Kamis, 29 Agustus 2013

Tantangan Ekonomi Sang Gubernur

Tantangan Ekonomi Sang Gubernur
Agus Suman ;   Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya
JAWA POS, 29 Agustus 2013


SEBELUM matahari hari ini terbenam, sudah bisa disaksikan siapa gubernur Jawa Timur terpilih. Pilgub kali ini diiringi kon­disi ekonomi nasional yang menimbulkan waswas. Dan dinamika Jatim merupakan salah satu barometer penting dalam kancah nasional. Setelah berbulan-bulan berbicara politik, begitu pilgub usai, perlu mulai berkonsentrasi lagi ke ikhtiar menyejahterakan warga. 

Sebelumnya, berbagai prestasi diraih Jatim. Tentu patut kita syukuri bersama karena, bagaimanapun, telah berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator kesejahteraan tecermin dari terus menurunnya angka kemiskinan. Berdasar hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah penduduk miskin di Jatim pada September 2012 mencapai 13,08 persen (4,96 juta). Telah terjadi penurunan bila dibanding dengan 2011 yang mencapai 13,85 persen (5,23 juta). 

Meski demikian, ada beberapa persoalan serta tantangan ekonomi serius yang perlu diatasi sang gubernur. Pertama, rendahnya mutu pertumbuhan sektor riil, khususnya pertanian. Berdasar data 2012, meski sektor pertanian memberikan kontribusi 15,42 persen terhadap PDRB Jatim, pertumbuhannya selama 2008-2012 masih di bawah 4 persen. Yakni, 2008 (3,12 persen); 2009 (3,92 persen); 2010 (2,23 persen); 2011 (2,53 persen); dan 2012 (3,49 persen). 

Pertumbuhan pertanian kalah oleh sektor non-tradeable yang tumbuh lebih dari 5,25 persen per tahun dalam periode yang sama. Sektor angkutan dan komunikasi (10,6 persen per tahun), keuangan, realestat, dan jasa perusahaan (7,36 persen per tahun). Akibatnya, walaupun pertumbuhan ekonomi Jatim melaju kencang, angka kemiskinan dan pengangguran belum menurun secara signifikan. Sebab, 42,5 persen tenaga kerja di Jatim berada di sektor pertanian. 

Hal itulah yang menjawab mengapa dalam 20 tahun terakhir kemiskinan dan pengangguran tidak kunjung tuntas di Jatim, meski dana triliunan rupiah telah digelontorkan ke daerah. 

Rasanya sulit diterima nalar sehat, kinerja sektor pertanian Jatim yang merupakan lumbung pangan nasional dan penyumbang terbesar beberapa komoditas strategis pangan nasional (beras, jagung, gula, dan kedelai) tidak bisa cemerlang. Bahkan, pertumbuhannya lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan nasional, hanya 2,53 persen pada 2011.

Hal tersebut masih diperparah adanya mutasi lahan yang berkurang 214.291,18 hektare dalam periode 2007-2011 (BPN, 2011). Rusaknya infrastruktur jaringan irigasi mencapai 35 persen (Dinas Pertanian, 2012). Survei BPS 2011 juga menunjukkan tingginya penyusutan hasil pascapanen padi yang mencapai 10,82 persen. Ditambah kurangnya tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) karena banyak yang memasuki masa pensiun, sehingga pada 2014 diperlukan 5.000 PPL (Bappeprov Jatim, 2013). 

Kedua, terkonsentrasinya sektor industri dan perdagangan di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, dan Lamongan. Imbasnya, pendapatan per kapita di kawasan tersebut relatif lebih tinggi jika dibanding daerah lain. Selain macetnya sektor pertanian, faktor itu ditengarai menjadi penyebab sulitnya mengatasi kemiskinan, pengangguran, serta ketimpangan pembangunan di Jatim. 

Karena itu, meski angka kemiskinan di Jatim menunjukkan tren menurun, posisi Jatim masih di atas rata-rata kemiskinan nasional. 

Mirisnya, data BPS 2010 menunjukkan, 75 persen PDRB Jatim disumbang 10 kabupaten/kota. Antara lain, Kota Surabaya, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Malang. Seluruh daerah itu berbasis sektor industri dan jasa perdagangan. 

Bila melihat PDRB (produk domestik regional bruto) per kapita di masing-masing kabupaten/kota, ternyata hanya tujuh kabupaten/kota yang PDRB per kapitanya di atas rata-rata Jatim. Yaitu, Kota Kediri, Surabaya, Malang, Mojokerto, Probolinggo, Kabupaten Sidoarjo, dan Gresik. Selebihnya, PDRB per kapita 31 kabupaten/kota masih berada di bawah rata-rata Jatim (Ananda, 2010). 

Ketiga, rendahnya kualitas pembangunan Jatim. Berdasar data, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jatim 2009-2011 masih di bawah IPM nasional. IPM Jatim 2009 mencapai 70,98 (rata-rata nasional mencapai lebih dari 71). Sebanyak 50 persen IPM kabupaten/kota di Jatim masih berada di bawah IPM Jatim. IPM Jatim berada di peringkat ke-20 di antara 33 provinsi.

Kemudian, pada 2010, nilai IPM Jatim naik menjadi 71,62. Tapi, tetap saja 50 persen IPM kabupaten/kota masih di bawah IPM Jatim. Selanjutnya, pada 2011, IPM Jatim meningkat lagi menjadi 72,18, tapi masih di bawah IPM nasional 72,77 (BPS, 2012). 

Dugaan keterkaitan antara IPM dan kemiskinan sangat kuat. Sebab, tingkat kemiskinan kota/kabupaten yang ber-IPM rendah sangat tinggi. Tidak salah bila kubangan-kubangan kemiskinan di Jatim berada di daerah mataraman, tapal kuda, dan Madura yang nilai IPM-nya rendah serta ekonomi masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian. 

Pertama, kita harus serius menata kembali sektor pertanian dan kawasan perdesaan. Realitas di Jatim menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin (sekitar 65,26 persen) berada di wilayah pedesaan, sedangkan selebihnya berada di kawasan perkotaan (BPS Jatim, 2010). 

Kedua, meningkatkan pertumbuhan sektor industri berbasis pertanian dan maritim di kawasan-kawasan yang selama ini pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapitanya rendah. Karena itu, pemerintah perlu meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan serta pembangunan infrastruktur demi memudahkan arus pemindahan barang, orang, dan informasi ke pusat-pusat ekonomi. 

Ketiga, memfokuskan alokasi APBD dari tingkat provinsi sampai kabupaten demi mendorong pemberdayaan sektor pertanian serta industri pengolahan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar