Jumat, 30 Agustus 2013

Putusan PK Sudjiono Timan dan Peluang PK Lebih dari Sekali

Putusan PK Sudjiono Timan
dan Peluang PK Lebih dari Sekali
Syamsul Arief ;   Hakim di PN Bengkulu
DETIKNEWS, 29 Agustus 2013


Putusan hakim tidak hidup di ruang hampa. Putusan hakim ada di dalam pusaran dinamika sosial masyarakatnya. Bahkan bisa menjadi bagian dari penanda politik hukum di zamannya. Hakim bisa saja tepat menilai tapi tentu juga tidak bebas dari kesalahan menilai.

Apakah dalam menilai dan memutus itu ia ada bersama arus pusaran isu dan editorial zamannya atau melawan arus semangat zamannya. Atau bahkan justru membuat terbelah pandangan di dalam masyarakatnya, putusan pengadilan tetap bergeming dalam kuasa Sang Pemutus.

Ini bukan karena UU terlanjur memberi kuasa yang hebat untuk memutus pada diri hakim tapi memang hal itu asas dan aturan mainnya di belahan negeri mana pun yang mengklaim sebagai negara hukum. Maka seberapa pun riuh rendahnya tanggapan dan tidak puasnya sebagian orang atas putusan Sudjiono Timan yang dinilai kontroversial itu masyarakat harus menghormati putusan majelis hakimPK yang diketuai hakim agung Suhadi.

Hal tersebut sesuai dengan asas hukum projudiata pro veritate habetur, putusan hakim harus dianggap benar. Prinsip hukum menghormati entitas putusan hakim yang dianggap benar tersebut sampai kemudian dibuktikan sebaliknya oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi atau pengadilan lainnya adalah juga bagian dari prinsip hukum peradilan bebas dan merdeka.

Di dalam sistem hukum peradilan bebas dan merdeka tersebut hakim tidak memiliki tanggung jawab hukum (judicial liabilty) atas putusan yang sudah dijatuhkannya. Baik itu tanggung jawab perdata, terlebih lagi tanggung jawab pidana. Karena hakim memiliki personal immunity rights (hak kekebalan individu).

Itu pula yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya yang menganulir 3 pasal dalam UU No 11/2013 tentang Sitem Peradilan Anak yang memuat di dalamnya pasal mengenai kriminalisasi hakim akibat putusan yang dijatuhkannya.

Hakim dalam menjalankan tugas judisialnya tidak bertanggung jawab terhadap siapa pun dan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan YME. Ketua pengadilan atau bahkan pengadilan di atasnya pun tidak diperkenankan mempengaruhi hakim dalam mengambil putusan.Next 
Bahkan jika pun putusan tersebut telah dijatuhkan dan putusan tersebut dianggap tidak adil, ngawur bahkan menyedihkan sekalipun putusan tersebut harus dihormati keberadaannya. Putusan tersebut tetap ada dan berlaku sampai kemudian putusan tersebut dinyatakan sebaliknya oleh pegadilan yang lebih tinggi atau pengadilan lainnya.

Inilah prinsip hukum projudiata pro veritate habetur, putusan hakim harus dianggap benar.

Karena putusan hakim harus dianggap benar sampai kemudian dibuktikan sebaliknya oleh putusan hakim lainnya maka putusan hakim yang bisa salah bisa tidak, bisa diterima bisa pula dicerca maka demikian pula halnya dengan pendapat pro dan kontra masyarakat itu sendiri.

Apakah nilai dalam menjatuhkan putusan itu berasal dari desakan masyarakat atau pemberitaan media massa atau dari ijtihad pemikiran hakim itu sendiri semua sah-sah saja. 

Saya tidak mau ikut mengomentari kontroversi putusan tapi saya berpikir 'genit' mencari celah dalam koridor rasio kemungkinan upaya hukum yang ditempuh oleh pihak-pihak yang menilai putusan Peninjauan Kembali (PK) dinilai tidak cukup adil.

PK atas PK atau Gugatan Perdata?

Di hukum acara pidana dan praktik hukum di Indonesia tidak mengenal adanya putusan yang dinilai melanggar hukum acara lalu dengan sendirinya putusan tersebut batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada (never existed) tanpa melalui proses pemeriksaan dan dengan putusan yang baru menyatakan putusan sebelumnya tersebut telah batal demi hukum. 
Maka dengan itu hanya dalam bentuk putusan dari majelis hakim lain yang bisa menyatakan suatu putusan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada (never existed).

Dalam soal putusan Sudjiono Timan yang dinilai kotroversial itu dapatkah putusan PK yang telah diajukan dan diputus tersebut dapat diajukan kembali permohonan PK untuk yang kedua kalinya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang berkepentingan untuk itu? Bukankah upaya pengajuan PK yang dimintakan oleh pemohon Sudjiono Timan tersebut dalam kerangka hukum acara dan praktik selama ini merupakan upaya hukum luar biasa yang terakhir? 

Dalam ketentuan hukum acara pidana, upaya hukum luar biasa berupa PK hanya dapat diajukan satu kali saja (vide pasal 268 ayat 3 KUHAP) dan pengajuan PK tersebut hanya boleh diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan yang mengajukan permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tersebut adalah terpidana atau ahli warisnya (vide Pasal 263 KUHAP).

Dalam perkembangan praktik hukum sendiri acara permohonan PK mengalami banyak dinamika. Permohonan PK tidak sepenuhnya persis sebagaimana bunyi ketentuan dalam KUHAP tersebut.

Ketentuan PK yang dalam sejarahnya dibuat untuk mengakomodir hak-hak terpidana dan ahli warisnya. Kasus Sengkon-Karta akhir tahun 1980 ternyata dalam praktiknya, PK bukan saja bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya tapi juga dapat diajukan oleh JPU. Ingat kasus PK terhadap Mochtar Pakpahan tahun 1996 dan kasus Pollycarpus tahun 2007?

Demikian pula dalam hal praktik hukum pihak terpidana atau ahli waris yang mengajukan permohonan PK tersebut tidak wajib harus dihadiri oleh terpidana itu sendiri apabila terpidana tersebut berhalangan, pun berhalangan tersebut misalnya karena terpidana tersebut kabur sekalipun, contoh misal dalam kasus PK oleh Tommy Soeharto.

Itu sebabnya pada waktu permohonan PK oleh Tommy Soeharto di kasus Bulog diterima oleh MA sedangkan pemohon Tommy sendiri kabur, banyak pihak mengkritik praktik itu. Sampai kemudian MA membuat Surat Edaran No 1 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 yang menegaskan bahwa permintaam PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus ditolak dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke MA.
Maka dengan rasio pengajuan PK Tommy Soeharto itu mungkin menjadi preseden dan dasar alasan mengapa majelis hakim agung yang memutus permohonan PK Sudjiono Timan melalui PN Jakarta Selatan telah menerima permohonan tersebut oleh karena Permohonan PK Sudjiono Timan diajukan sebelum tanggal SEMA No 1 Tahun 2012 itu keluar. 

Apakah dalam praktik PK atas putusan PK dimungkinkan? 

Meskipun banyak pula ahli hukum mengkhwatirkan bila sampai terjadi pengajuan PK atas putusan PK dipraktikan atau bahkan diatur dalam UU sebagaimana usul dalam Rancangan KUHAP baru itu bisa membuat sistem hukum acara pidana kacau, namun dalam konteks suara-suara yang mencerca dan mengkritik putusan PK Sudjiono Timan peluang PK atas PK dimungkinkan untuk itu. 

Hal ini ditambah lagi bagi mereka yang mendukung PK untuk yang kedua terlihat saat ini dari dukungannya atas uji materi (judicial review) untuk itu di MK yang diajukan oleh Antasari Azhar atas bunyi pasal 268 ayat (3) KUHAP tersebut agar terbuka peluang pengajuan PK kedua di MA.

MA sendiri melalui SEMA No 10/2009 nampaknya memberi ruang untuk diajukannya PK kedua dan/atau PK atas PK ini. Di dalam ketentuann Butir 2 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 10 Tahun 2009 disebutkan bahwa apabila suatu obyek perkara terdapat 2 atau lebih putusan PK yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan di antaranya ada yang diajukan permohonan PK agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke MA. 

Adanya dua atau lebih putusan PK yang bertentangan sehingga memungkinkan bisa diajukan PK yang kedua atau PK atas PK sebagaimana SEMA tersebut tentu bisa saja ditafsirkan adanya dua putusan di tingkat PK yang bertentangan tapi bukan dalam kasus yang sama dalam berkas terdakwa yang terpisah.

Sebagaimana diketahui dalam catatan di berbagai media massa dalam kasus korupsi PT BPUI hanya kasus Sudjiono Timan yang berkasnya diajukan ke pengadilan. Sementara untuk pelaku yang lain dalam kasus tersebut pernah ditetapkan tersangka-tersangka lain. Seperti mantan Menteri Keuangan Ali Wardhana, Taipan Prajogo Pangestu dan direksi-direksi PT BPUI itu sendiri. Status mereka sampai kini belum jelas apakah masih dalam status tersangka, sudah dilimpahkan ke pengadilan atau bahkan telah di-SP3-kan Kejaksaan Agung.

Maka bila PK kedua diajukan dengan mencari putusan PK yang berbeda putusannya dalam perkara terdakwa terpisah tentu tidak bisa diajukan permohonan PK tersebut. Namun bila permohonan PK kedua diajukan dengan bersandarkan pada putusan kasasi atau dalam putusan PK dalam perkara sejenis dalam kasus korupsi BLBI yang pernah di hukum MA maka celah pengajuan PK kedua terbuka untuk itu.

Berkaca dari praktik hukum PK Mochtar Pakpahan dan PK Pollycarpus maka dalam praktik hukum acara celah mengajukan PK kedua dan atau PK atas PK bisa dilakukan. Meskipun hal ini akan dikritik menciptakan kembali kekacauan dan polemik hukum acara yang baru. 

Namun apabila pilihannya tegas pada asas PK hanya bisa diajukan satu kali maka pintu bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menyelamatkan kerugian negara tersebut hanyalah melalui gugatan perdata saja. Untuk menempuh itu negara melalui JPU akan melalui jalan yang panjang. Karena tentu terhadap aset-aset terdakwa atau barang-barang sitaan sebelumnya ada kemungkinan berpindah kepemilikan. 

Apabila gugatan perdata ditempuh konsekuensi hukumnya terhadap tersangka-tersangka lain terkait korupsi BPUI yang pernah ditetapkan oleh penyidik Kejagung pada 2001 haruslah dipulihkan nama baik dan harus dikeluarkan SP3.

Jikalau SP3 untuk itu sudah dikeluarkan oleh Kejagung sebelumnya tanpa diketahui banyak media massa, tepatlah kiranya putusan PK Sudjiono Timan tersebut diterima secara legowo oleh Kejagung dan pihak Kejagung bersiap untuk mengajukan gugatan perdata untuk itu.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar