Senin, 26 Agustus 2013

Pengusaha Terlena, Rupiah Sengsara

Pengusaha Terlena, Rupiah Sengsara
Faisal Basri  ;    Ekonom
KOMPAS, 26 Agustus 2013


Semakin banyak orang, ekonom sekalipun, membandingkan keadaan sekarang dengan krisis tahun 1998. Bayang-bayang masa krisis yang kini paling menyembul sangat boleh jadi adalah defisit akun semasa (current account/ transaksi berjalan) yang sudah berlangsung selama tujuh triwulan berturut-turut dan mencapai puncak pada triwulan II-2013 ketika defisit membubung jadi 9,8 miliar dollar AS atau setara 4,4 persen dari produk domestik bruto.
Besaran defisit ini merupakan rekor baru. Pada masa menjelang krisis 1998 pun defisit akun semasa tak pernah separah itu. Sekalipun defisit akun semasa merupakan masalah struktural sebelum krisis karena hampir selalu kita mengalaminya, tak pernah menembus 4 persen produk domestik bruto (PDB).
Akun semasa ibarat benteng pertahanan paling ampuh dan menjadi sumber kekuatan utama dalam menghadapi gejolak eksternal. Akun semasa merupakan salah satu indikator yang mencerminkan tingkat kesehatan perekonomian. Struktur perekonomian yang melemah dan pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas lambat laun akan menggerogoti akun semasa dan merongrong keseimbangan eksternal.
Pertumbuhan sektor penghasil barang (tradable) sebelum krisis 1998 hampir selalu lebih tinggi ketimbang sektor jasa (non-tradable). Setelah krisis keadaan berbalik. Selama kurun tahun 2000-2004, rata-rata pertumbuhan sektor  tradable 3,6 persen, sedangkan sektor non-tradable 5,8 persen atau 1 berbanding 1,6 (1 : 1,6). Selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2005-2013), pertumbuhan sektor tradable dan sektor non-tradable masing-masing 3,6 persen dan 8,2 persen atau 1 : 2,3. Kesenjangan pertumbuhan kedua sektor ini kian menganga.
Kecenderungan yang berlangsung belasan tahun tersebut otomatis memperlemah kapasitas perekonomian untuk mengekspor barang, sementara selama 68 tahun merdeka kita selalu defisit perdagangan jasa.
Akhirnya akun semasa jebol. Namun, itu tak terjadi seketika. Pemburukan drastis sudah terjadi sejak tahun 2010 ketika surplus akun semasa anjlok menjadi 5,1 miliar dollar AS, dari 10,6 miliar dollar AS tahun sebelumnya. Surplus semakin tergerogoti hingga tinggal 1,7 miliar dollar AS. Pemburukan luar biasa terjadi tahun 2012 ketika akun semasa berbalik defisit sebesar 24,4 miliar dollar AS.
Pada masa Orde Baru, defisit akun semasa ditutup dengan mengandalkan utang luar negeri dan penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) yang kebanyakan berupa industri manufaktur berorientasi ekspor. Investasi portofolio masih sangat kecil.
Dalam satu dasawarsa terakhir, penanaman modal asing langsung di luar sektor pertambangan dan perkebunan lebih banyak berorientasi pasar domestik sehingga porsi ekspor Indonesia kian didominasi oleh hasil bumi yang harganya sangat berfluktuasi.
Peranan utang luar negeri untuk menutup defisit akun semasa digantikan oleh investasi portofolio yang sangat sensitif terhadap perubahan makroekonomi dunia seperti yang terjadi dewasa ini. Investasi portofolio ini seperti ”jelangkung”: datang tak diundang, pulang tak bilang-bilang.
Kedua perubahan struktural di atas membuat perekonomian kian sensitif terhadap perubahan lingkungan global.
Pilihan kebijakan untuk jangka pendek sangat terbatas. Salah satu yang bisa dilakukan segera adalah menjaga agar penanaman modal asing langsung terus naik. Pada tahun 2011 dan 2012, investasi asing langsung melonjak, menembus 19 miliar dollar AS setahun. Selama semester I-2013 investasi asing langsung cenderung turun, hanya 8,1 miliar dollar AS. Sayangnya, arus investasi langsung ini beriringan dengan peningkatan pesat repatriasi laba perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Dalam dua tahun terakhir, repatriasi laba perusahaan asing hampir 18 miliar dollar AS setahun. Jadi, saldo yang masuk hanya sekitar 1,5 miliar dollar AS. Pada semester I-2013, saldo ini melorot tajam menjadi hanya 232 juta dollar AS. Ditambah dengan tekanan investasi portofolio yang kian banyak keluar, lalu lintas modal masuk tak lagi mampu mengimbangi defisit akun semasa yang ”menggila”. Akhirnya, sejak triwulan I-2013, neraca pembayaran menderita defisit. Nilai tukar rupiah pun mau tak mau melorot.
Masih ada sedikit waktu membujuk perusahaan-perusahaan asing agar lebih banyak menginvestasikan kembali labanya. Tawaran ini belum kita jumpai dalam empat paket kebijakan yang diumumkan pemerintah pada Jumat (23/8).
Kalau disadari kondisi sekarang merupakan lampu kuning bagi perekonomian dan ancaman serius terhadap momentum pertumbuhan berkelanjutan, harus muncul sense of crisis dan sense of urgency. Kalau terapi kebijakan ekonomi sangat terbatas dan butuh waktu, harus ada juga desakan moral (moral suasion). Apa lagi kalau bukan tindakan yang bisa kita lakukan sekarang juga, yaitu menjual kekayaan dalam bentuk mata uang asing yang dimiliki para penyelenggara negara.
Presiden memiliki 589.188 dollar AS (2011), Menteri Perdagangan memiliki 626.677 dollar (2009), KSAD punya 450.000 dollar AS (2013), Kapolda Sumatera Selatan memiliki 100.000 dollar AS (2013), Menteri Keuangan punya 365.506 dollar AS (2012). Dua unsur pimpinan DPR, Priyo Budi Santoso dan Lukman Hakim Saifuddin, masing-masing memiliki 195.960 dollar AS dan 102.274 dollar AS (pelaporan tertanggal 1 Desember 2009).
Dengan kekayaan dalam valuta asing segelintir pejabat saja sudah mencapai 2,4 juta dollar AS, bisa dibayangkan betapa besar kekuatan dari dalam diri penyelenggara negara saja untuk memulihkan rupiah. Belum lagi beragam modus operandi sejenis ”dana operasional” Kementerian ESDM yang baru saja ketahuan berjumlah 200.000 dollar AS.

Jika tak kuasa membantu, janganlah menjadi rayap-rayap yang menggerogoti sendi-sendi perekonomian negara. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar