Sabtu, 28 September 2013

Memelihara Hak Hidup

Memelihara Hak Hidup
Anang Sulistyono ;  Peserta Program Doktor
Universitas Tujuhbelas Agustus Surabaya
SUARA KARYA, 27 September 2013


Salah satu peran negara yang digariskan konstitusi adalah menjaga, melindungi, atau menyelamatkan hak hidup warga. Kalau hak hidup warga sering sering terancam dan dijadikan obyek permainan, ini mengindikasikan kegagalan negara dalam memerankan peran humanitas strukturalnya.

Firman Allah SWT menyebutkan, "Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya" (QS, Al-Maidah: 32). Ayat ini ditafsirkan oleh Nurcholis Madjid, "siapa yang menghidupi satu orang, identik dengan menghidupi manusia sejagad, dan siapa yang membunuh satu orang, identik dengan membunuh manusia sejagad".
Interpretasi Cak Nur tersebut dapat dipahami, bahwa hidup seseorang di muka bumi ini wajib dilindungi. 

Perlundungan kepadanya, sama dengan melindungi puluhan dan jutaan manusia lainnya. Yang tergantung pada nyawa satu orang bukan hanya anak, isteri, atau anggota keluarga dekatnya, tetapi juga elemen masyarakat lainnya. Ketika nyawa seorang anak manusia tercabut, bisa terjadi, kepentingan banyak orang akan tereksaminasi.

Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ayat (1) dipertegas, bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Ketentuan yuridis itu menunjukkan bahwa hak untuk hidup merupakan hak mendasar yang melekat atau dimiliki seseorang sebagai karunia Tuhan. Tuhan telah mempercayakan kepada manusia untuk menjalani atau membangun kehidupannya dengan baik, benar, dan bertanggungjawab, terutama saat manusia ini mendapatkan amanat publik.

Salah satu model menjalani kehidupan dengan baik adalah dengan cara berusaha melindungi dan menjaga diri dari berbagai bentuk ancaman atau penyakit sosial yang membahayakan diri dan keselamatannya. Salah satu jenis penyakit sosial yang membahayakan ini adalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan jenis penyakit yang bisa mengakibatkan terjadinya disharmonisasi internal keluarga maupun disharmonisasi punlik.

Kemiskinan, sebagaimana laporan Bank Dunia terbaru menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara tinggal di Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS atau kurang dari Rp 19 ribu per hari. Jumlah orang sebanyak itu sama dengan total penduduk Malaysia ditambah seluruh penduduk Vietnam dan Kamboja (Ilham Gunawan, 2011).

Meski kemiskinan termasuk penyakit sosial, namun seseorang miskin tetap tidak boleh dibiarkan hidup hingga meninggal dunia akibat kemelaratannya itu. Mereka yang hidup miskin ini tetaplah pelaku sejarah yang menentukan kualitas keberlanjutan hidup diri dan elemen keluarganya. Mereka itu, mempunyai hak hidup yang mendapatkan privilitas untuk melakukan pembebasan dan pembaruan bagi keluarganya, seperti kewajiban mengingatkan negara saat elemennya "membisukan" nurapninya atau merebut haknya saat didengar ada pemimpin negara atau elit kekuasaan bermaksud membagi-bagikan dana publik seperti bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).

Terbukti, begitu mereka mendengar adanya BLSM maka terjadi booming orang miskin dan mereka berbondong-bondong mendatangi tempat penyaluran. Sikap seperti ini menandakan, bahwa mereka merindukan kesejahteraan.

Sahabat Ali RA, sosok cendekiawan dan pejuang muda di zaman Nabi Muhammad SAW pernah berkomentar, "andaikan aku bertemu kemiskinan, tentu aku akan membunuhnya". Komentar ini dapat ditafsirkan, bahwa dalam diri pejuang atau pemegang kekuasaan, orang-orang miskin merupakan "proyek fundamentalnya", yang wajib diprioritaskan untuk digarap.

Orang miskin bukan hanya menjadi "proyek" kesalehan invidual, tetapi seharusnya juga kesalehan kekuasaan. Siapa saja yang sedang menyandang prediket aparat negara, punya kewajiban untuk membuat peran dan kewenangannya mampu memberikan dampak perubahan di lini perbaikan ekonomi atau kesejahteraan hidupnya.

"Orang-orang miskin, orang-orang di jalanan, yang tinggal dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan", demikian sajak WS Rendra, yang sebenarnya sebagai bentuk kritik terhadap praktik pelecehan, pendiskriminasian, penindasan atau ketidakadilan terhadap orang-orang miskin, orang-orang yang tertindas, atau kumpulan manusia yang sedang dikalahkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang membangun kekuatan yang memproduk kezaliman kekuasaan berlapis-lapisnya.

Dalam kesalehan kekuasaan, setiap pejabat atau pengelola dananya orang miskin dituntut "sahih" dalam ucapana mupun tindakan. Antara kata dengan realitas harus menyatu menjadi bahasa yang berpihak pada rakyat. Kesahihan kekuasaan merupakan investasi terbesar bagi kemaslahatan publik. Rakyat miskin tidak akan pernah bisa keluar dari ketertindasannya, selama pelaku kekuasaannya masih lebih senang dan bangga memelihara dan membenarkan pola penindasan dan pendiskriminasian.

Apa yang sudah menjadi hak orang miskin tidak boleh ditunda-tunda, diabaikan, ditelantarkan, dan apalagi sengaja dipermainkan, karena sejatinya, orang miskin ini sudah tidak sabar menunggu haknya berpihak kepadanya. Selama ini, orang miskin lebih sering dieliminasi dan alinasikan dari bingkai amanat struktural kerakyatan.

Ketika suatu saat muncul kemarahan atau sikap radikalis dari orang miskin, mereka cepat-cepat distigma sebagai rakyat yang tidak penyabar, tidak membudayakan antri, atau tidak pekerja keras. Padahal mereka ini sejatinya sudah banyak berusaha membebaskan diri dari kemiskinannya, namun tetap kesulitan atau terkadang dibuat sulit oleh negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar