Sabtu, 31 Agustus 2013

Melindungi Anak dari Psikopat Seksual

Melindungi Anak dari Psikopat Seksual
Intan Indah Prathiwie ;   Alumnus Fakultas Psikologi UI
SUARA KARYA, 30 Agustus 2013


Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, akhir-akhir ini, sungguh sangat memprihatinkan. Tak heran, jika banyak media massa nasional maupun internasional (seperti BBC) memaklumatkan Indonesia pada 2013 mengalami kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Sungguh bahaya besar bagi kehidupan kita sebagai bangsa bila hal itu dibiarkan! Sebab, kejahatan seksual terhadap anak telah merampas bukan hanya nyawa, tapi juga masa depan anak-anak penyintas alias survivors (mereka yang mengalami pelecehan tapi tidak sampai kehilangan nyawa).

Oleh karena itu, semua elemen bangsa ini perlu mewaspadai para psikopat predator seksual di sekitar kita yang berpotensi melakukan aksinya terhadap anak-anak kita. Apalagi, dalam banyak kasus pelecehan anak, sebagian besar predator seksual yang melakukan pencabulan itu ternyata orang dekat dari sang korban, mulai dari guru hingga tetangga dan orangtua anak sendiri.

Jika didefinisikan secara sederhana, psikopat adalah orang yang mengidap gangguan kejiwaan dan kepribadian antisosial yang mewujud dalam bentuk emosi dangkal, gampang meledak-ledak, tak bertanggung jawab, egosentris (berpusat pada diri sendiri), serta kekurangan empati dan rasa penyesalan. Di sisi lain, seorang psikopat memiliki kelebihan berupa: memiliki banyak gagasan, berwawasan luas, dan bersikap manis, yang sayangnya semua unsur positif itu justru digunakan sebagai alat untuk memuaskan hasrat menyimpang dari kepribadiannya yang terganggu itu.

Apabila mengacu pada Hervey Checkley dalam buku lawasnya, The Mask of Sanity (1941), setidaknya ada empat tipe psikopat.

Pertama, psikopat primer (primary psychopath) yang kebal terhadap hukuman atau celaan. Mereka biasanya punya pemaknaan sendiri terhadap kehidupan dan dunia di sekitar mereka.
Kedua, psikopat sekunder (secondary psychopath). Ini adalah tipe psikopat pengambil risiko. Akan tetapi, berbeda dengan psikopat tipe pertama, psikopat tipe ini justru mudah cemas dan merasa bersalah.
Ketiga, psikopat penuh temperamen (distempered psychopath). Psikopat tipe ini mudah marah dan cenderung menjadi pencandu obat, pedofilia, atau pemerkosa berantai.

Keempat, psikopat kharismatis (charismatic psychopath). Ciri psikopat ini adalah pandai bersilat lidah dan punya daya tarik alias kharisma luar biasa. Termasuk ke dalam tipe ini, misalnya, adalah seorang pemimpin sekte agama sempalan yang menyuruh pengikutnya melakukan tindak kriminal, seperti: menipu untuk menggalang dana, melakukan bom bunuh diri, dan sebagainya.

Melihat keempat tipe di atas, maka pelaku pencabulan terhadap anak-anak tergolong ke dalam psikopat tipe ketiga, yaitu distempered psychopath. Namun, sesudah mengetahui tipe predator seksual tersebut, bagaimana kita bisa mendeteksi potensi-potensi manusia semacam itu di lingkungan kita?

Konsensus banyak psikolog menunjukkan ada tujuh ciri psikopat, termasuk predator seksual. Apabila seseorang di sekitar kita - termasuk orang terdekat kita sekalipun - memiliki mayoritas ciri berikut terhimpun di dalam dirinya, maka kita harus waspada dan, kalau belum terlambat, mencarikan pertolongan baginya.

Pertama, dia gagal mengikuti norma sosial dan hukum sehingga berulang kali harus berurusan dengan pihak berwajib. Kedua, dia berulang-ulang berbohong, pandai bicara, dan lihai menipu untuk keuntungan pribadi. Ketiga, meledak-ledak dan tak punya perencanaan. Bahkan kalau menginginkan sesuatu, dia ingin hal itu terlaksana detik itu juga. Keempat, dia mudah tersinggung.

Kelima, dia tak peduli keselamatan diri sendiri dan orang lain. Keenam, dia tak bertanggung jawab, misalnya ditunjukkan dengan buruknya prestasi di dunia kerja. Ketujuh, dia nyaris tidak punya rasa sesal, empati, atau bersalah sesudah melakukan perbuatan jahat seperti menganiaya atau mencuri.

Perlindungan

Selanjutnya, ketika kita sudah mampu mendeteksi para psikopat predator di sekitar kita, bagaimana membentengi anak-anak kita dari predator seksual? Karena mustahil bagi kita untuk mengawasi anak-anak 24 jam penuh, apalagi jika potensi predator seksual itu termasuk lingkaran orang terdekat kita, maka kita perlu membekali anak-anak kita dengan mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) yang cukup.

Untuk itu, penulis mengusulkan tiga cara. 

Pertama, anak-anak sedari awal sudah harus mulai diperkenalkan konsep aurat. Maksudnya, sedari usia dini, katakanlah 5-6 tahun, anak-anak mesti dijaga betul untuk tidak menunjukkan organ intim mereka kepada siapa pun, termasuk orang terdekat dan orangtua sendiri. Ini menjadi penting persis karena pelaku pencabulan terhadap anak-anak kerap kali merupakan lingkaran orang yang dekat dengan korban anak.

Kedua, anak-anak seyogianya dibekali dengan pendidikan bela diri. Tujuannya adalah melatih anak-anak sejak dini supaya lebih mandiri dalam menjaga diri mereka. Sekaligus, pendidikan bela diri akan melengkapi pribadi mereka dengan nilai-nilai keberanian agar mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Terakhir, keluarga mesti menumbuhkan iklim komunikasi yang hangat dan terbuka antaranggota keluarga supaya anak sudah terbiasa sejak awal untuk bercerita soal peristiwa apa pun yang menimpa mereka. Dengan demikian, segala potensi masalah bisa terdeteksi sejak dini oleh keluarga untuk dirembukkan mekanisme penanganannya.

Dengan tiga solusi di atas, semoga kita tidak perlu lagi menyaksikan tragedi mengerikan 'pelecehan seksual' yang menimpa anak-anak. Ini penting agar kita bisa menciptakan suatu negeri di mana anak-anak bisa tumbuh secara optimal menjadi pribadi yang bahagia dan bermartabat. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar