Sabtu, 31 Agustus 2013

Menjelang D-Day 2014

Menjelang D-Day 2014
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 30 Agustus 2013


JIKA dibandingkan dengan 2009, jumlah partai politik peserta pemilu pada 2014 jauh berkurang, dari 40 partai menjadi 12 partai nasional dan 3 partai lokal. Sekalipun tidak terlalu membingungkan seperti dulu, situasinya tetap saja tidak sederhana. Bagi konstituen yang mayoritas berpendidikan rendah-menengah (sekitar 85 juta dari SD, dan sekitar 70 juta dari tingkat menengah) visi-misi partai-partai politik tumpang-tindih dan umumnya tidak gampang dicerna. Karena itu, proses pemilu menuntut kepiawaian partai untuk memperkenalkan diri sebagai penyelamat masa depan kehidupan bangsa. Seberapa jauh para caleg menyadari fakta ini? Seberapa jauh pula kejujuran mereka dalam kampanye dapat dipertanggungjawabkan?

Dari sisi lain, sebagian besar konstituen masih akan memilih jawaban ‘instan’: apa yang bisa langsung mereka dapatkan mengingat tingkat penghidupan mereka umumnya tergolong rendah. Money politics rasanya masih akan marak. Kalau tidak bersangkutan dengan kepentingan pribadi masing-masing, ada juga masyarakat konstituen yang menghendaki agar kebutuhan komunitas langsung dipenuhi. Misalnya, ada tiang listrik bengkok di daerahnya yang mengakibatkan aliran listrik terganggu, maka tak segan-segan mereka meminta caleg untuk menggantinya dengan yang lempeng.

Kasus serupa ini akan sering terjadi di mana-mana. Konsekuensinya adalah para caleg harus membekali diri dengan cukup dana untuk memenuhi harapan konstituen. Diperkirakan, seorang caleg memerlukan bukan hanya jutaan, melainkan mungkin puluhan bahkan ratusan juta untuk bisa diterima para konstituen, antara lain demi mengatasi keadaan darurat semacam itu, selain untuk menjamu konstituen dalam rangka kampanye. Itu pun tidak menjamin bahwa mereka akan dipilih.

Angan-angan duduk nyaman

Dapat dipastikan banyak di antara mereka yang mengajukan diri sebagai caleg mengangankan nantinya akan duduk nyaman di kursi DPR, terhormat, dan bermartabat sambil mendiskusikan perumusan bagi terwujudnya kemaslahatan rakyat banyak. Mulai awal minggu ini, 6.607 orang yang terdaftar sebagai calon tetap sudah mulai berkampanye terbatas untuk bertarung memperebutkan 560 kursi di DPR. Pada tahap ini, mereka sibuk mengatur diri dalam rangka kampanye.

Partai politik tentu mengharapkan merekapun mengampanyekan aspirasi dan agenda kebijakan partai, yang diterjemahkan dengan bahasa sederhana supaya mengena di hati konstituen. Untuk itu, para caleg perlu mengikuti pendidikan pembekalan terus-menerus oleh partai. Selain platform partai, mereka perlu tahu cara-cara berkampanye yang merakyat, mempertemukan visi-misi partai dengan kebutuhan yang dirasakan konstituen. Tidak mudah, memang. Maka, asumsi bahwa partai-partai politik hanya sibuk mengumpulkan suara tidak sepenuhnya benar. Banyak pertimbangan praktis yang harus dipikirkan.

Namun, asumsi negatif itu timbul karena ada oknumoknum partai politik, bahkan beberapa petingginya, yang dengan seenaknya memanfaatkan kehebohan ini untuk keuntungan pribadi. Kesibukan KPK mengumpulkan sejumlah koruptor kakap dari kalangan partai politik mengakibatkan sejumlah partai terpaksa menanggung dosa. Gencarnya pemberitaan media massa dalam rangka menjaga moral dan etika bangsa sudah pasti menyusahkan partai-partai yang bersangkutan. Namun, itulah demokrasi. 

Lebih-lebih karena partai-partai politik dianggap pilar-pilar demokrasi, tak boleh ada pembiaran terhadap mereka yang bersalah. Bagaimana akibat penyelewengan sebagian oknum mereka, kita lihat hasilnya nanti di Pemilu 2014. Pembelajaran demokrasi sedang berjalan.

Calon alternatif

D-Day bukan hanya untuk menentukan para caleg terpilih, melainkan juga untuk memastikan siapa RI-1 lima tahun sejak 2014. Sebagian partai politik telah mempersiapkan jago mereka. Pertanyaannya, apakah yang dijagokan partai politik bisa diterima sebagai jago para konstituen? Itulah yang sedang ramai menjadi percaturan pendapat. Rakyat memang mengenal tokoh-tokoh lama, masing-masing dengan rekam jejak yang jelas. Rakyat mengenal pula partai-partai politik yang mengusung mereka, masing-masing dengan kiprahnya.

Namun, heterogenitas konstituen membuat proses penyaringan tidak gampang. Tidak gampang memilih di antara sekian banyak tokoh hebat, yang masing-masing memiliki daya tarik tersendiri bagi konstituen yang heterogen.

Yang menarik, kepada rakyat diperkenalkan pula tokoh-tokoh alternatif. Sebagian mendapat ekspose gam blang karena tugas mereka sehari-hari yang langsung bersangkutan dengan kepentingan publik. Yang lain-lain menjalankan tugas yang, walaupun tidak kalah penting, sifatnya terlalu abstrak bagi pengertian rakyat banyak. Ada lagi yang oleh segolongan dianggap memenuhi kriteria untuk menjadi RI-1, tetapi sepak terjangnya tidak dikenal orang kebanyakan. Para calon alternatif juga orang-orang hebat.

Lagi-lagi konstituen dibuat bingung dengan hadirnya sekitar 25 tokoh yang telah dideklarasikan ataupun yang masih kandidat capres. Apa aspirasi para capres dan apa yang sebenarnya mereka cari? Apa pula yang rakyat cari? Rasanya segenap pihak harus tahu dan jujur tentang landasan berpikir masing-masing agar yang ingin dipilih ataupun yang harus memilih tahu apa yang menentukan pilihan.

Di samping itu semua, perumusannya harus sesuai dengan aturan-aturan pemilihan umum yang berlaku. Para tokoh itu rasanya wajib berkampanye atau dikampanyekan. Konstituen pun, yang heterogenitasnya tinggi, perlu dan wajib tahu apa-siapa yang dipilihnya. Jangan yang terpilih sekadar penyebar citra dan pesona, sebab masa depan kita menjadi taruhannya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar