Minggu, 29 September 2013

Lingkungan Alam dan Perilaku Warga

Lingkungan Alam dan Perilaku Warga
Eko Wijayanto ;  Dosen Filsafat UI
KOMPAS, 28 September 2013


GUBERNUR DKI Joko Widodo mengatakan tak ada gunanya menambah truk pengangkut sampah di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. Menurut dia, perilaku wargalah yang menjadi kunci bersihnya sungai dari sampah.

Cara penyelesaian seperti ini tidak tepat. Bawa dump truck ke sini itu tidak diperlukan kalau masyarakat tidak buang sampah,” ujarnya saat meninjau Pintu Air Manggarai.

Menurut Jokowi, yang lebih pas adalah kampanye besar-besaran bagi masyarakat umum, terutama yang bermukim di bantaran sungai, untuk tak membuang sampah sembarangan, apalagi ke aliran sungai.

Hak dan kewajiban

Benarkah kerusakan lingkungan sudah sedemikian parah? Sebenarnya sudah semakin banyak yang mengkhawatirkan kerusakan lingkungan, terutama dari sisi dampaknya terhadap manusia. Namun, tidak banyak yang peduli dengan organisme hidup lain yang mungkin saja musnah akibat kerusakan lingkungan.

Berbasis pengetahuan bahwa pada hakikatnya manusia mengutamakan kepentingannya sendiri, pendekatan lingkungan harus diubah dengan mengajak masyarakat untuk melakukan kewajibannya terhadap diri sendiri. Filsuf Imannuel Kant mengatakan, karena kewajiban untuk diri sendiri adalah sebuah hal utama yang penting, seharusnya kewajiban ini mendapat tempat yang membanggakan.
Oleh karena itu, perilaku warga menjadi kunci. Sayangnya, kewajiban warga untuk memelihara lingkungan dan tidak membuang sampah masih mencemaskan.

Dalam hal ini, kata ”kewajiban” sangat aneh karena memiliki logika sempit jika dikaitkan dengan legalitas, di sisi lain memiliki logika yang sangat luas karena seolah menyelimuti seluruh atmosfer moral.
Mengatakan ”mereka tidak memiliki kewajiban” atau ”Anda tidak punya kewajiban terhadap mereka” sebetulnya sama saja dengan mengatakan satu pesan sederhana, ”Mereka tidak penting”.

Ketika dominasi kebenaran dan kewajiban berhenti, lahirlah dominasi pilihan. Apa yang bukan menjadi kewajiban mungkin hanya masalah selera, gaya, atau perasaan, tetapi itu tidak bisa menjadi sesuatu yang memaksa perhatian kita, baik kita suka maupun tidak. Ketika klaim kewajiban masuk ke wilayah ini, klaim itu bisa ditanggapi secara serius.

Kant mengatakan bahwa kita tidak memiliki kewajiban langsung terhadap hewan karena mereka tidak rasional; tetapi bahwa kita harus memperlakukan mereka sepantasnya sebagai ”kewajiban tidak langsung” kemanusiaan kita. Jika kita memperlakukan hewan secara tidak baik, kita pun akan memperlakukan sesama manusia secara tidak baik.

Abai kepedulian

Kita mungkin masih berpikir bahwa kata ”keadilan” telah kehilangan makna normalnya. Dalam kehidupan sehari-hari kita berpikir bahwa kewajiban dari keadilan tersebut telah menekan kita lebih jauh ketika kita berhadapan dengan yang lemah.

Kita memiliki banyak kewajiban termasuk terhadap binatang, tumbuhan, bahkan alam semesta. Membicarakan ini, lebih baik kita meninggalkan sejenak kata kewajiban dan hak lalu menggantinya dengan kata yang lebih luas artinya, seperti ”salah”, ”benar”, dan ”mungkin”. Hal ini akan mungkin dilakukan, tetapi tidak menyenangkan.

Isu tentang kewajiban akan menjadi lebih jelas apabila kita melihat kembali pandangan Kant dan John Stuart Mill mengenai kewajiban untuk diri sendiri. Mill menunjukkan bahwa integritas, otonomi, pengetahuan diri, dan harga diri bukanlah kewajiban seseorang dalam arti biasa.

Kebutuhan setiap orang adalah berbeda. Hak tampaknya tidak hanya dapat dikaitkan dengan munculnya kewajiban. Anda tidak dapat berutang kepada orang lain seperti Anda dapat berutang kepada diri sendiri. Begitu juga ketika memaksa diri sendiri untuk berintegritas, kita tidak dapat serta merta memerintahkan orang lain berbuat sama.

Seperti dikatakan Kant, kepentingan atau urusan kita adalah untuk mempromosikan kesempurnaan kita dan kebahagiaan orang-orang. Kesempurnaan ini merupakan tujuan yang mereka miliki. Sebuah kehormatan atau penghargaan memang kita berikan kepada diri kita sendiri dan orang lain. Akan tetapi, Kant menekankan bahwa penghargaan diri merupakan hal yang berbeda dan membutuhkan persyaratan lebih dalam.

Pada faktanya, kewajiban terhadap seseorang adalah kewajiban yang memiliki bentuk berbeda. Mereka tidak jauh dari kewajiban terhadap utang, misalnya utang dalam bentuk uang. Uang adalah benda yang bisa diberikan kepada seseorang, siapa pun itu dan apabila uang tersebut diberikan kepada diri sendiri, tandanya utang tersebut hilang. Dengan kata lain, kita tidak berutang terhadap diri kita sendiri. 

Kewajiban setiap orang tidaklah sama, tetapi utilitarianisme menginginkan ”kesamaan” kewajiban.
Itulah pandangan Mill, yakni motif setiap orang adalah sama-sama wajib mencapai kebahagiaan bersama milik semua orang. Oleh karena itu, ia memandang semua kewajiban dan moralitas di dunia luar secara sosial diperlukan pembatasan terhadap keinginan dan ekspresi, yaitu keinginan orang lain untuk mencapai kebahagiaan.

Kisah Crusoe

Barangkali Jokowi mirip Robison Crusoe. Bedanya, Crusoe hanya sendirian di sebuah pulau. Jadi, kewajibannya mutlak untuk menjaga pulau. Kewajiban menjaga pulau itu merupakan hal yang sama dengan kewajiban bertanggung jawab dan peduli terhadap Tanah Air. Kepedulian lahir dan berakar semakin kuat ketika si penghuni sudah tinggal lama di tempat tersebut.

Kemungkinan pertama yang akan terjadi adalah timbul pemikiran bahwa penghormatan diberikan terhadap pohon-pohon yang sebenarnya, pegunungan, danau, sungai, dan apa pun yang ditemukan di sana.


Kemungkinan kedua akan muncul ketika Crusoe menunjukkan kebanggaan dengan kewajibannya menjaga tanah dengan baik. Keidealan Crusoe terlihat ketika bersikap menghormati alam di sekeliling dengan berkampanye agar penghuni pulau (yang sebenarnya hanya dia) tidak mengeksploitasi, merusak lingkungan, dan membuang sampah sembarangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar