Rabu, 28 Agustus 2013

Menimbang Paket Kebijakan

Menimbang Paket Kebijakan
Fahruddin Salim  ;    Dosen Magister Manajemen Universitas Pancasila
KORAN JAKARTA, 27 Agustus 2013


Sejumlah indikator makroekonomi kini mulai mengkhawatirkan. Nilai tukar rupiah terus melemah. Pekan lalu sempat di atas 11.000 per dolar AS. Inflasi terus naik. Itu mendorong Bank Indonesia (BI) merevisi target tahun ini bakal menembus 7,69 persen. Bahkan, Bank Dunia memperkirakan inflasi tahun 2013 akan mencapai 9 persen. Dengan demikian, target inflasi dalam APBNP 2013 sebesar 6,3 persen terkoreksi. 

Akibat pelemahan rupiah dan kenaikan inflasi akan memangkas pula target pertumbuhan ekonomi. BI merevisi target pertumbuhan ekonomi dari 5,9 persen-“6,3 persen menjadi 5,8 persen-“6,2 persen. Bank Dunia sudah lebih dulu mengoreksi dari 6,2 persen menjadi 5,9 persen. Target APBN-P 2013 sebesar 6,3 persen akan terkoreksi. Pertumbuhan yang melambat bakal menghambat kemampuan perekonomian mengatasi kemiskinan dan pengangguran. 

Cadangan devisa "tinggal" 92,67 miliar dollar AS pada Juli. Ini hanya cukup untuk impor dan cicilan utang 5,4 bulan. Cadangan devisa merosot 20,11 miliar dollar AS dari awal tahun karena posisi akhir tahun 2012 mencapai 112,78 miliar dollar AS. Perekonomian juga didera defisit neraca perdagangan. Ekspor Januari-Juni "hanya" 91 miliar dollar AS dan impor 94,36 miliar dollar AS. 

Sebagai negara dengan perekonomian yang sangat terbuka, peluang Indonesia terimbas kondisi eksternal sangatlah besar. Kebijakan The Fed yang berencana menghentikan program stimulus telah mendorong penarikan dana dari aset emerging market Asia ke AS dan memicu gonjang-ganjing financial emerging market. 

Akibatnya, rupiah melemah dan pasar saham BEJ terkoreksi 20 persen mengikuti depresiasi sejumlah mata uang regional, seperti rupee India yang mencapai rekor paling rendah. Sementara itu, Thailand memasuki masa resesi dan kredit perbankan China terancam macet. 

Tentu saja, pelemahan nilai tukar rupiah tidak dapat dilepaskan dari memburuknya indikator makroekonomi domestik, terutama dipengaruhi kenaikan inflasi dan defisit neraca pembayaran Indonesia (NPI). Dia juga didorong permintaan dollar yang tinggi karena beban utang luar negeri, 2.036 triliun rupiah. Setiap rupiah turun 100 poin, utang bertambah 25,7 triliun rupiah.

Kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin (BP) menjadi 6,0 persen pada 13 Juni 2013 dan 50 BP menjadi 6,5 persen pada 11 Juli 2013, juga belum mampu meredam inflasi dan nilai tukar. Berbarengan dengan kenaikan BI rate, BI juga menaikkan fasilitas diskonto 50 BP menjadi 4,75 persen dan mempertahankan suku bunga lending facility tetap pada level 6,75 persen pada 13 Juni 2013. BI juga mengubah aturan transaksi swap dari bilateral ke lelang transaksi swap valuta asing atau foreign exchange. Langkah tersebut pun belum cukup memadai untuk meredam gejolak nilai tukar dan inflasi. 

Baru-baru ini, dalam upaya menjaga stabilitas makroekonomi, BI menempuh beberapa kebijakan lanjutan, terutama untuk meningkatkan pasokan valas secara lebih efektif dan pendalaman pasar uang guna mendukung pertumbuhan berkesinambungan.

BI memperpanjang jangka waktu Term Deposit Valas (TDV) menjadi 1 hari sampai 12 bulan guna meningkatkan keragaman tenor penempatan devisa oleh bank umum. Saat ini, jangka waktu TDV 7, 14, dan 30 hari. BI juga merelaksasi ketentuan pembelian valas bagi eksportir yang telah menjual Devisa Hasil Ekspor (DHE) agar memudahkan eksportir membeli valas menggunakan underlying dokumen penjualan valas. Bank Sentral lalu menyesuaikan ketentuan transaksi forex swap bank dengan BI yang diperlakukan sebagai pass-on transaksi bank dengan pihak terkait untuk meningkatkan kedalaman transaksi derivatif. 

Selanjutnya, ada relaksasi ketentuan utang luar negeri (ULN) dengan menambah jenis pengecualian ULN jangka pendek bank, berupa giro rupiah milik bukan penduduk yang menampung dana hasil divestasi dari hasil penyertaan langsung, pembelian saham dan/atau obligasi korporasi Indonesia serta SBN. Kemudian, diterbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) untuk memberi ruang lebih luas perbankan mengelola likuiditas rupiah melalui instrumen yang dapat diperdagangkan sehingga dapat mendorong pendalaman pasar uang. 

Kebijakan BI tersebut diharapkan dapat bersinergi dengan paket kebijakan pemerintah dalam menangani ketidakpastian jangka pendek dan secara struktural dapat pula mengatasi ketidakimbangan eksternal. 

Paket Pemerintah

Selain BI, pemerintah juga meluncurkan paket utama guna mengatasi gejolak sektor keuangan. Paket pertama, memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar. Ini ditempuh melalui mendorong ekspor dengan pengurangan pajak untuk sektor padat karya yang memiliki ekspor minimal 30 persen dari total produksi. Kemudian, menurunkan impor migas, meningkatkan penggunaan biodiesel dalam porsi solar dikategorikan mandatori. Ini diharapkan mengurangi konsumsi solar dari impor. Kebijakan ini diharapkan akan menurunkan impor migas secara signifikan.

Menetapkan pajak barang mewah impor seperti mobil CBU dan branded product dari 75 persen pada saat ini menjadi 125 persen-150 persen. Pemerintah akan memperbaiki ekspor mineral dengan merelaksasi prosedur yang terkait kuota. Paket kedua menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat dengan insentif guna menjaga defisit fiskal pada kisaran 2,38 persen agar pembiayaan APBN-P 2013 aman. Pemerintah juga akan merelaksasi pembatasan fasilitas kawasan berikat produk domestik, penghapusan PPN buku, dan pengapusan PPNBM untuk produk dasar yang sudah tidak tergolong barang mewah.

Paket ketiga, menjaga daya beli masyarakat dan tingkat inflasi dengan mengubah tata niaga dari skema pembatasan kuantitas atau menggunakan kuota menjadi mekanisme yang mengandalkan harga. Paket keempat, mempercepat investasi dengan menyederhanakan perizinan dan mengefektifkan fungsi pelayanan terpadu satu pintu serta menyederhanakan jenis-jeis perizinan yang menyangkut kegiatan investasi.
Pemerintah dan BI harus cepat menangani krisis untuk memulihkan dan menenangkan pasar, menstabilkan pasar keuangan, menjaga daya tahan perbankan. Kebijakan menstabilkan pasar keuangan sangat penting seperti melonggarkan pembelian saham kembali (buy back), baik dana pemerintah untuk membeli saham BUMN maupun buyback oleh emiten. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus cepat merespons kemerosotan pasar saham dengan mengambil kebijakan demi menenangkan pasar. Berbagai kalangan sudah minta OJK melonggarkan kembali aturan dengan membolehkan pembelian kembali saham tanpa perlu rapat umum pemegang saham luar biasa.

Pemerintah juga dapat mempercepat belanja. Saat ini, momen tepat untuk mempercepat pencairan anggaran. Otoritas moneter dapat menambah likuiditas ke sektor perbankan dan menjaga pasar surat utang. Pemerintah harus memanfaatkan pelemahan rupiah untuk menggenjot ekspor dan menekan impor, terutama BBM. Demikian pula, BI harus tegas dalam memulangkan devisa hasil ekspor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar