Minggu, 29 September 2013

Menghangatkan Iklim Relasi Perkawinan

 Menghangatkan Iklim Relasi Perkawinan
Sawitri Supardi Sadarjoen ;  Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
KOMPAS, 29 September 2013


Tidak dapat dimungkiri bahwa bila kita mengungkap suara hati yang benar-benar asli akan menyebabkan kita menempatkan diri kita dalam posisi yang paling nyaman. Terasa sulit bagi kita untuk bisa mengungkap kata hati yang asli, tetapi berbicara tentang hal positif. Apabila kita tidak mampu menemukan cara positif untuk berbicara dengan pasangan kita, berarti kita berada dalam kondisi kehilangan perspektif.

Perlu kita ketahui bahwa setiap individu memiliki kekuatan dan kebaikannya sendiri, dan setiap relasi yang terbina pun pasti memiliki sisi positif. Namun, setelah masa perkawinan berlangsung lama, masing-masing pasangan sering mendapatkan dirinya semakin kurang mampu menyimak dan memberi komentar tentang cara mereka menjalin relasinya. Mengapa? Karena semakin lama kita hidup bersama dengan pasangan perkawinan kita, semakin besarlah kemungkinan terbinanya relasi yang menunjukkan ciri-ciri ”ketidakpedulian” terhadap perasaan pasangan kita dan diri kita, apalagi terhadap kebutuhan personal pasangan kita.
Otomatis, kita lebih menyuarakan hal-hal yang mengganggu diri kita. Otomatis pula kita sering gagal menghargai kebaikan-kebaikan yang telah pasangan kita lakukan bagi diri kita, seolah upaya pasangan melakukan hal-hal tersebut adalah sesuatu yang harus dan biasa.
Kecuali itu, pada awal terbinanya relasi di antara pasangan, kritik-kritik yang membangun akan biasa kita terima dengan jiwa besar. Namun, semakin lama kita hidup bersama dalam satu atap, tanpa disadari kita mengalami penurunan kadar toleransi terhadap kritik-kritik apa pun yang diberikan pasangan kita. Yang terpenting adalah bahwa tidak seorang pun akan menghargai kritik pasangan terhadap diri kita apabila kita sudah tidak diliputi iklim saling mencintai dan saling menghormati.
Namun, apabila kita mampu menghangatkan kembali iklim emosional kita dengan pasangan kita, atau memecah kebekuan dalam berelasi, kita akan lebih mampu untuk mengungkap ketulusan perasaan kita, termasuk keluhan-keluhan yang kita rasakan dengan memaksimalkan peluang untuk didengar oleh pasangan kita. Kemudian, kita dapat memulai hal-hal yang mungkin meningkatkan kualitas relasi demi terungkapnya suara hati yang tulus dengan cara yang positif.
Iklim emosional
Apabila iklim interaksi antarpasangan dalam kondisi rileks dan spontan, banyak hal dapat berlangsung baik dan lancar. Pasangan akan mampu menangkap usul positif dari saran istri dan menerimanya dengan baik. Misalnya, saya akan dapat dengan rileks mengatakan kepada suami saya, ”Pah, piyamanya sudah bau, ganti yang baru dicuci dong.”
Namun, apabila suami saya sedang ”bete” dan rungsing dan uring-uringan oleh bertumpuknya kerja kantor yang belum terselesaikan, kalimat-kalimat di atas hanya akan terdengar sebagai usul-usul yang mengesalkan karena dalam kondisi ”bete”, yang ditangkap oleh suami adalah intonasi yang bernadakan perintah. Reaksinya bisa saja sebagai berikut, ”Apa sih, Mamah tuh kritik-kritik dan perintah-perintah melulu. Berhentilah bersikap seperti itu pada suami.”
Respons seperti ini akan terjadi apabila iklim relasi antarpasangan sedang tidak hangat dan masing-masing pasangan sedang berada dalam penghayatan emosi yang kurang nyaman oleh berbagai sebab. Contoh lain dari ungkapan reaktif salah satu pasangan, ”Kamu selalu mengalihkan pembicaraan apabila saya mencoba mengingatkan kamu untuk meminta maaf akan perilakumu yang membuat aku kesal.”
Bisa saja pasangan yang lain akan mengungkapkan argumentasi sebagai berikut: ”Ah, kamu saja yang cenderung memberikan reaksi berlebihan.” Dalam kondisi tersebut, masing-masing pasangan akan terdiam, menutup relasi dengan mencoba menjaga jarak dengan, mungkin salah satu pasangan masuk kamar, menutup kamar, atau bahkan mengunci diri.
Menyiasati iklim interaksi dingin
Banyak alternatif cara menyiasati kebekuan iklim relasi antarpasangan, salah satu saran saya adalah kedua pasangan meredam dulu emosi negatif yang menyertai rasa marah, kecewa, dan kesal oleh peristiwa di atas, sekitar 30 menit hingga paling lama 1 jam. Kemudian, salah satu pasangan mengetuk kamar yang terkunci sambil mengajak berdamai. Mungkin dengan menyertakan ungkapan-ungkapan verbal bernadakan humor.
Saya yakin, apabila memang di antara mereka masih saling mencintai dan saling menghormati, pasangannya akan luluh dan mau membuka pintu, bahkan langsung memeluk pasangannya. Sambil berpelukan salah satu jari dikaitkan dengan jari pasangannya, sambil berkata ”cantel”, seperti halnya pernah kita lakukan saat berbaikan dengan saudara setelah bertengkar di masa kecil.
Jangan membiarkan kebekuan iklim relasi berlanjut beberapa hari, apalagi lebih dari tiga hari. Maka, upaya menghangatkan kembali iklim relasi akan berhasil dengan optimal. Hasrat untuk saling memaafkan pun akan berkembang membaik. Untuk kemudian dalam suasana iklim relasi yang hangat, kalaupun terjadi selisih paham, bukan menyangkut hal yang prinsipiil.

Apabila ternyata terungkap bahwa pertengkaran yang terjadi mengandung unsur-unsur yang prinsipiil, kedua pasangan seyogianya meluangkan waktu khusus membahas persoalan tersebut dengan sungguh-sungguh agar tercapai solusi bersama. Pertengkaran di kemudian hari kalaupun terjadi akan lebih bermakna bagi proses peningkatan kehangatan iklim relasi di antara kedua pasangan dalam relasi selanjutnya. Semoga.... ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar