Jumat, 27 September 2013

Cabut Wewenang DPR

Cabut Wewenang DPR
Achmad Fauzi  ;   Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel
KORAN JAKARTA, 26 September 2013


Proses uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung (CHA) di Komisi III DPR, baru-baru ini (18-9/9), menuai kritik terutama terkait aroma tak sedap politik suap. Selain isu pertemuan empat mata salah seorang anggota Dewan dengan CHA di ruang toilet, juga tersiar kabar Komisi III pernah menawarkan uang sogok kepada Komisioner Komisi Yudisial (KY) agar meloloskan calon tertentu. Tiap komisioner telah disiapkan 200 juta rupiah. 

Komisioner KY, Imam Anshori Saleh, menjelaskan pertemuan "tak sengaja" CHA Sudrajad Dimyati dengan anggota Komisi III asal Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Bahruddin Nashori, di sela-sela proses seleksi. 

Mantan Ketua KY, Busyro Muqoddas, yang kini menjabat Wakil Ketua KPK mengaku tak heran akan praktik cela seleksi pejabat publik di DPR yang masih menggurita. Kendatipun ada CHA yang memiliki integritas dan kapasitas tinggi, jangan berharap bisa lolos sebagai hakim agung bila tak mampu membayar uang pelicin dengan tarif 2 miliar rupiah. Sungguh kotor praktik yang diterapkan DPR. Proses rekrutmen pejabat publik yang strategis sarat percaloan. 

Publik mendesak KY segera mengungkap nama-nama anggota DPR yang terlibat praktik percobaan suap pemilihan hakim agung sebab menggulirkan isu tanpa pertanggungjawaban dan tindak lanjut pelaporan melaui mekanisme yang benar akan menjadi bumerang. Lembaga pengawas keluhuran hakim ini akan dianggap lempar batu sembunyi tangan bila hanya omong kosong. Maka, KY harus segera melaporkan nama-nama tersebut ke Badan Kehormatan DPR untuk ditindak tegas. 

Publik sungguh sangat terkejut. Mekanisme pemilihan "wakil" Tuhan yang seharusnya bersih, justru sarat kerja politik uang. Praktik kotor ini harus digugat dengan mewacanakan mencabut kewenangan DPR memilih hakim agung.



Isu tentang percaloan pejabat publik di DPR memunculkan desakan agar uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan Komisi III DPR ditinjau ulang. Hakim agung harus bekerja independen dalam sebuah lembaga yudikatif. Namun, kenyataannya, meski pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, mandat konstitusional yang dimiliki tidak penuh. 

KY sebatas mendaftar, menyeleksi, menetapkan, dan mengajukan CHA ke DPR. Padahal, posisi KY untuk memperkuat kekuasaan kehakiman. Namun, dalam praktik politik ketatanegaraan, lembaga legislatif memiliki otoritas penuh menentukan kelulusan para penyangga benteng terakhir keadilan itu. 

Dasar kewenangan DPR untuk memilih CHA berpijak pada ketentuan Pasal 8 Ayat (2),(3), dan (4) UU No 3 Tahun 2009 tentang MA dan Pasal 18 Ayat (4) UU No 18 Tahun 2011 tentang KY. Namun secara hierarki perundang-undangan, dasar kewenangan memilih tersebut bertentangan dengan konstitusi sebab konstitusi memosisikan DPR sebagai pemberi "persetujuan", bukan dalam frasa "memilih". Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan CHA diusulkan KY kepada DPR untuk disetujui dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata "memilih" berarti mencari, menentukan, dan menunjuk sesuatu yang dianggap baik. Maknanya, ada serangkaian etape yang harus dilalui hingga pada akhirnya mencapai derajat persetujuan. Sedangkan kata "setuju" artinya sepakat, semufakat, sependapat. Frasa ini biasa digunakan pada tahap final setelah melewati proses memilih. 

Dalam bahasa hukum, frasa memilih lebih tepat dimaknai sebagai wewenang KY untuk memilih calon hakim agung sebab yang diatur secara rigid oleh UU untuk melakukan tahapan proses pendaftaran, seleksi menyeluruh, menetapkan, dan mengajukan calon adalah KY. 

Karena itu, ketika DPR menguji "kesetiaan politik" berkedok fit and proper test terhadap CHA, sesungguhnya telah menegasikan kerja keras KY yang diberi mandat menjaring dan menguji para calon potensial. Lembaga legislatif tak perlu menyelenggarakan etape ujian sebagaimana dilakukan KY. 

Jika dalih wewenang uji kelayakan di DPR semata-mata untuk menghasilkan hakim yang benar-benar agung, seharusnya bisa disederhanakan dengan diskresi pengurangan syarat kuota 3:1 (Pasal 18 Ayat (4) UU KY). Pertimbangannya, lebih baik KY memperketat seleksi dan mempertahankan sedikit calon berkualitas untuk setiap kamar ketimbang memaksakan mengajukan tiga CHA untuk setiap satu lowongan hakim agung yang diminta MA. 

Masalahnya, selama ini, ketentuan syarat kuota kerap diterapkan secara kaku oleh DPR sehingga sering menolak menyeleksi CHA karena kuota yang diajukan KY tidak memenuhi. Pada tahun 2012, misalnya, DPR sempat menolak melanjutkan proses seleksi CHA karena kuota belum terpenuhi. Saat itu, KY yang seharusnya mengirimkan 18 calon hanya mengajukan 12. Semestinya DPR lebih mengutamakan kualitas daripada memaksakan pemenuhan kuantitas. Kredibilitas tak bisa dikompromikan.

Rintangan terbesar terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan sejatinya berkisar pada persoalan pengaruh kekuasaan politik terhadap otoritas yudisial. Proses pemilihan hakim agung di DPR menjadi contoh nyata, jabatan dalam sebuah kekuasaan negara yang independen dipersepsi sebagai jabatan politis. Akibatnya, impian memperoleh hakim agung yang tangguh dan berpengalaman di bidang hukum terbuyarkan oleh skema permainan politik kepentingan parpol.

Jamak terjadi, meski dalam proses seleksi di KY seorang CHA telah teruji dari sisi integritas, menguasai keilmuan serta kemampuan teknis peradilan, apabila tidak memiliki kedekatan politik, dipastikan impiannya kandas. Ekstremnya, digugurkannya calon semata-mata karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan politiknya. 

Mekanisme rekrutmen demikian pada akhirnya melahirkan hakim-hakim penyangga kepentingan parpol ketimbang sebagai pilar keadilan. Hakim bekerja bukan lagi untuk menegakkan hukum karena tersandera politik balas budi yang ditanamkan sejak perekrutan. Kondisi demikian menyebabkan darurat hukum dan menyulitkan proses penegakan hukum yang imparsial. Kekuasaan lembaga peradilan akan ditelikung oleh kekuatan lain untuk menyukseskan kepentingan pragmatis. 

Jika di kemudian hari proses rekrutmen CHA tidak melalui mekanisme politik di DPR, bisa dengan tim independen bentukan KY dan MA. Selain menjaga independensi peradilan dari intervensi politik, juga demi menyelamatkan ketersediaan hakim agung berintegritas dan berkualitas di masa datang. 

Hakim agung adalah sosok sentral lembaga peradilan yang menjadi panutan hakim-hakim Indonesia, baik dari segi keilmuan maupun teladan akhlaknya. Kebutuhan dua unsur tersebut sangat penting karena beberapa media massa akhir-akhir ini melukiskan cermin retak profesi hakim. Integritasnya dianggap berada pada taraf mengkhawatirkan. Susul-menyusul ditangkapnya hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah musababnya. Entah tersandung kasus suap, narkoba, asusila, atau pelanggaran etik dan pidana lainnya.

Hukum di masa mendatang tidak boleh kehilangan tiang penyangga. Posisi hakim (agung) harus memiliki legitimasi yang kuat di tengah masyarakat dengan membersihkan sistem dari bercokolnya sumber daya bermental sampah. Semua tiang penyangga peradilan sepantasnya direbut dan diisi oleh para pendekar hukum yang berani menyatakan kebenaran sebagai benar dan kebatilan sebagai mungkar, sebelum jatuh ke tangan hakim hitam. 

Caranya, rekrut sumber daya berintegritas tinggi dengan mengutamakan rekam jejak, berwawasan luas di bidangnya, dan berkomitmen terhadap keilmuan. Mekanismenya juga terbuka, fair, dan netral dari unsur nepotisme. Ketika proses meraih jabatan hakim agung dilakukan dengan cara yang kotor, jangan terkejut bila lembaga peradilan menjelma menjadi sarang para penjahat berjubah dan menjadi parasit penegakan hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar