Minggu, 29 September 2013

Marionette Pemberantasan Korupsi

Marionette Pemberantasan Korupsi
Rudy Cahyadi ;  Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
DETIKNEWS, 26 September 2013


Prancis sejak abad pencerahan (renaissance) telah dikenal sebagai nergara yang dipenuhi kreativitas, baik itu kreativitas untuk membahagiakan kehidupan dunia yang monoton maupun krativitas untuk menyusun tatanan sosial yang ideal.

Salah satu kreatifitas pada masa itu dan masih eksis hingga sekarang adalah pertunjukan seni marionette. Pertunjukan ini menggunakan boneka kayu yang dibentuk sangat mirip dengan manusia dan diikat dengan benang sebagai alat untuk mengendalikan gerakan boneka tersebut.

Pada saat pertunjukan boneka marionette tersebut biasanya diiringi dengan alunan musik, dan nantinya marionette tersebut akan menari-nari mengikuti irama musik bagaikan manusia sesungguhnya.

Sehingga, meskipun gerakan tari marionette tersebut begitu indah namun pada hakikatnya tetap saja terbatas dan dibawah kendali tuannya.

Kontrak Sosial dan Tanggung Jawab Negara

Sebagaimana yang penulis uraikan di atas, selain sebagai pusat kreativitas seni, Prncis juga menjadi surga bagi para filsuf yang berusaha mengkaji aspek-aspek kehidupan sosial secara fundamental.

Salah satu objek kajian filosofis tersebut adalah kehidupan bernegara. Jean Jacques Rousseau (Rousseau) mengemukakan teori kontrak sosial, yang mana teori ini merupakan anti-tesis Rousseau terhadap kekuasaan absolut yang dimiliki oleh pemerintah/negara. Menurut Rousseau di dalam bukunya yang berjudul "Du Contrat Social" manusia pada kodratnya merupakan makhluk yang bebas, akan tetapi untuk menghadapi segala rintangan yang ada maka manusia melakukan kesepakatan/kontrak sosial dengan manusia lainnya.

Hal ini berlaku juga dalam proses terbentuknya sebuah negara, dimana sekumpulan manusia berdaulat membuat kontrak sosial dengan negara dan memberikan separuh kedaulatannya kepada negara dan menundukan diri terhadap segala peraturan yang dibuat oleh negara.

Meskipun negara telah memperoleh kedaulatan dan penundukan dari masyarakatnya, bukan berarti negara memiliki kekuasaan absolut terhadap masyarakatnya.

Sebaliknya negara juga mempunyai kewajiban untuk menjamin pengakuan, perlindungan dan penegakkan hak-hak dasar masyarakatnya melalui orang-orang yang menerima mandat untuk melaksanakan kedaulatan negara atau yang kita kenal dengan sebutan pemerintah.

Adapun kontrak sosial yang penulis sebutkan sebelumnya, lebih kita kenal dengan sebutan konstitusi, yang mana konstitusi ini akan menjadi norma hukum dasar bagi negara tersebut.

Sebagai norma hukum dasar, konstitusi menjadi rujukan bagi norma-norma hukum dibawahnya. Pada nantinya norma hukum yang lahir harus mengatur ketentuan hukum yang tidak bertentangan dengan konstitusi.

Selain itu dengan keberadaan konstitusi maka kekuasaan pemerintah dalam menjalankan negara menjadi "tidak tak terbatas", sehingga bibit-bibit pemerintahan absolut maupun tirani diharapkan mampu dipangkas oleh konstitusi.
Secara diatas kertas, teori kontrak sosial yang diajukan oleh Rousseau merupakan win-win solution atas pemasalahan negara. Pada satu sisi Rousseau memberikan kedaulatan kepada negara untuk mengatur masyarakatnya, dan disatu sisi beliau juga memberikan perlindungan kepada masyarakat dari kekejaman kekuasaan negara yang absolut.

Bahkan Teori Kontrak Sosial Rousseau ini telah menginspirasi banyak negara modern dalam menyusun ketatanegraannya, salah satunya adalah Indonesia.

Konsep penguasaan terhadap objek-objek vital yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana yang tercantum pada Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) terinspirasi dari pendapat Rousseau di dalam bukunya yang berjudul Discourse of Equality.

Disitu dikatakan "penguasaan secara perseorangan hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak merupakan bentuk perampasan yang dilakukan oleh si kaya yang dilanggengkan oleh kekuasaan yang membuat si kaya tidak tersentuh oleh hukum".

Selanjutnya Roussseau juga berpendapat "manakala segelintir orang hidup bergelimang kemewahan sementara banyak orang hidup kekurangan, maka itu adalah pelanggaran hukum dasar".

Dari pendapat-pendapat Rousseau tersebut dapat kita lihat bahwa Rousseau sangat menentang praktek-praktek privatisasi sektor publik dan juga korupsi di dalam kehidupan bernegara.

Marionette Pemberantasan Korupsi

Sebagaimana yang penulis uraikan di atas, melalui kontrak sosial pemerintah selaku mandataris kedaulatan rakyat memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak rakyatnya, salah satunya adalah hak untuk memiliki pemerintahan yang bersih dari praktek-praktek korupsi. Mungkin pembaca bertanya apa kaitannya pemberantasan korupsi dengan hak-hak rakyat.

Perlu kita ingat bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindakan pencurian terhadap uang negara yang tidak lain merupakan uang rakyat. Satu tindak pidana korupsi mampu memberikan dampak pada beberapa sektor kehidupan.

Sebagai contoh korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hal ini dapat berakibat terjadinya pembebanan uang masuk atau pembebanan pembelian perlengkapan sekolah kepada para orang tua calon peserta didik/siswa, bahkan bisa saja tidak dibayarkannya honor para tenaga guru honorer.

Hal ini tentu saja pelanggaran terhadap hak untuk memperoleh akses pendidikan dan hak untuk memperoleh upah yang layak bagi tenaga honorer sekolah. Sehingga dapat kita katakana bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindakan yang dapat mengakibatkan kemiskinan sosial.

Selain itu senada dengan pendapat Rousseau di dalam bukunya yang berjudul Discourse of Equality, korupsi dapat dipandang sebagai praktek penumpukan kemewahan oleh segelintir orang yang menurut Rousseau merupakan pelanggaran terhadap hukum dasar/kontrak sosial sehingga perlu ditindak tegas secara hukum.

Indonesia sebagai negara demokrasi sudah sepantasnya untuk serius dalam melaksanakan agenda pemberantasan korupsi.

Namun pada kenyataannya kita masih menemukan kesan bahwa pemerintah dalam melaksanakan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia seperti marionette. Contohnya saja SP3 yang dikeluarkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat terhadap terhadap 22 kasus korupsi di Sumatera Barat.

Lambannya respon terhadap hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan terjadinya penyimpangan penggunaan anggaran sebesar 14 miliar rupiah yang diperuntukan bagi pelaksanaan ujian nasional tahun 2013 atau bahkan panjangnya episode pengungkapan dan penindakan kasus Bank Century yang hingga kini belum tuntas.

Dari contoh tersebut terkesan bahwa upaya-upaya pemberantasan korupsi telah diarahkan bahkan dikendalikan untuk hanya menyentuh beberapa golongan dan tidak menyentuh golongan lainnya.

Jika hal ini benar terjadi, maka sangat disayangkan keadaan tersebut sampai terjadi, sebab jika bukan pemerintah maka siapa lagi yang akan melindungi dan menjamin hak-hak rakyat.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin membuka dan menunjukan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia terancam oleh intervensi kepentingan-kepentingan penguasa, bagikan boneka marionette yang bergerak berdasarkan kendali masternya.

Maka kita semua sebagai rakyat yang memberikan mandate pada negara, sudah sepantasnya mensupport dan melindungi pendekar pemberantas korupsi dari ancaman gerombolan tikus-tikus berdasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar