Senin, 26 Agustus 2013

Kenapa Kebijakan Tak Berdampak?

Kenapa Kebijakan Tak Berdampak?
Adler Haymans Manurung  ;    Guru Besar Pasar Modal dan Perbankan, Sampoerna School of Business
KORAN SINDO, 26 Agustus 2013



Pada 16 Agustus 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membacakan pidato kenegaraan. Selain banyak menguraikan politik, pidato juga memuat masalah ekonomi. 

Banyak pihak merenung karena pidato tersebut menyampaikan ekspektasi bahwa perekonomian pada 2014 tumbuh 6,4%, di mana angka ini dianggap cukup tinggi bila dibandingkan dengan berbagai sumber, sehingga kelihatannya tidak tercapai. Meski pemerintah menetapkan target inflasi yang cukup rendah, 4,5%, lantaran tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), listrik dan sebagainya, tetapi besaran ini tidak mungkin tercapai, mengingat kondisi pada tahun depan. 

Target itu dianggap tidak realistis oleh pasar karena selama ini pemerintah tidak pernah benar melakukan pengendalian inflasi. Obat yang diberikan selalu hanya mengobati sakit, bukan menghantam penyebab sakit. Penyebab inflasi tidak pernah diserang. Informasi yang disampaikan Presiden SBY ini disambut investor dengan beramai-ramai menjual saham, terutama broker asing. Indeks harga saham gabungan (IHSG) melemah tajam. 

Pada Senin (19/8) terjadi penurunan sebesar 5,58%, dan Selasa (20/8) turun 3,2% ke level 4.174. Rabu (21/8) IHSG menguat 1%, sehingga berada di level 4.218. IHSG kemudian terus turun, walaupun paket kebijakan sudah disampaikan ke pasar. Penurunan ini sudah cukup tajam. Tidak banyak penurunan sebesar itu terjadi di Bursa Efek Indonesia, walaupun dalam sejarahnya pernah drop sekitar 10%. 

Terjadi kenaikan IHSG setelah dua hari berturut-turut melemah karena direktur sekuritas asing diundang untuk berdiskusi mengenai pasar. Penurunan tersebut disebabkan berbagai faktor, yaitu informasi yang disampaikan SBY tidak mencerminkan ekspektasi yang bagus di 2014, transaksi margin, investor yang pintar memainkan pasar, serta investor butuh dana dan sebagainya. 

Pada sisi lain, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah hingga sudah menembus level Rp11.000 per dolar AS. Level kurs sudah menakutkan para pengusaha yang mengimpor bahan baku, sehingga akan menimbulkan inflasi yang cukup besar dan mendorong kenaikan tingkat bunga. Transaksi berjalan terus mengalami defisit dalam tiga triwulan terakhir, sehingga pertumbuhan yang diestimasikan juga kemungkinan tidak tercapai. 

Kelemahan ini terjadi karena kebijakan industri tidak banyak yang jelas, bahkan kemungkinan tidak ada kebijakan tersebut. Atas guncangan yang terjadi beberapa hari di minggu ketiga Agustus, pemerintahan akhirnya mengeluarkan beberapa kebijakan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan bahwa perusahaan akan diberikan kemudahan untuk membeli kembali (buy back) saham yang diperdagangkan di bursa. 

Kebijakan ini selalu diambil oleh kelompok pasar modal dalam mengatasi persoalan. Tidak ada yang baru atau tidak kreatif untuk mengatasi persoalan. Kebijakan tersebut bukan Obat Jadi Kuat (OJK) pasar modal, melainkan karena pembisik yang tidak memahami filosofi pasar. Bisa dikatakan, integritas pasar telah melorot secara perlahan karena kebijakan tidak memperhatikan filosofis dan roh pasar modal Indonesia. 

Bila emiten membeli saham dari pasar, tentu mereka membutuhkan dana. Ini akan berdampak kepada rencana ekspansi emiten yang sedang dirancang. Kebijakan itu juga mempunyai jangka waktu tertentu, sehingga bisa membuat emiten rugi, karena mereka melawan pasar yang dimainkan asing. Pejabat kita lebih sungkan kepada asing. Kurs yang mengalami fluktuasi cukup besar akan memicu ketakutan investor. 

Bank-bank juga khawatir dengan situasi sekarang ini, sehingga perlu lembaga yang lebih jelas melakukan pengawasan dan penerbitan peraturan untuk kepentingan sektor keuangan. Sebaiknya OJK harus diperbaiki karena masih kurang sesuai dengan harapan. Inti persoalan kenapa berbondong-bondong melakukan penjualan saham secara besarbesaran dan nilai kurs berfluktuasi karena pembelian besarbesaran juga. 

Satu persoalan utama yaitu quantitative easing yang direncanakan pada kuartal III 2013 akan dikurangi, sehingga pasar melihat pertumbuhan tidak ada. Kaitannya ke Indonesia, pertumbuhan bursa sudah cukup signifikan dan memberikan keuntungan 25%. Nilai intrinsik tidak setinggi harga-harga sekarang ini, sehingga perlu diturunkan agar terjadi keseimbangan baru. 

Ketika diturunkan, investor mendapatkan keuntungan dan kembali yang rugi rakyat Indonesia yang masih belum tahu bahwa permainan penurunan pasar sedang berlangsung. Bahasanya, sedang ada persekongkolan untuk menurunkan pasar karena pasar Indonesia masih bisa dikendalikan. Pasar menginginkan adanya uang yang masuk ke pasar bukan uang dari emiten agar terjadi pertumbuhan ekonomi. 

Bila uang emiten yang masuk ke pasar, emiten tidak memiliki dana, sehingga mereka tidak bisa melakukan ekspansi lebih jauh. Bila meminjam bank, maka bank tidak langsung memberikan pinjaman karena kekhawatiran gagal bayar akibat krisis. Satu-satunya cara, pemerintah harus menggelontorkan dana ke pasar. 

Pasar tidak memikirkan inflasi tinggi karena inflasi sudah diperhitungkan dan pemerintah harus mengambil kebijakan tersebut. Pemilu 2014 merupakan faktor utama karena para pemilik dana lebih baik memegang tunai daripada melakukan investasi. 

Pihak asing melakukan realisasi profit atau ingin mendapatkan tingkat pengembalian (return), karena tidak bisa diperoleh di negaranya dengan situasi sekarang. Pada Pemilu 2014 belum jelas siapa yang bakal menjadi pengganti Presiden SBY. 

Sementara itu, SBY tidak menjalankan pemerintahan ini dengan benar, seperti tercermin dari pemilihan menteri yang tidak sesuai harapan. Oleh karena itu, wajar saja tidak ada dampak dari kebijakan yang diambil untuk perbaikan perekonomian. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar