, bangsa Melayu telah memberikan andil yang fundamental bagi jati diri bangsa Indonesia. Jadi, harus dikatakan, kebudayaan Melayu adalah salah satu modal sosial terbesar bangsa ini. Sudah saatnya Republik Indonesia berterima kasih kepada bangsa Melayu yang tidak hanya telah memberikan fondasi bagi bahasa Indonesia, tetapi juga telah memberikan pataka kejayaan pada masa silam melalui Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang berkuasa hingga ke Burma dan Thailand; melalui Dinasti Sailendra di Jawa Tengah yang telah membangun Candi Borobudur, menyebarkan agama Hindu-Buddha, dan menjadi nenek moyang raja-raja di Tanah Jawa; serta leluhur bagi para sultan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Memperingati hari proklamasi kemerdekaan adalah memuliakan modal sosial, dan memuliakan modal sosial adalah menjunjung tinggi kebudayaan. Dengan begitu, sebagaimana dikiaskan dalam hikayat lama Melayu: ”Maka negeri itu pun makmur sejahtera. Ramailah para saudagar datang ke bandar itu. Padi pun menguning, dan rakyat banyak bersukacita!” ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar