Minggu, 29 September 2013

Minyak dan Presiden 2014

Minyak dan Presiden 2014
Garin Nugroho ;  Sutradara Film
KOMPAS, 29 September 2013


”Kemenangan di Vietnam sangat penting untuk mengontrol Indonesia, bila Indocina hilang, maka beberapa hal akan terjadi. Tanjung Malaka akan sulit dipertahankan. Timah dan tungstern akan berhenti. Burma dalam posisi yang sulit dipertahankan. Semua posisi sangatlah tidak menyenangkan. Jika kita kehilangan semua itu, bagaimana bisa mempertahankan Indonesia yang kaya.”

Ucapan di atas muncul dari Eisenhower―—Presiden Amerika tahun 1953, yang melihat Indonesia sebagai permata dunia, di tengah gejolak perang dingin Rusia dengan Amerika, serta berubahnya situasi politik di Vietnam hingga Indonesia di masa Soekarno.

Sejarah mencatat, bahwa nilai penting kekayaan alam Indonesia untuk Amerika sudah terbaca sebagai catatan panjang. Tahun 1939, lewat East Indies, Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total sumber daya alam yang dibutuhkan Amerika.

Bisa diduga, jika kemudian Amerika mendukung masuknya kembali Belanda ke Indonesia pasca-kemerdekaan lewat dana Marshall Plan, temasuk penguasaan kembali kilang-kilang minyak di Sumatera. Namun, dukungan ditarik ketika perlawanan terjadi secara tak terduga, termasuk bumi hangus kilang minyak serta fasilitasnya. Sebuah perlawanan bumi hangus, yang memberi kecemasan terhadap masa depan perusahaan-perusahaan minyak Amerika hingga Inggris di Indonesia.

Uraian di atas menunjukkan, bahwa sejarah daya hidup Indonesia serta kepemimpinannya senantiasa berkait dengan kekuatan minyak serta sumber daya alamnya.

”Zaman sudah merdeka, saatnya melayani rakyat dengan masuk politik, tapi kalau jadi politikus harus punya mental politik, kalau tidak punya mental politik, hanya akan jadi benalu rakyat.”

Ucapan Uskup Soegija dalam film Soegija di akhir agresi kedua Belanda ini, ketika Amerika menekan Belanda untuk mengakhiri Perang, mengisyaratkan bahwa mental politik menjadi nilai utama bagi kepemimpinan Indonesia pasca-kemerdekaan di tengah kekayaan sumber daya alamnya.

Celakanya, justru pasca-68 tahun kemerdekaan ini, berbagai persoalan menyangkut sumber daya alam khususnya minyak dan pertambangan dipenuhi persoalan, dari kasus korupsi, produktivitas, perizinan dan pengolahan serta pertambangan ilegal, konflik lahan hingga hilangnya daya dukung lingkungan dalam eksploitasi sumber daya alam.

”Mutilasi Ibu Pertiwi” inilah cetusan Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri ESDM, mengomentari wilayah-wilayah yang rusak oleh eksploitasi sumber daya alam, dalam sebuah obrolan di warung kopi dengan pengamat politik Sukardi Rinakit. Lebih lanjut wakil menteri ini dengan serius mengatakan perlunya kerja sama dengan KPK hingga aparat keamanan membasmi para jagal mutilasi alam Indonesia ini.

Kegelisahan ini juga muncul dari pernyataan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto: ”Sekarang di hilir (pembangunan), banyak penyakit dan bencana, yang akhirnya berbiaya besar, uang hasil pembangunan tak cukup untuk membiayainya.”

Agaknya, kegelisahan terhadap mental politik dalam berhadapan dengan sumber daya alam menjadi sebuah orkestra bersama berbagai kalangan menjelang Pemilu 2014.

Catatan di atas mengisyaratkan, bahwa Pemilu 2014 selayaknya melahirkan berbagai kepemimpinan yang mampu mengelola kekayaan alam Indonesia menjadi sumber pelayanan kesejahteraan sekaligus strategi daya hidup produktivitas bangsa di tengah persaingan bangsa-bangsa.


Jika Nixon tahun 1965 menyatakan ”Indonesia adalah hadiah terbaik Asia Tenggara untuk Amerika”, selayaknya Pemilu 2014 melahirkan hadiah ”Presiden Indonesia dengan mental politik terbaik Asia Tenggara”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar