Kamis, 26 September 2013

Peran Ekonomi Pelajaran Mendongeng

Peran Ekonomi Pelajaran Mendongeng
Intan Indah Prathiwie  ;   Pendidik, Kepala Sekolah TK Melati Agung,
Alumnus Fakultas Psikologi UI
SUARA KARYA, 25 September 2013


Inti kurikulum baru 2013 yang sedang heboh belakangan ini adalah sifatnya yang tematik dan integratif. Dalam bahasa mudahnya, kurikulum baru ini berkeinginan agar setiap komponen ajar (tematik) disisipkan ke dalam semua mata pelajaran (integratif). Karena itu, jumlah mata pelajaran dirampingkan dan mata ajar yang hilang dilebur ke dalam mata pelajaran lain. Sebagai contoh, pelajaran bahasa Inggris akan hilang di tingkat pendidikan dasar dan diajarkan secara integratif lewat penyisipan di pelajaran-pelajaran lain.

Sayangnya, meskipun kurikulum baru ini berjanji akan membawa pendidikan ke arah yang lebih baik, ada satu hal tercecer yang sejatinya bisa mengasah kurikulum tersebut lebih sempurna lagi. Yaitu, masih minimnya mata pelajaran berbasis kecakapan hidup (life-skills). Maksudnya, mata pelajaran yang mampu membekali anak didik dengan pengetahuan, sikap (attitude), dan keterampilan dasar yang diperlukan dalam perjalanan hidup.

Untuk itu, mendongeng layak dipertimbangkan sebagai salah satu mata pelajaran resmi yang mulai diberikan sejak SD. Sebab, mendongeng memiliki beragam manfaat pedagogis (pendidikan). Tak kurang dari Lilian Holewell dalam A Book for Children Literature (Sekolah Alternatif Anak, Penerbit Buku Kompas, 2002:4) mencatat sedikitnya enam manfaat dongeng. Selain dapat mengembangkan daya imajinasi dan pengalaman emosional, memuaskan kebutuhan ekspresi diri melalui proses identifikasi, memberikan pendidikan moral tanpa menggurui sang anak, memperlebar cakrawala mental si anak dan memberikan kesempatan untuk meresapi keindahan, dan menumbuhkan rasa humor dalam diri si anak, dongeng dapat memberikan persiapan apresiasi sastra dalam kehidupan si anak setelah dewasa.

Selain itu, mendongeng merupakan salah satu bentuk budaya dan kesenian, yang merupakan bagian dari komponen pokok dalam kurikulum kita. Bahkan, lebih hebat lagi, mendongeng sejatinya piranti untuk menumbuhkan sikap dan nalar kritis mengingat sejarah kemunculan dongeng sebagai budaya tandingan (counter culture). Yaitu, mengimbangi kesusastraan yang membelenggu kesadaran rakyat dengan gambaran kehidupan para dewa yang serba enak, indah, nyaman, menakjubkan. Dongeng mangajarkan kehidupan yang baik, bukanlah di dunia lain 'para dewa', melainkan yang membumi dan dibangun di atas kesadaran akan harga serta potensi diri.

Keuntungan lain, mendongeng dapat melatih kemampuan anak berbahasa, baik bahasa Indonesia maupun Inggris. Di samping, akan memupuk rasa percaya diri anak dalam berkomunikasi di depan publik (public speaking), sebuah kemampuan dasar yang diperlukan dalam perjalanan hidup, entah ketika melakukan presentasi, membawa acara (master of ceremony), bergaul dengan sesama, dan seterusnya.

Tak kalah penting, mendongeng akan menghindarkan anak didik menjadi pribadi yang terlalu termanjakan oleh budaya audio-visual hasil paparan media televisi yang terbukti hanya menumpulkan daya imajinasi, empati, dan kreativitas manusia. (Marshall McLuhan dalam Understanding Media, 1964).

Sebaliknya, mendongeng akan mengaktifkan segala potensi kognitif, emosi dan imajinasi anak. Sehingga, anak didik di kala besar mampu menjadi pribadi yang banyak akal dalam menghadapi pelbagai permasalahan hidup dan bisa memberikan sumbangsih serta kontribusi kreatif bagi perbaikan masyarakat maupun bangsa. Mendongeng pun bisa menjadi sarana menyelipkan berbagai mata pelajaran lain, seperti matematika, IPA, pendidikan kewarganegaraan, dan IPS.

Tambahan lagi, kisah-kisah dongeng yang sarat moral akan menjadi wahana ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan luhur, seperti keteladanan, toleransi, rasa cinta terhadap alam (termasuk flora dan faunanya), sikap gotong-royong, dan lain sebagainya. Artinya, rasa etika (sense of ethics), empati, dan budaya keadaban (civic culture) anak-anak akan terasah secara alamiah dan tak dipaksakan lewat dongeng.

Terakhir, kemampuan mendongeng mampu menjadi bekal kecakapan hidup (life-skills) paripurna bagi anak didik yang nantinya tertarik menjadi pendongeng profesional dan mencari nafkah dari situ. Kita lihat betapa banyak tokoh yang mampu hidup layak dari menjadi pendongeng profesional, seperti Kak Seto yang terkenal dengan karakter Komo; saudara kembar Kak Seto, Kak Seno; Ria Enes dengan boneka Susan; Gatot Sunyoto dengan boneka Tongki; dan lain sebagainya.

Betapa mendongeng merupakan paket lengkap bagi anak didik untuk menyiapkan dirinya menghadapi hidup dengan tegar, bermartabat, mandiri, dan bermanfaat bagi sesama. Bahkan lebih hebat lagi, mendongeng sejatinya memiliki peran ekonomi yang luar biasa.

Pakar psikologi David McClelland (dikutip dari artikel Ismail Marahimin dalam antologi Kiat Menulis Cerita Anak, 2012) pernah mengungkapkan negara yang maju perekonomiannya biasanya memiliki bangsa dengan kebutuhan berprestasi (need for achievement atau biasa disingkat n-Ach) tinggi. Mengejutkannya, McClelland meneliti bahwa bangsa-bangsa dengan n-Ach tinggi, ternyata memiliki kesamaan berupa kekayaan khazanah cerita-cerita dan dongeng anak yang mengajarkan pentingnya usaha dan kerja keras untuk meraih prestasi di dunia.

Artinya, jika sedari awal kita berinvestasi membuat dongeng-dongeng anak yang mengandung hikmah moral tentang ketekunan, kejujuran, anti budaya instan, dan sebagainya, ini menjadi modal awal bagi kita membangun infrastruktur mental penting bernama n-Ach yang terbukti ampuh bagi kesuksesan ekonomi suatu negara. Jadi, mendongeng adalah salah satu mata pelajaran yang potensial untuk merangkum semua kecakapan yang diperlukan anak didik dalam hidup: kecakapan kognitif (akal), afektif (emosi), dan praktis dari segi pencaharian ekonomi. Maka itu, jadikan mendongeng sebagai mata pelajaran sekarang juga! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar