Minggu, 29 September 2013

Bencana Kebahasaan

Bencana Kebahasaan
Teuku Kemal Fasya ;  Dosen Antropolinguistik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
KOMPAS, 28 September 2013


Tragedi wawancara artis Zaskia Shinta dan Vicky Prasetyo, awal September lalu, telah menjadi topik perbincangan di media sosial dan media massa.

Wawancara pertunangan sehari mereka pun telah muncul di Youtube. Dalam lima hari, 288.000 pengunjung telah melihat ”bencana kebahasaan” itu dan menjadi olok-olok publik.
Saya tidak akan menambah olok-olok itu lagi di sini, tetapi mencoba berhenti sejenak dan merefleksikan mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Kesimpulannya, di samping faktor psikologi kompleks sang penutur, masalah ini memang sedang merasuki psikologi sosial kebahasaan kita di media, terutama TV.

Gaya sosialita

Media televisi telah memengaruhi kultur kebahasaan masyarakat. Acara seperti talk show, music show, sinetron, reality show, dan kuis telah menghadirkan kiblat baru dalam berkomunikasi ala sosialita dan Jakarta. Coba perhatikan model komunikasi acara Master Chef Indonesia. Juri seperti Arnold Poernomo, Degan Septoadji, dan Ririn Marinka tak hanya profesional, tetapi juga pernah mendapat pendidikan dan meniti karier di luar negeri sehingga penguasaan bahasa asing (terutama Inggris) terlihat baik.

Mungkin penggunaan bahasa asing itu bukan pamer, melainkan ekspresi alam bawah sadar karena telah menjadi model wicara, parole, harian. Ditambah lagi program lisensi luar negeri itu mensyaratkan pakem bahasa global sebagai bagian standardisasi pertunjukan yang elegan.

Padahal, secara histori-linguistik, tak ada jaring penghubung Indonesia dan Amerika, kecuali melalui televisi dan film Hollywood. Jaring-jaring pertautan histori-linguistik kita sesungguhnya lebih lekat dengan bahasa Sanskerta, India-Urdu, Arab, Persia, Belanda, Spanyol, baru kemudian Inggris (British).
Itu pula mengapa dalam sejarah serapan kata, kita mengenal kata-kata khabar, ashram, presis, syakti, syirna, aktie, proclamatie, studen sebelum dikodifikasi dalam Ejaan yang Disempurnakan. Atau penggunaan meminimilir dan  informil  yang awalnya pengaruh Belanda diubah menjadi  meminimalisasi  dan informal  sebagai pengaruh Inggris-Amerika.

Saat ini, seperti ada jebakan, ketika berbicara di ruang publik atau televisi tidak menggunakan American style dan gaya bahasa Jakarta, kita dianggap tidak standar dan belum intelek. Belum lagi jika ingin dianggap kaum sosialita (istilah yang muncul belakangan mendefinisikan komunitas pesohor atau artis), mau tak mau ber-Inggris ria menjadi rukun dan syarat. Itu satu hal!

Hal lainnya adalah penggunaan istilah. Sesungguhnya penggunaan istilah atau terminologi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan ketika bahasa telah berkembang dari sekadar alat komunikasi menjadi tanda pengetahuan dengan struktur makna yang khusus dan disiplin. Istilah, derivasi bahasa asing, makna konotasi, dan metafora adalah bagian dari perkembangan bahasa karena fungsi bahasa yang tidak selalu denotatif atau bermakna langsung.

Pengaruh antrolinguistik

Dalam keseharian, kita tidak hanya menggunakan kata makan, menyinta,  terjengkang, tunggang langgang, tetapi juga mengenal kata sinkronisasi, sofistikasi, resiliensi, polarisasi yang telah terpapar atau terderivasi ke dalam bahasa Indonesia. Sejarah leksikalitas itu akan panjang jika diurai, tetapi satu hal yang ingin disinggung di sini, efek fonetis -sasi memengaruhi antrolinguistik masyarakat untuk berkomunikasi secara serampangan.

Jadilah kalimat seperti ”harmonisasi dari yang terkecil hingga terbesar”, seperti yang diungkap Vicky. Padahal, bisa digunakan penyesuaian, kompromi, atau penyelerasan untuk konteks kalimat itu.
Ada nasihat baik dari Jacques Derrida, filsuf bahasa asal Perancis, bahwa dalam komunikasi lisan (atau untuk konteks sekarang komunikasi pseudo-tulisan seperti Twitter), gunakanlah bahasa yang bersifat langsung, sederhana, dan umum karena kita sedang berhadapan dengan audiens yang meluas atau massa.

Berbeda dengan bahasa tulisan (L'écriture), diperlukan persiapan kedalaman dan memaksimalkan fungsi différence: menunda/menunggu (to defer) dan memberikan perbedaan (to differ) dengan bahasa lisan. Mengapa? Itu karena bahasa tulisan dimaksudkan menghidupkan semesta pengetahuan (logosentrisme) dan bukan hanya berhenti di logika bunyi (fonosentrisme) sehingga setiap omongan hanya jadi sesuatu yang berlepas tangkap lalu menghilang.

Secara lebih praksis, sederhanalah dalam berbicara dan cermatlah dalam menulis. Jangan melewati batas, apalagi jika Anda hanya ingin memuaskan para pemirsa televisi. Tak perlu kalimat ”mengkudeta apa yang kita miliki” dan ”konspirasi kemakmuran” yang gramatikal kacau dan secara sosial terkesan ingin kelihatan intelek.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar