Minggu, 29 September 2013

Menuju Kematian Ekspektasi Publik

Menuju Kematian Ekspektasi Publik
Bambang Satriya ;  Guru besar Stiekma dan Dosen Luar Biasa
Universitas Ma-Chung, Malang
MEDIA INDONESIA, 28 September 2013


“KITA telah melafalkan hukum utama. Mari kita sekarang menerapkannya dalam hidup ini.“ Demikian ajakan Edwin Markham, yang ditujukan kepada setiap pengemban amanat negara di jagat yuridis atau pilar-pilar yudisial (peradilan) untuk menegakkan dan menyejarahkan produk hukum dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Pengemban amanat yuridis (yudisial) seperti pilar-pilar KPK merupakan kumpulan sosok manusia yang sudah pintar dan fasih melafalkan hukum, tetapi belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Mereka ini bisa hafal di luar kepala sejumlah pasal atau buku-buku tebal berisi ragam regulasi, tetapi dalam ranah das sein belum tentu bernyali militan dan independen dalam memperjuangkan penegakannya.

Para petinggi KPK itu sah-sah saja berjanji secepatnya akan menggulung dan menahan siapa saja penjahat kerah putih yang merugikan negara sebesar Rp6,7 triliun ini. Akan tetapi, saat betul-betul dihadapkan kepada sekumpulan sosok elitis yang memproteksinya, boleh jadi mereka tiba-tiba tidak fasih lagi sebagai penghafal norma yuridis atau mengidap virus kegagapan instan.

Sebelum KPK berjanji akan melakukan ini, ekspektasi publik terhadap terbongkarnya kasus Century sangat besar. Publik berkali-kali mempertanyakan, seperti masih adakah komunitas elitis kita yang mengingat Century sebagai salah satu kasus besar yang menyita perhatian dalam negeri dan internasional? Akankah nasib Century menyusul BLBI yang juga tidak jelas ‘riwayatnya’? Tidak malukah kita yang secara konstitusional menyebut diri berlabelisasi negara hukum, tetapi kasus sejenis ‘gajah di pelupuk mata’ (seperti Century) makin tidak kunjung jelas penanganannya?

Di awal munculnya kasus Century, ekspektasi publik terhadap KPK sangat tinggi. Pasalnya, KPK merupakan ‘pilar istimewa yudisial’ yang bertanggung jawab secara fundamental terhadap perjalanan kasus Century. Rakyat Indonesia pun berkewajiban memotivasi militansi moral aparat penegak hukum (KPK/ Komisi Pemberantasan Korupsi) supaya Century tidak sampai terkerangkeng dalam ranah mati suri.

Dengan banyaknya kasus korupsi yang terus bersemai dan memadati kantong pekerjaan rumah KPK, seperti kasus Gayus, Hambalang, korupsi di kepolisian, di samping kasuskasus korupsi lainnya yang kelasnya di atas satu miliar rupiah yang lebih menjadi kompetensi istimewa KPK, jelas bahwa KPK seperti berada dalam lingkaran setan kasus korupsi.

Atmosfer publik sekarang yang kian diam dan cenderung ‘mati’ terhadap kasus Century seharusnya ditempatkan sebagai eksaminasi moral pada KPK agar tidak diabaikan. KPK wajib mengingatkan dan mencerdaskan dirinya supaya tidak membiarkan dan sekadar menempati ranah sebagai ‘kasus mengambang’ (floating case).

KPK wajib mengkritik dirinya secara radikal supaya tidak kecil nyali dan tetap menjaga sikap militansi dan independensi kinerjanya dalam menangani Century. Janji yang pernah berkali-kali diucapkan pimpinan KPK sekarang, yang dengan tegas dan lantang mampu menyelesaikan kasus Century (pernah berjanji bisa selesai pada 2012), benarbenar sedang ditunggu oleh publik negeri ini.

Janji haruslah ditepati. Janji menuntaskan kasus besar, sebesar apa pun kasus itu, merupakan ikrar yang wajib dipenuhi. Untuk memenuhi janji ini, kinerja maksimal, tanpa kenal takut, dan berani melawan segala bentuk intervensi yang bermaksud mematikan semangat juangnya adalah bagian dari modal dan model kinerja yang bisa dituntaskannya. Masalahnya, benarkah KPK memang masih bermilitansi tinggi guna menyelesaikan Century atau menyeret siapa pun yang telah membuat `tidak jelasnya' penggunaan uang triliunan rupiah?

Pertanyaan itu hanya KPK sendiri yang bisa menjawabnya. Niat, tekad, dan semangat menyelesaikannya ada di internal KPK. KPK sudah menerima pekerjaan berat dari rakyat, bahwa kasus korupsi, siapa pun pelakunya atau tersangkanya, harus ditangani. Siapa pun yang bermaksud menghalangi, menginter vensi, atau mematahkan kinerjanya, wajib ditolak dan dikalahkannya.

Selama ini, dalam realitas di jagat hukum pertiwi ini, manusia pintar yang hafal hukum, meski jumlahnya dari hari ke hari semakin banyak, masih sulit diajak menerapkan dalam tugas dan kewenangannya. Terutama saat hukum dihadapkan pada elemen penjahat berkategori pelaku extraordinary crime seperti koruptor-yang koruptor ini mempunyai hubungan istimewa dengan elemen kekuasaan mapan.

Tidak sedikit dari mereka itu yang berpendidikan tinggi dan mengikuti berbagai pelatihan melawan koruptor dan pelatihan mengenai pemahaman kode etik profesi, tetapi ternyata gagal mengedukasikan dirinya jadi pemberantas. Namun sebaliknya, malah jadi objek yang diragukan komitmennya dalam melakukan ‘bela negara’ dari serangan koruptor.

Mereka itu bahkan sudah dibaiat untuk mendedikasikan dirinya sebagai subjek terdepan dalam penanganan korupsi serta sudah dibayar mahal oleh negara. Namun, akibat rumitnya ‘lingkaran setan’ megaskandal korupsi yang harus ditanganinya, mereka terbaca oleh publik cenderung menerapkan politik gradualitas dalam pemilihan dan pengalihan kasus korupsi.

Sejak semakin surutnya elemen KPK dalam menginformasikan atau memberitakan perjalanan kasus Century, publik lantas membuat pemetaaan yang antara lain menempatkan KPK sedang mengabaikan atau bahkan mematikan sendiri ‘khitah’ moral historis yang mengikatnya. KPK dinilai oleh publik sedang tergoda dalam memilih kasus yang dianggapnya lebih mudah dan cepat ditangani dengan resiko kecil jika dibanding yang dianggapnya lebih mudah dan cepat ditangani dengan resiko kecil jika di banding kan dengan harus menangani perkara besar, seperti Century dengan risiko berlipat-lipat.

Secara yuridis KPK memang tidak sampai bersalah jika menggunakan opsi manajemen pemilahan atau prioritas kasus. Pasalnya, KPK memang mempunyai otoritas istimewa dalam menentukan kasus mana yang membutuhkan penanganan secepatnya. Namun, ini tidak lantas membiarkan kasus Century tanpa ada kabar beritanya ke publik. KPK mempunyai tanggung jawab pada publik. Pasalnya, publik adalah pemegang hak kedaulatan memperoleh informasi atas kinerjanya dalam penanganan kasus yang telah merugikan negara.

Begitu besarnya tanggung jawab yang diemban KPK membuat KPK wajib diposisikan sebagai lembaga yang layak dikontrol secara terus menerus, tidak boleh dibiarkan punya hak imunitas, atau dipraduga absolut sebagai institusi paling bersih yang tidak mungkin ternoda atau tergoda oleh limbah korupsi. Dalam kasus Century pun demikian, ketika KPK terbaca oleh publik sedang ‘adem ayem’ dalam penanganan kasus ini, wajib ada elemen rakyat, ormas, LSM, atau siapa pun orangnya yang menyuarakan kritik keras kepadanya.

Sejarah telah memberi pelajaran besar kepada rakyat, minimal sejak zaman Orde Baru, yakni bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah atau mendapatkan amanat untuk mengawasi kinerja birokrasi dan aparat penegak hukum agar tak terjerumus dalam malversasi manajemen kasus, ternyata tidak cukup tangguh dalam melakukan pengawasan akibat yang diawasinya pun telah memberikan ‘investasi’ politik dan kekuasaan yang menguntungkan kepadanya. Ada simbiosis mutualisme berskala eksklusif yang membuatnya tidak perlu sampai ‘berani mati’ dalam mempertaruhkan profesinya untuk dijadikan garansi penuntasan kasus korupsi.

KPK pun merupakan lembaga yang ‘diberi hidup’ oleh negara (pemerintah) sehingga publik berhak mencurigainya kalau elemen KPK bukanlah malaikat yang tidak melakukan salah dan khilaf. Elemen KPK juga manusia yang bisa saja kecil nyali ketika menghadapi kasus yang melibatkan banyak kekuatan dahsyat dan bersindikasi fundamental.

Karena posisi KPK demikian itu, pengawasan atau kritik radikal internal KPK ataupun publik dapat menjadi eksaminasi istimewa pada KPK untuk kembali menghidupkan kinerjanya yang berintegritas moral tinggi. Century hanya merupakan ‘sampel’ ujian bagi KPK, bahwa rakyat atau pencari keadilan di negeri ini telah memberikan amanat mulia yang menempatkan KPK sebagai kumpulan pejuang korupsi dan bukan komisi pengambangan (kasus) koruptor.


Apa yang dilakukan koruptor selama ini jelas bukan disebabkan kesulitan ekonomi, tetapi dominan oleh keserakahan dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyakbanyaknya tanpa mempertimbangkan dampaknya kepada rakyat dan negara. Di samping, di dalam dirinya, mengental keyakinan bahwa elemen penegak hukum di negara ini lebih mudah dikalahkan dan ditaklukkan serta diajaknya menjadi ‘mitra istimewa’. Sikap koruptor demikian ini seharusnya dijadikan tantangan terbuka atau ‘hinaan’ kepada KPK, yang hinaan atau tantangan ini bisa dijawabnya dengan cara memaksimalkan kinerjanya dalam memberantas (membongkar) korupsi atau meruntuhkan panji-panji kebesaran korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar