Minggu, 29 September 2013

Memiliki atau Menjadi?

Memiliki atau Menjadi?
R Valentina Sagala ;  Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN, 28 September 2013


Belum lama ini, ayah saya yang sudah terserang stroke beberapa tahun lalu, mengalami stroke lagi. Sebagaimana tradisi keluarga, saya dan adik-adik beserta anggota keluarga lainnya berperan bahu-membahu.

Tentu ada berbagai hal yang bisa dikontribusikan ketika seorang sanak keluarga sakit, mulai dari mengantar, menunggui, berkomunikasi dengan dokter, membiayai tagihan rumah sakit, dan sebagainya.
Usia ayah saya yang sudah 64 tahun, dengan “bekas” operasi tiroid yang pernah dialaminya, bisa dikata berada dalam situasi yang butuh perhatian lebih, apalagi selalu saja ada kemungkinan setengah badan ayah tidak akan lagi berfungsi seperti sediakala. Jelaslah perhatian tulus menjadi salah satu obat mujarab untuk menyemangatinya.

Diam-diam saya memperhatikan bagaimana tiap individu berperan menghadapi peristiwa sakit ayah kali ini. Ada namboru (istilah dalam suku Batak untuk menyebut adik perempuan ayah) yang tiap hari bangun subuh memasak nasi, sayur, dan lauk-pauk untuk dibawa ke rumah sakit, demi memastikan mereka yang menunggui ayah, tetap terjaga kesehatannya karena makan dengan baik.

Ada pula namboru yang mengurus pakaian-pakaian kotor ayah. Ada adik yang menjadi semacam koordinator, untuk terus memperbarui informasi kondisi ayah kepada anggota keluarga. Ada yang mengurus askes ayah, administrasi, sampai jadwal dokter yang padat luar biasa.

Tak lama seorang sahabat mengirim pesan lewat ponsel saya. Setelah menyatakan empati dan doa untuk ayah, kami sempat berbincang. Sahabat saya bilang, ayahnya sudah tiga kali stroke dan sekarang cuma bisa berbaring di tempat tidur. Dia juga bilang, “Limpahan kasih biasanya menjadi semangat paling kuat.”

Saya lalu ingat salah satu percakapan saya dengan suami. Waktu itu saya tertegun membaca artikel di sebuah majalah yang mengangkat profil orang-orang “inspiratif”—menurut majalah tersebut—yang telah “memiliki” penghasilan jutaan dolar di usia kepala tiga.

Saya tak habis pikir mengapa “memiliki” penghasilan besar menjadi indikator inspiratif. Suami saya lalu bercerita tentang kenalannya yang melupakan orang tuanya karena telah “memiliki” harta berlimpah.
Saya jadi prihatin. Jangan-jangan benar, segala yang “besar”, “wah”, “bernilai uang” tengah jadi hal yang mesti dikejar dan dimiliki orang-orang sekarang. “Memiliki” (to have) jauh lebih penting dibanding “menjadi” (to be). Ada ibu yang mendukung anaknya bercita-cita jadi orang kaya. Ada juga ayah yang mendorong anaknya menjadi pejabat atau dokter atau pengacara atau insinyur supaya bisa kaya.

Betapa melelahkannya hidup jika semata berorientasi “memiliki”. Begitu banyak hal yang dianggap “kecil” dan “remeh”, sesungguhnya adalah esensi mengapa kita hidup.

Apalah gunanya rumah besar tanpa keluarga yang saling mengasihi? Apa artinya pesta megah tanpa kesetiaan dua sejoli pada janji perkawinan sebagai modal utama mereka mengarungi seluk beluk dunia perkawinan?

Apa makna ranjang mewah tanpa tidur nyenyak karena cemas satu hari akan diseret aparat kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi? Apa nilai status beristri/bersuami pejabat, jika kehidupan rumah tangga tak lebih dari sinetron menutupi fakta pasangan berselingkuh?

Apalah artinya jika orientasi “memiliki” mematikan makna “menjadi”. Kita lupa bagaimana “menjadi” pejabat yang mengabdi pada rakyat, anak yang mengasihi orang tua, menantu yang mencintai mertua, orang tua/mertua yang mengayomi anak/menantu, pemimpin agama yang mendengar dan menyebar damai substantif pada umat, pemberi kerja yang memenuhi hak pekerja, dan sebagainya.

Dengan orientasi “menjadi”, kita berfokus pada kemanusiaan dan mempertanyakan apa yang bisa kita kontribusikan bagi kemanusiaan. Kita tahu misalnya, sebagian besar rakyat menuntut jaminan sosial yang memastikan haknya dijamin oleh negara.

Kita pedih menyaksikan ibu tak bisa membawa pulang bayinya karena tak mampu melunasi biaya rumah sakit, buruh migran perempuan bertaruh hidup tanpa jaminan perlindungan optimal, sementara segelintir orang terus menghisap kekayaan negeri untuk kantung pribadi. Di mana kemanusiaan kita?


Selain ketekunannya mendidik saya dan adik-adik saya untuk terus berkontribusi pada kemanusiaan, ayah saya paling suka jika kepalanya dielus dan digaruk-garuk halus. Saya bersyukur berkesempatan mengelus dan menggaruk-garuk halus kepalanya ketika ia terbaring sakit. Cepat sembuh, Bapak... . ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar