Sabtu, 28 September 2013

“Media Darling” dan Sihir Massa

“Media Darling” dan Sihir Massa
Djoko Pitono ;  Jurnalis dan Editor Buku
SUARA MERDEKA, 27 September 2013


"Partai modern setidak-tidaknya paham fungsi bahasa sebagai bagian dari strategi political public relations"

Kalau kita mengerti mekanisme dan motif-motif pikiran kelompok tertentu maka kita akan dapat  mengontrol dan mengarahkan massa menurut keinginan kita tanpa mereka mengetahuinya —  Edward L Bernays

IKLIM politik kembali menghangat, apalagi menjelang Pemilu dan Pilpres 2014. Baliho,  spanduk, dan poster, disebarkan di mana-mana oleh para aspiran politik. Iklan dalam beragam bentuk dipasang di mana-mana, pada media cetak, elektronik hingga media online. Orang boleh mencak-mencak, tidak puas, atau terheran-heran atas adanya tokoh-tokoh yang mendadak populer dan menjadi media darling serta berpeluang  menjadi bupati, gubernur, atau presiden. 

Kualitas pribadi memang tak bisa dikesampingkan. Tetapi  “ilmu sihir” yang dimiliki oleh pihak tertentu juga ikut bicara. Orang-orang yang bergerak dalam bisnis permainan kata-kata jelas panen besar, termasuk para konsultan media dan lembaga survei. Uang yang berputar dalam bisnis itu sangat besar, ratusan miliar rupiah, bahkan bisa triliunan.

Meskipun tingkat kualitas iklan seorang aspiran politik atau partai politik tidak sama, secara umum terlihat partai-partai percaya pada pentingnya iklan. Suatu partai yang maju dan modern setidak-tidaknya paham benar fungsi bahasa sebagai bagian dari strategi  political public relations.      
     
Strategi humas bidang politik, termasuk di dalamnya adalah survei-survei politik, merupakan pengembangan dari survei barang konsumsi masyarakat yang dikembangkan oleh Edward L Bernays.  Inilah tokoh yang disebut sebagai The Father of Public Relations. Di luar dunia PR, ia mungkin kurang dikenal. Padahal Bernays salah satu tokoh yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Tentang hal ini, kita dapat membaca buku karya Larry Tie, The Father of Spin: Edward L Bernays & The Birth of Public Relations.  
          
Pengamat PR sepakat bahwa tidak mungkin memahami secara mendasar perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam 100 tahun terakhir ini tanpa punya pemahaman sama sekali tentang Bernays dan kiprah profesionalnya dalam industri tersebut. Public relations dalah fenomena abad ke-20 dan Bernays —meninggal tahun1995— memainkan peran besar dalam mendefinisikan filosofi dan metode industri.

Di tangan Bernays, iklan-iklan berbagai perusahaan di AS seolah-olah jadi penyihir massa. Dia misalnya, telah membuat perubahan sosial besar dalam industri rokok. Dengan teknik pemintalan kata-kata dan gambar film tentang ratusan wanita yang sedang merokok, penjualan rokok di AS melambung tinggi. Para wanita pun seakan-akan tersihir untuk merokok.

Dalam industri yang terkenal atas kelihaiannya menghindar dan eufemisme,  Bernays dikenal karena keterusterangannya. Ia memang tukang propaganda, dan sangat bangga. Buku karya awalnya, Propaganda, bahkan digunakan tokoh Nazi Joseph Goebbels untuk membantunya “merekayasa” kebangkitan Kekaisaran Ketiga di Jerman. Hal itu ikut berperan dalam memberikan konotasi kotor pada upaya propaganda.

Para konsultan media yang membantu pencitraan calon senator, calon anggota DPR dan calon presiden AS,  sudah pasti belajar teori-teori Bernays. Demikian juga tokoh seperti Saiful Mujani, Denny JA, M Qudori  yang dikenal sebagai konsultan media.

Kita mesti belajar humas bila kita ingin tahu bagaimana citra Richard Nixon dapat pulih usai Skandal Watergate dan bahkan dimakamkan dengan upacara kenegaraan megah. Bagaimana pula Richard Morris mencitrakan Presiden Bill Clinton sebagai ideolog tengah menjadi media darling dan kembali terpilih untuk masa jabatan kedua.

Elemen Penting              

Bernays mengajarkan bahwa manipulasi secara sadar dan cerdas dari kebiasan-kebiasaan terorganisasi dan opini massa adalah elemen penting dalam masyarakat demokratis. Ia pun menegaskan, mereka yang memanipulasi mekanisme tak terlihat dari masyarakat ini sama dengan pemerintahan yang tak terlihat kendati sebenarnya berkuasa.  
           
Orang-orang yang tidak disiplin, tidak intelek, dan tidak bermoral, menurut dia, mudah terpengaruh. Mereka bahkan tidak sadar diarahkan untuk menginginkan hal-hal (atau barang) yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Artinya, produsen barang atau ide dapat meningkatkan jumlah ”kebutuhan”  barang mereka dengan menjebaknya ke dalam keinginan tanpa kesadaran. Ernest Dichter yang disebut sebagai Bapak Riset Motivasional melukiskan ketidaksadaran itu sebagai ”rahasia diri para konsumen Amerika.”

Sutradara film Adam Curtis tahun 2002 meluncurkan film dokumenter empat bagian berjudul ’’The Century of the Self’’. Film ini mengeksplorasi bagaimana teori Freud  digunakan dalam iklan dan humas dalam 100 tahun terakhir. Film itu menyoroti konsumerisme modern, cara orang melihat diri sendiri secara superficial dan cara bagaimana politikus dan pebisnis memainkan impuls konsumennya yang primitif dan tidak rasional, untuk memengaruhi tindak tanduk mereka.

Adam Curtis pun mengutip kata-kata Paul Mazer, bankir yang bekerja di perusahaan Lehman Brothers pada 1930-an, ’’Kita harus mengubah Amerika dari budaya membutuhkan menjadi menginginkan. Orang-orang harus dilatih untuk punya keinginan, ingin hal-hal baru; meskipun yang lama belum seluruhnya dikonsumsi; keinginan seseorang harus selalu dibuat membayangi kebutuhan-kebutuhannya.’’ Nah, apakah kita benar-benar sadar?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar