Minggu, 29 September 2013

Re-elektorasi dan Pemilu 2014

Re-elektorasi dan Pemilu 2014
Max Regus ;  Peserta Program Doktoral International Institute of Social Studies 
Universitas Erasmus Belanda
 
KORAN SINDO, 28 September 2013


Komisi Pemilihan Umum (KPU) berada di jalur yang benar ketika rakyat menjadiacuanutamakeseluruhan karya demokratik mereka. Seandainya pilihan perjuangan penyelenggara pemilihan umum ini terwujud pada level konkret dan praktis, keberadaban demokrasi akan menjadi pengalaman Indonesia. 

Kembali kepada rakyat sebagai basis utama demokratisasi adalah cara terbaik dalam menyelamatkan proses politik dan kekuasaan yang tersandera deretan cerita mengecewakan. Hingga sejauh ini. Alasan untuk menempuh proses mahapenting ini sedang mengisi atmosfer diskursus publik. Anggapan yang menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik untuk menjamin kebebasan publik masih begitu kuat mendiami ingatan sosial. 

Ingatan yang harus selalu dijaga untuk mengalahkan rasa lelah menyaksikan serangan masif terhadap demokrasi elektoral dalam bentuk penyelewengan kekuasaan dan wewenang politik. Artinya, tidak boleh ada perasaan kalah untuk mempertahankan demokratisasi hanya karena kelakuan politik yang tidak patut di panggung kekuasaan. Rakyat harus tetap meniti jalan sulit untuk menyelamatkan tesis-tesis utama demokrasi. 

Fatamorgana Kekuasaan 

Kita sudah melewati tiga pemilihan umum selepas Orde Baru. Semua berorientasi pada suprastruktur demokrasi. Dengan volume yang terlalu besar. Proses politik hanya mengacu pada elektorasi dari partai politik. 

Sebagiannya hanya berganti kostum pada tubuh politik yang sama. Dengan cara pandang demokrasi yang pincang. Demokrasi hanya menjadi sirkuit pertarungan partai politik. Baik dalam konteks mengeruk keuntungan dari momentum demokrasi transisional. Mempertahankan kekuasaan atau menjegal lawan politik semua mengalir dalam kedangkalan politik destruktif. Persis, di sini, posisi rakyat semakin lemah di hadapan partai politik yang lebih suka tampil glamor. 

Keterlibatan politik rakyat tidak lebih daripada sekadar akumulasi dukungan bagi pekerja politik. Demokrasi elektoral selama tiga periode yang lalu lebih banyak menciptakan hubungan politis anonim antara rakyat dan para wakil mereka di jagat kekuasaan. Bagi partai politik, dukungan rakyat adalah prasyarat utama bagi keterpilihan dan kemenangan meraih kekuasaan. 

Sebaliknya, bagi rakyat, representasi politik bagaikan fatamorgana. Politik yang sarat janji manis, tapi teramat jauh dari medan pengalaman konkret sosial. Kini kita punya kesimpulan penting. Jika kita ingin menyelamatkan demokrasi, rakyat harus mematangkan peran politik mereka. Soal ini tidak melulu bergantung pada kekuatan politik yang sebagiannya sedang menodai demokrasi, melainkan pada kesadaran rakyat sendiri. 

Rakyat tidak boleh terpenjara dalam prinsip demokrasi elektoral, satu orang- satu suara- satu perwakilan politik! Sebab demokrasi niscaya membuka ruang lain bagi prinsip yang lebih progresif, satu orangba- nyak suara-banyak kepentingan sosial-banyak pilihan politik-banyak perwakilan politik. Partisipasi politik yang bergerak pada ranah kedua ini pasti mampu menggerakkan dan menyelamatkan demokrasi. Pematangan partisipasi politik rakyat mesti jadi tuntutan utama pemilu tahun depan. 

Monitoring Democracy 

Pemerkayaan peran sentral rakyat mesti menjadi isu utama Pemilu 2014. Partisipasi rakyat dalam pemilu mendatang menjadi titian penting menuju bentuk keterlibatan politik konstruktif. Dukungan terhadap ekspresi hak-hak politik rakyat akan memekarkan electoral democracy menuju monitoring democracy. 

Pada model yang kedua ini ada beberapa hal kunci yang harus digagaskan secara terus-menerus oleh rakyat. Ini pasti soal lama tapi partisipasi politik extra-parliamentary harus menjadi salah satu fokus utama keterlibatan politik publik pasca-Pemilu 2014. Rakyat tidak perlu terlalu lama tenggelam dalam euforia politik yang meluncur dari ruangruang penuh keriuhan partai politik. 

Sebab, biasanya, di ujung dari segenap janji politik, pasti tersedia segala bentuk penyangkalan dan pengingkaran kekuasaan. Sedari awal rakyat harus membangun aktivitas politik demokratik yang kuat untuk mengawal kinerja perwakilan politik. Elemen-elemen kunci publik mesti menggagaskan proses penjernihan kekuasaan melalui medium kritik konstruktif secara kontinu. 

Di sini satu syarat penting selalu diandaikan. Sikap kritis selalu membutuhkan ketahanan. Tidak mudah tergiur godaan kekuasaan. Menempuh jalan sunyi yang tidak mudah. Dengan kesungguhan dan kerelaan sosial semacam ini, demokratisasi akan mendapatkan energi harapan yang lebih segar. 

Re-elektorasi Politik 

Hal lain yang amat strategis adalah mematangkan pencapaian- pencapaian yang mulai kelihatan di beberapa tempat. Kini tumbuh fenomena yang sangat menarik. Rakyat mulai terbiasa dan terlatih untuk mengorganisasikan diri mereka dalam bentuk aktivitas-aktivitas politik demokratik alternatif. 

Mereka mampu mengatur diri mereka sendiri. Self-governed networking menjadi ciri penting masyarakat demokratis. Ini tumpuan yang utama untuk menyembuhkan dan menyelamatkan demokrasi yang sementara tercabik akibat ketamakan kekuasaan. Ini akan terjadi ketika partisipasi politik tidak hanya sebatas aksi coblos-mencoblos kertas suara saat Pemilu 2014 nanti. 

Rakyat mesti senantiasa mengasah keraguan politik terhadap perwakilan politik mereka. Elektorasi (keterpilihan) politik bukan dogma demokrasi yang tidak bisa dilawan dengan sikap kritis publik. Re-elektorasi adalah strategi politik rakyat yang punya hasrat untuk menjaga ketajaman itikad baik perwakilan politik dalam membela kepentingan asasi publik. Perwakilan politik yang membuka ruang merdeka bagi kelompok-kelompok sosial yang selalu jadi sasaran penindasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar