Rabu, 28 Agustus 2013

Mengurai Terorisme

Mengurai Terorisme
Noor Huda Ismail  ;    Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian
KOMPAS, 28 Agustus 2013


Ledakan bom berdaya ledak rendah yang terjadi di Wihara Ekayana, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu, membuat publik kembali bertanya: apakah ini potret kinerja telik sandi negara yang lemah sehingga terkesan kebobolan lagi?

Kenapa pergerakan jaringan ini sepertinya tidak terendus? Sebenarnya upaya pencegahan seperti apa yang seharusnya dilakukan negara untuk menghadapi aksi terorisme? Kinerja intelijen negara selalu jadi pihak yang tertuduh ”kecolongan” setiap aksi terorisme terjadi. Fenomena ini muncul karena kurangnya imajinasi, koordinasi, dan kepercayaan antaragensi.
Bom Boston (15/4/2013) adalah salah satu contoh nyata. Intelijen Rusia sudah memberi tahu sosok pelaku kepada intelijen Amerika Serikat, CIA. Namun, CIA tidak memberikan informasi yang komprehensif kepada pihak kepolisian (FBI) selaku agensi yang bertanggung jawab terhadap keamanan lokal.
Ibarat bermain puzzle, ”gambar besar” tidak terlihat karena setiap agensi enggan berbagi ”gambar kecil”. Di dunia intelijen, ”gambar besar” itu sering kali tidak terdeteksi sama sekali karena kurangnya imajinasi. Misalnya, pihak intelijen Norwegia, negara yang mempunyai indeks kebahagiaan tertinggi di dunia, tidak pernah berimajinasi akan menghadapi ledakan bom di Oslo (22/7/2011) yang dilakukan dengan pola lone wolf (serigala kesepian) atau sang pelaku bertindak atas inisiatif individu.
Fakta di lapangan menunjukkan, jaringan terorisme cenderung bergerak secara acak. Mereka terus bermutasi dan berevolusi karena tekanan aparat, lemahnya kepemimpinan, atau kekecewaan anggota jaringan atas sikap organisasi.
Di Indonesia, jaringan yang selalu muncul dalam kurun 12 tahun ini adalah sempalan dari organisasi-organisasi jihad besar yang telah ada, yaitu Darul Islam, Jemaah Islamiyah, atau Jamaah Anshorut Tauhid. Namun, tidak satu pun aksi terorisme itu direncanakan dan disepakati organisasi. Sempalan ini secara sadar melepaskan diri dari organisasi-organisasi tersebut karena wacana program amaliyah (serangan teror) yang mereka sodorkan ditolak organisasi. Ironisnya, tidak ada anggota organisasi ini yang melaporkan kepada aparat jika mengetahui ada yang akan melakukan aksi.
Minimnya dukungan dari organisasi dan sumber daya yang ada menyebabkan serangan mereka cenderung terkesan amatiran, tergesa-gesa, dan sporadis. Meskipun demikian, terbaca motifnya, terutama pada ledakan di wihara tersebut, yaitu pembalasan terhadap perlakuan kekerasan kaum ekstremis Buddha di Myanmar terhadap umat Islam.
Dipicu peristiwa global
Memahami konteks kenapa sebuah serangan teror itu muncul menjadi sangat penting. Sering kali peristiwa global-lah yang memengaruhi strategi gerakan sebagai dampak langsung dari proses globalisasi.
Meminjam paparan ilmuwan Inggris, Anthony Giddens, dalam globalisasi terjadi ”intensifikasi relasi sosial sedunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga sejumlah peristiwa sosial dibentuk oleh peristiwa yang terjadi pada jarak yang bermil-mil”. Paparan Giddens tersebut dapat menjelaskan kenapa konflik di Afganistan pada tahun 1980-an telah melahirkan gelombang pengiriman tidak kurang dari 350 WNI terlibat dalam pelatihan militer di sana. Fatwa Osama bin Laden tahun 1998 telah memicu bom Bali pertama pada 2002.
Tak berlebihan jika serangan di Wihara Ekayana dapat membangkitkan kembali jaringan yang telah lama tidur untuk kembali bangun dan menyerang simbol-simbol asing yang dianggap memojokkan kepentingan mereka di luar negeri. Sangat mungkin pula konflik yang terjadi di Suriah hari ini, yang melibatkan kelompok Islam bermazhab Sunni dan Syiah, akan merembes dan memicu konflik di antara kedua mazhab ini di Indonesia. Demikian pula gejolak politik di Mesir dan Yaman diduga telah menghidupkan kembali jejaring Al Qaeda dengan memberikan bantuan logistik dan dana kepada para pendukungnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Kompleksitas permasalahan yang menyelimuti tindakan terorisme ini, negara perlu memiliki strategi nasional yang mempunyai semangat pemberdayaan, inovatif, dan terbuka terhadap sejumlah elemen yang ingin berkontribusi secara aktif dalam penanganan terhadap isu ini. Terlalu menitikberatkan pendekatan keamanan, seperti kerja intelijen dan kepolisian, saja bukanlah pilihan strategi yang tepat.
Mereka memang memerankan fungsi sangat penting, yaitu menetralkan ancaman dan penegakan hukum yang terbuka dan adil atas pelaku tindak pidana terorisme. Namun, jika dalam proses ini negara masih ”belepotan” dalam meladeni tudingan para aktivis kemanusiaan karena dugaan pelanggaran HAM terhadap tersangka pelaku terorisme, jangan bermimpi ancaman terorisme di Indonesia akan segera berhenti. Hampir tiap ada pemakaman tersangka teroris, hadir ratusan, bahkan ribuan pelayat, dari beragam gerakan yang dahulu berseberangan dalam strategi. Prosesi ini juga jadi ajang charge battery  semangat resistansi kepada negara.
Oleh karena itu, salah satu upaya pencegahan yang perlu dilakukan negara bagi yang sudah terlibat dan sekarang mendekam di penjara adalah menyiapkan program kuratif bagi mereka. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan tidak menyamaratakan mereka dengan memahami tingkat keterlibatan dan tingkat keterlepasan dalam jaringan. Dengan begitu, ketika bebas, mereka akan didorong untuk dapat berasimilasi ke masyarakat tanpa stigma.
Sementara ini, Ditjen Pemasyarakatan-lah yang melakukan fungsi ini. Ke depan, Kementerian Sosial seharusnya juga terlibat aktif dalam proses rehabilitasi. Demikian juga Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dengan menggandeng pihak swasta kiranya menyiapkan program kewirausahaan sosial bagi bekas napi terorisme yang ingin memulai lembaran baru dalam hidup mereka.
Kewirausahaan sosial ini akan mendorong terciptanya jejaring sosial baru (social tent) sehingga mereka tidak akan kembali ke jejaring lama mereka (group tent) dan akan menakar ulang (cost and benefit) untuk kembali ke dalam pusaran aksi kekerasan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar