Jumat, 27 September 2013

Pembenahan Institusional

Pembenahan Institusional
Bambang Kesowo  ;   Dewan Penasihat Ikatan Alumni
Lembaga Ketahanan Nasional
KOMPAS, 26 September 2013


Berkembang pandangan bahwa problem multidimensi yang tidak ringan saat ini memerlukan penyelesaian yang sifat dan arahnya mendasar. Hal tersebut tidak hanya karena penyelesaian ini diperlukan sekarang, tetapi juga karena itu penting bagi arah dan kualitas kehidupan bangsa dan negara di masa depan. Rencana perbaikan dan langkah apa pun yang diambil hanya akan terwujud apabila terlebih dulu dilakukan pembenahan institusional.

Ketika publik mulai tahu betapa besar dan meluasnya pengaruh buruk politik uang dalam proses dan pengambilan keputusan politik—baik dalam bidang kehidupan politik, hukum, sosial-budaya, ekonomi, maupun keamanan—pertanyaan besarnya adalah, pertama, mungkinkah membenahi keadaan tersebut dan menghentikannya? Kedua, seberapa pentingkah pembenahan itu? Ketiga, di tataran apa pembenahan sebaiknya dilakukan?

Banyak ”deal” di DPR

Dari DPR, kian luas terkuak tentang banyaknya deal yang berlangsung dengan melibatkan uang. Kegiatan pembahasan RUU lazim diwarnai kiprah pihak-pihak yang berkepentingan dalam memperjuangkan lolosnya ketentuan tertentu dalam RUU. Begitu pula dalam penentuan alokasi anggaran, dalam perolehan jabatan publik yang strategis, atau bahkan dalam urusan kapitalisasi dan manajemen BUMN. Tidak sedikit yang kemudian berujung menjadi kasus korupsi walau ada pula yang sekadar mendatangkan keruwetan sebagaimana umumnya skandal politik.

Di tingkat daerah, potret serupa ditengarai terutama dalam perekrutan pemimpin daerah. Besarnya peran uang yang diperlukan untuk membiayai proses tersebut, ketika terpilih, lazimnya berujung pada imbalan berupa pemberian konsesi usaha (terutama pemanfaatan kekayaan alam) ataupun beragam pungutan dalam pemberian izin, yang tidak jarang ditimpali dengan praktik suap.

Kondisi sama juga mulai hadir dalam kehidupan birokrasi. Penempatan personel dalam jabatan, atau kesempatan memperoleh jenjang pendidikan akademik ataupun profesi/teknis, di luar faktor-faktor primordialisme, juga mulai melibatkan peran uang (di samping pelibatan pengaruh politik). Banyak anggapan bahwa semua itu telah melahirkan budaya politik yang koruptif. Uang bagai menjadi penjuru dalam setiap proses politik dan kemudian dalam administrasi pemerintahan.

Meluasnya pemahaman tentang otonomi yang kian berlangsung bagai tanpa pakem—dan mendorong munculnya semacam ego kedaerahan yang sempit—telah mengobarkan gesekan yang semestinya tidak perlu dalam hubungan pusat dan daerah, ataupun antar-pemerintah daerah. Terjadi semacam tarik-menarik kewenangan perizinan usaha, kewenangan penentuan alokasi ruang wilayah, dan kewenangan lain, terutama di bidang pembangunan.

Ujung dari semuanya adalah persoalan lingkungan yang rusak, kekayaan hayati yang tergerus, dan kian minimnya akses rakyat terhadap banyak sumber daya, terutama tanah. Simpul dari semua itu adalah pemanfaatan sumber daya/ kekayaan alam dan, pada saat yang sama, isu pembagian pendapatan dalam kerangka perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Tumbuh semacam anggapan politik bahwa semua hanya mungkin diperoleh apabila untuk itu dimiliki political standing dan, untuk itu pula, penggunaan uang untuk meraihnya dianggap justified. Anggapan tadi subur karena ditopang oleh iming-iming manisnya otonomi yang dioperasikan bagai ”kedaulatan dalam skala kecil”. Konsepsi otonomi yang kurang pas atau pemahamannya-kah yang salah?

Imbas buruk dari politik uang juga dituding ketika di tengah harapan yang tinggi dalam gerak pembangunan, target dan nilai investasi yang sangat ditunggu ternyata tidak terwujud. Banyak yang menyebut buruknya infrastruktur, ketiadaan stabilitas kebijakan dan kepastian hukum, tidak terkendalinya ekses kebijakan di tingkat pemerintah daerah, kebijakan perburuhan yang tidak kondusif, serta maraknya beragam praktik pungutan dan suap, baik di kalangan politisi maupun birokrasi, adalah buah dari situasi yang merupakan produk politik uang tersebut.

Namun, selain imbas politik uang, permasalahan juga berpangkal dari konsep dan strategi pembangunan itu sendiri. Di samping problem kesenjangan yang juga telah diakui resmi presiden (kemiskinan, pengangguran, kesempatan pendidikan, dan layanan kesehatan), ekses dalam bentuk apatisme dan ketidakacuhan juga melanda kejiwaan rakyat. Kemerosotan disiplin sosial (fondasi yang sangat penting bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara) juga sangat memerlukan perhatian.

Sikap agresif dan destruktif sering ditampilkan sebagai ungkapan rasa tidak puas mereka. Kerusakan semakin terasa ketika masyarakat menganggap pelanggaran hukum bukan lagi sesuatu yang tercela; kian menipisnya toleransi, terutama terhadap perbedaan, merebaknya anggapan uang dapat menyelesaikan segala hal, serta sikap meminta dan menuntut sebagai jalan pintas kian jadi kebiasaan.

Membawa-bawa presiden

Semua gambaran itu diacu sebagai cermin goyahnya sistem nilai dan merebaknya dekadensi moral di tataran kehidupan masyarakat. Semuanya bukan lagi hipotetis, melainkan memang terjadi dalam kehidupan nyata. Ada yang berpendapat, mengingat sifatnya yang luas dan merata, diperlukan tindakan koreksi yang mendasar dan drastis. Ditambahkan, yang diperlukan bukan lagi sekadar kemauan politik, melainkan juga keberanian melakukan tindakan politik.

Masalahnya, apabila langkah tersebut menyangkut perubahan, adakah keberanian membangun konsensus politik yang diperlukan menggeser prioritas dan alokasi dalam politik anggaran? Bukankah itu domain DPR? Pertanyaan lanjutan: dalam situasi dan sistem politik yang ada dewasa ini, mungkinkah koreksi itu dilakukan? Bukankah presiden saja nyatanya tidak bisa (atau tidak berani) melakukannya?

Mengapa presiden dibawa-bawa dalam soal ini? Problem yang terjadi, sekalipun bermula dari tatanan di hulu, sebaran berikut imbasnya sudah merata menghinggapi kondisi, pola, dan gaya hidup rakyat pada umumnya. Ketika semua persoalan dan segala kebutuhan perbaikannya sudah berlangsung dalam tataran negara, tidak keliru jika akhirnya sampai pada satu titik : fungsi dan tanggung jawab kepala negara.

Ketika semua berpangkal dari sistem politik dan jalan keluar juga tidak terlepas dari mekanisme politik, wajar saja apabila semuanya menoleh kepada posisi kepala negara sebagai ”pengampu” negara. Namun, dalam negara yang  committed terhadap prinsip demokrasi, presiden sebagai kepala negara juga harus mengikuti apa pun aturan main dan mekanisme politik yang berlaku. Apabila kebuntuan bermula dari tatanan berikut mekanismenya, pembenahannya juga harus ditujukan terhadap tatanan dan mekanisme itu.

Kalangan politik, media, akademik, peneliti, dunia usaha, ataupun kalangan pegiat (aktivis—bahkan wakil presiden—sependapat bahwa situasi yang morat-marit memang bermula dari sistem dan praktik politik tidak kondusif pula. Pada akhirnya, memang itulah pangkalnya. Oleh karena itu, upaya perbaikan juga tidak mungkin dilakukan dan diwujudkan tanpa pembenahan kelembagaan politik tersebut terlebih dahulu, kewenangannya masing-masing, dan tata hubungan kerja di antara mereka.

Pembenahan institusi

Dalam konteks permasalahan inilah, pembenahan institusional tadi dipandang perlu dilakukan. Yang dimaksud pembenahan institusional adalah pembenahan aspek kelembagaan politik negara, fungsi, kewenangan, dan tata hubungan mereka. Kelembagaan politik tersebut, terutama menyangkut badan-badan perwakilan khususnya DPR (termasuk pengaturan fungsi dan kewenangannya) serta sistem kepartaian, pemilihan umum, pemerintahan daerah (termasuk keuangan daerah), serta tata hubungan antarlembaga negara, khususnya DPR dan presiden.

Memangnya ada kontribusi faktor presiden dalam keruwetan tersebut? Kendali negara serta arah dan strategi pembangunan jelas dari presiden. Maraknya kesenjangan dalam kehidupan rakyat adalah buah strategi pembangunan yang bagaimanapun jelas bermasalah. Itu sebabnya, dalam seminar nasional di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Juli lalu, direkomendasikan reorientasi pikir dan paradigma baru untuk membangun Indonesia yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun, di sisi lain, perbaikan dan perubahan arah/strategi ataupun paradigma itu tidak mungkin dilakukan presiden sendiri. Pertama, kuantifikasi strategi dalam program-program tahunan terjabar dalam politik anggaran dan RAPBN yang menjadi domain kewenangan DPR. Bukan soal fungsi budgeter yang harus diubah atau dikurangi, melainkan menggeser titik berat dan prioritas dalam politik anggaran adalah kewenangan DPR.

Kedua, merajalelanya politik uang juga berada di kisaran mekanisme kerja tadi. Oleh karena itu, pembenahan ulang aturan tentang fungsi dan kewenangan DPR, kepartaian, dan sistem pemilu menempati urutan pertama. Berikutnya, pembenahan ulang aturan pilkada dan pemda.

Mungkinkah hal itu terlaksana? Seminar nasional di Lemhannas justru memberi rekomendasi. Pertama, pembenahan cukup dilakukan di tataran instrumental dan tidak perlu menjamah tataran konstitusi. 
Dengan kata lain, pembenahan cukup dilakukan dengan/melalui perubahan UU yang mengatur kelembagaan tadi dan tak perlu dikaitkan dengan segi-segi fundamental melalui amandemen konstitusi. Kedua, dengan memperhatikan dinamika politik, pembenahan dilakukan setelah 2014. Itu berarti, disarankan menjadi agenda pemerintahan baru hasil Pemilihan Presiden 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar