Sabtu, 28 September 2013

Remaja dan Kontrasepsi

Remaja dan Kontrasepsi
Sudibyo Alimoeso  ;    Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan
Keluarga BKKBN
MEDIA INDONESIA, 27 September 2013


HAMPIR diik dipastikan, tidak banyak orang tahu bahwa hari ini adalah Hari Kontrasepsi Dunia (HKD). Peringatan yang dimulai sejak 2007 oleh masyarakat Uni Eropa dilakukan di berbagai belahan dunia dengan sebutan World Contraception Day (WCD) dan mempunyai visi bahwa setiap kehamilan adalah diinginkan. Melalui moto `Masa depanmu, pilihanmu, kontrasepsimu', HKD 2013 mempunyai fokus untuk memberdayakan remaja/pemuda (youth) berpikir ke depan dan memasukkan kontrasepsi ke perencanaan ke depan, dalam rangka menghindari kehamilan yang tidak direncanakan atau penyakit menular seksual (PMS).

Mengapa fokus kepada pemuda (remaja)? Karena jumlah penduduk muda ini sangat besar. PBB mendefinisikan pemuda/remaja mereka yang berumur 15 tahun-24 tahun dan jumlahnya sekitar 1,2 miliar atau 18% dari seluruh penduduk dunia. Sebanyak 87% remaja di antaranya tinggal di negara berkembang b k b dan 62% d hidup di negara-negara Asia. Artinya, di negara berkembang, jumlah remaja hampir separuh jumlah penduduk di negara tersebut. Remaja di Asia Pasifik dianggap tidak punya pengetahuan yang cukup tentang kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi serta hak-hak reproduksi. Hal itulah yang menyebabkan banyaknya kasus melanda remaja seperti pemerkosaan, diskriminasi dan pelecehan seksual, kekerasan dan eksploitasi, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), aborsi yang tidak aman, serta infeksi penyakit menular termasuk HIV/AIDS.

Potret remaja di belahan dunia khususnya di Asia Selatan dan Asia Tenggara kurang mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Ada anggapan bahwa informasi tersebut belum diperlukan bahkan dianggap berbahaya kalau mereka tahu. Tidak mengherankan kalau angka kelahiran remaja masih cukup tinggi. Di Indonesia diperkirakan, kelahiran sekitar 48 per seribu penduduk remaja (2012), jika dibandingkan dengan Malaysia sekitar k 14 (2009), China 6,2 (2009), dan 1 Vietnam 35 (2009). Di Indonesia, kelahiran remaja di perdesaan hampir dua kali jika dibandingkan dengan daerah perkotaan yaitu 62 per 1.000 (desa) dan 35 per 1.000 (kota).

Karakteristik pemakai

Meskipun kontrasepsi diperkenalkan seumur program KB di Indonesia, masih banyak rumor dan kepercayaan tentang kontrasepsi termasuk soal kehamilan. Banyak persepsi yang salah, seperti tidak akan hamil kalau dilakukan hubungan seksual sekali saja, atau meloncat-loncat sehabis berhubungan seksual. Mitosmitos semacam itulah yang akhirnya membawa dampak banyaknya kasus KTD.

Hampir setiap wanita di Indonesia usia 15-49 tahun berstatus kawin mengetahui paling sedikit satu alat metode kontrasepsi (98%, SDKI 2012). Pengetahuan pria sedikit lebih rendah sekitar 94%. Metode yang paling banyak diketahui ialah suntik dan pil. Namun, ternyata pengetahuan tidak sejalan dengan praktik pemaka ian kontrasepsi. Wanita kawin usia reproduksi yang aktif memakai kontrasepsi hanya 62%, dengan 58% cara modern dan 4% cara tradisional. Angka pemakaian kontrasepsi itu dapat dikatakan stagnan sejak 2002 (SDKI, 2002-2003). Penggunaan metode hormonal tampaknya paling disukai wanita kawin usia subur itu, suntikan yang pada 1991 hanya 12% mening kat 32% pada 2012. 
Sementara itu, metode IUD turun dari 13% (1991) menjadi 4%, sedangkan pil tetap menduduki peringkat kedua sekitar 14% sejak 1991 sampai sekarang.

Namun sayang, tingkat putus pakai peserta KB di Indonesia masih cukup tinggi. Secara umum, sebanyak 27% pemakai kontrasepsi berhenti memakai alat kontrasepsi setelah satu tahun pakai. Tingkat putus pakai tertinggi adalah pil (41%), kondom (31%), dan suntik (25%).
Banyak hal harus dibenahi kalau melihat potret pemakai kontrasepsi. Pertama, pola pembinaan pascapelayanan. Secara teoretis, setiap alat/obat kontrasepsi hampir 100% dikatakan efektif. Namun, perilaku pemakai dan terkadang pemberi pelayanan menyebabkan alat/obat kontrasepsi tersebut menjadi kurang efektif.
Pembiaran terhadap kesalahan pemakaian kontrasepsi akan mendorong bertambahnya kasus KTD.
Kedua, sebanyak 40% pemakai menyatakan tidak berniat lagi memakai kontrasepsi karena alasan fertilitas, yaitu berhubungan dengan menopause, abstinen, merasa tidak subur, dan pasangan ingin punya anak lagi. Untuk itu, identifikasi sasaran harus lebih terarah sehingga dapat memberikan dampak yang bermakna bagi penurunan fertilitas. Pemahaman yang keliru tentang infertilitas juga dapat mendorong terjadinya KTD.

Ketiga, masih cukup banyak pasangan usia subur tidak ber-KB karena berhubungan dengan alat kontrasepsi. Sekitar 23% mereka menyatakan karena alasan kesehatan, efek samping, kurang akses, dan biaya mahal. Kampanye yang intensif khususnya interpersonal tampaknya sangat perlu dilaksanakan secara komprehensif. Hal itu untuk mengurangi kecemasan terhadap pemakaian alat kontrasepsi terkait dengan rumor dan mitos alat kontrasepsi.

Penyediaan alat kontrasepsi sesuai dengan prinsip enam tepat (waktu, jumlah, kualitas, jenis, tempat, dan harga) juga berperan dalam meningkatkan akses terhadap pelayanan kontrasepsi. Tidak kalah penting ialah peningkatan kemampuan tenaga pelayanan agar di samping mampu meningkatkan akses, juga kualitas pelayanan alat kontrasepsi yang dibutuhkan.

Keempat, tingkat kebutuhan ber-KB yang tidak terlayani masih cukup tinggi (unmet need). Sekitar 11% wanita kawin usia reproduksi yang ingin ber-KB masih belum terlayani karena berbagai sebab. Angka itu harus diturunkan karena kalau mereka tidak terlayani, akan mengalami KTD. Pada akhirnya sebagian besar kehamilan akan berakhir dengan aborsi yang sangat membahayakan jiwa si ibu kalau dilakukan secara tidak aman.

Bagaimana dengan remaja?

Pertanyaan itu selalu menggelitik. Perdebatan tentang remaja yang secara seksual sudah aktif apakah membutuhkan pelayanan kontrasepsi. Hasil Deklarasi Bali yang dicetuskan para remaja Yogya pada saat World Population Day (WPD) atau Hari Kependudukan Dunia sungguh di luar dugaan. Komunitas Yogya yang kita perkiraan santun dan tradisional ternyata remajanya menuntut diberikan hak reproduksi dan seksual mereka, antara lain dengan tuntutan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif tanpa memandang status perkawinan seseorang.

Artinya, secara eksplisit itu dapat diterjemahkan meminta pelayanan kontrasepsi daripada terjadi KTD di kalangan remaja. Diperkirakan, di Indonesia sekitar 20% terjadi KTD pada remaja sebelum mereka melakukan pernikahan. Tentu kita tidak ingin para remaja terdiskriminasi. Namun, norma, budaya, dan agama di Indonesia tidak menghendaki adanya pelayanan kontrasepsi pada remaja. UU No 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga juga mengisyaratkan bahwa pemerintah hanya menyediakan pelayanan kontrasepsi pada pasangan usia subur.


Tujuan setiap kehamilan adalah yang diinginkan masih jauh dari harapan. Impian kita pasti sama, setiap kehamilan adalah anugerah. Setiap kehamilan adalah harapan. Selanjutnya terserah Anda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar