Senin, 30 September 2013

Era Kepemimpinan Muda

Era Kepemimpinan Muda
Rakhmat Hidayat  ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi Université Lumière Lyon 2 Prancis
KORAN SINDO, 30 September 2013


Bima Arya (41 tahun) sudah dinyatakan secara resmi memenangkan Pilkada Kota Bogor. Kemenangan Bima sekaligus menambah deretan panjang figur-figur muda yang memenangkan pilkada di sejumlah daerah. Sebelum Bima, Ridwan Kamil (41 tahun) juga memenangkan Pilkada Kota Bandung. 

Sebelumnya Ganjar Pranowo (44 tahun) bisa menduduki kursi gubernur Jawa Tengah. Figur-figur muda itu hadir dalam ruang politik yang membawa optimisme di tengah karut-marut politik yang defisit moral kepemimpinan. Ada semangat dan perspektif baru yang diusung mereka dalam kontestasi politik. Semangat mereka berpijak pada isu perubahan yang ditawarkan dalam kebijakan publik. Muda, perubahan, dan optimisme adalah benang merah dari tokoh-tokoh muda tersebut. 

Kemunculan figur muda juga akibat kejenuhan masyarakat dalam kepemimpinan yang stagnan, tidak menawarkan warna baru dalam kebijakan publik di daerahnya. Ada kegairahan dari masyarakat untuk bergerak lebih dinamis sesuai tuntutan zaman. Struktur kognisi masyarakat tentu tak sama ketika pemimpin sebelumnya memenangkan pilkada. Ada perubahan, kemajuan, dan pergerakan dalam kognisi masyarakat ketika merespons berbagai isu yang berkembang di masyarakatnya. Mulai dari ekonomi, sosial, kesejahteraan, pendidikan, hukum, budaya, dan sebagainya. 

Masyarakat sudah cerdas dalam menentukan pilihan politiknya. Mereka sama-sama berharap, inilah saatnya melakukan perubahan melalui tokoh yang mereka titipkan mandatnya untuk membawa arah baru bagi kehidupannya. Pada tataran ini sebenarnya kekuatan figur dan dorongan dan ekspektasi publik terhadap perubahan saling bersahutan dalam melahirkan tokoh-tokoh muda di daerah. 

Kepemimpinan Nasional 

Dalam konteks nasional, kelahiran figur-figur muda tersebut menjadi sebuah ekspektasi publik yang harus kita dorong sebagai agenda publik. Menjelang suksesi kepemimpinan 2014, muncul pemikiran kuat untuk memberikan kesempatan kepada kalangan muda untuk meneruskan kepemimpinan nasional. Sudah saatnya generasi tua yang terlibat dalam pentas politik nasional memberikan ruang politik bagi kalangan muda yang lebih visioner, segar, dan progresif memimpin republik ini. 

Ekspektasi politik ini suatu keniscayaan dalam konteks demokratisasi kepemimpinan nasional. Kita perlu mengajukan proposal kepada partai politik untuk mengusung tokoh muda dalam Pemilu 2014. Meskipun harus diakui bahwa kita masih gagap dalam mendefinisikan ‘’kepemimpinan muda’’ sebagai aktor penting dalam kontinuitas demokrasi Indonesia pasca- Orde Baru. 

Kita harus menerima kritik bahwa kepemimpinan muda masih dihadapkan dengan masalah pelik. Seringkali kita masih terjebak pada resistensi pihak-pihak yang menolak keras pemimpin muda dalam panggung politik nasional. Kritik lain muncul karena terjebak pada dikotomi pemimpin muda dan pemimpin tua dalam pentas politik nasional. Saya kira kritik ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi politisi muda khususnya dan publik umumnya untuk melakukan dekonstruksi terhadap cara berpikir dalam merespons tantangan demokratisasi di Indonesia. 

Pasca-Orde Baru Indonesia sudah menghelat Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Tapi, kita belum juga menemukan tipologi pemimpin muda yang autentik dalam meneruskan proyek demokrasi Indonesia yang masih berlangsung. Tanpa berpikir untuk melakukan dekonstruksi kultural di level publik, kita akan kembali dengan wajah kepemimpinan produk-produk lama. 

Gerontokrasi Politik 

Isu ini menjadi penting dalam menyongsong regenerasi kepemimpinan 2014. Jika kita tak bisa menata ulang basis berpikir generasi muda, jangan salahkan jika 2014 kita masih berada dalam era gerontokrasi yaitu era kepemimpinan kaum tua. Gerontokrasi adalah bentuk pemerintahan oligarkis di mana suatu entitas diperintah oleh pemimpin yang secara signifikan lebih tua dari sebagian besar populasi orang dewasa. 

Seringkali struktur politik adalah sedemikian rupa sehingga kekuasaan politik dalam kelas penguasa terakumulasi dengan usia sehingga tertua memegang kekuasaan yang paling besar. Ada kekhawatiran menjelang Pemilu 2014 kita dihadapkan pada gejala gerontokrasi. Jika kita masih berkutat dengan stok pemimpin lama tersebut tanpa mendorong lahir pemimpin muda yang lebih menjanjikan, kita akan mengalami apa yang disebut Craig Berry (2010) sebagai intergenerational democratic deficit. 

Penjelasan ini tertuang dalam publikasinya berjudul “The Rise of Gerontocracy? Addressing the Intergenerational Democratic Deficit”. Gejala intergenerational democratic deficit lahir sejalan dengan kemunculan gerontokrasi karena termarginalisasi politisi muda dalam kontestasi politik. Marginalisasi politisi muda itu dalam pandangan Berry kemudian direspons dengan mendorong terjadi intergenerational equity dalam konteks demokrasi. Dalam konteks Indonesia, ancaman ini sudah di depan mata dan hanya menghitung hari. Akan menjadi kecelakaan sejarah jika kita tak berani keluar dari jebakan gerontokrasi tersebut. Fakta empiris di masyarakat, gejala perubahan mulai menggelinding sejalan dengan kelahiran pemimpin-pemimpin muda. 

Dalam konteks nasional, perjuangan melawan gerontokrasi memang sangat terjal dan berliku. Paling tidak kita punya dua ekspektasi dalam Pemilu 2014. Kita berharap Pemilu 2014 akan lebih berkualitas dalam melahirkan cetak biru politik nasional lima tahun ke depan. Pemilu 2014 akan semakin berkualitas jika menghasilkan pemimpin muda sebagai pemenang kontestasi politiknya. 

Dengan cara ini, pemilu akan lebih bermakna dan memperkuat kontinuitas demokrasi Indonesia yang diinisiasi sejak 1998. Dua ekspektasi ini kelak akan menjadi kredit penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia yang harus kita lanjutkan bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar