Minggu, 29 September 2013

Tentang Manusia

Tentang Manusia
Bre Redana ;  Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 29 September 2013


Meski namanya Architecture Triennale yang berarti acara tiga tahunan arsitektur, dalam mata acara konferensi, tak ada satu pun pembicara membahas teknis bangunan. Berlangsung di Oslo, Norwegia, pekan lalu, sejumlah pembicara mendasarkan pandangannya mengenai dunia arsitektur dari para pemikir sosial dan ekonomi serta vokabulari-vokabulari lain.

Arsitek Nanne de Ru membuka paparannya dengan pertanyaan: adakah kemewahan sanggup menyelamatkan dunia? Jawabnya tidak. Dia mendasarkan uraiannya pada buku klasik karya Thorstein Veblen, The Theory of the Leisure Class. Ia kritik konsumsi berlebihan kalangan atas, yang pada akhirnya menggerus dimensi etis dunia arsitektur dan tata ruang.

Pembicara lain, tokoh yang cukup dikenal di dunia arsitektur sekaligus pemikir urban, Alfredo Brillembourg, dengan tegas menyatakan bahwa arsitektur bukanlah tentang bangunan, melainkan tentang manusia sebagai subyek. Kalau yang hendak dibicarakan adalah zona nyaman (comfort zone) seperti tema seminar itu, maka zona nyaman adalah persoalan berbagi. Di sini dia kritik kapitalisme global, sebagaimana ekonom Joseph Stiglitz memperlihatkan ketimpangan dunia lewat bukunya yang terkenal, Globalization and Its Discontents.

Estetika memang bagian dari arsitektur, tetapi selain estetik terdapat persoalan etik. Para arsitek perlu memiliki vokabulari lain di luar teknis arsitektur. Vokabulari apa? Apa saja. Soalnya seperti menjadi kesepakatan hampir seluruh pembicara, arsitektur sebenarnya bukan melulu persoalan bangunan, melainkan persoalan manusia.

Arsitektur dan tata ruang kota jelas menjadi cermin dari ketidak-adilan sekarang. Kota sebagai ruang berbagi pada umumnya terbangun atas kekuasaan modal, yang kemudian mengobrak-abrik kemungkinan keberlangsungan hidup, atau biasa disebut sebagai ”sustainability”. Ketika keseimbangan alam goyah, goyah pula keseimbangan manusia.

Itulah sebabnya, orang sering mengenang, tentang kota-kota di masa lalu. Kenangan, sebagai bagian dari nostalgia, memang bakal memunculkan yang indah-indah. Hanya saja, kota kita di masa lalu, barangkali memang lebih menyenangkan dibanding sekarang.

Pada zaman pemilihan kepala daerah ataupun wali kota dilakukan secara langsung seperti sekarang, para calon umumnya rajin mengunjungi orang kebanyakan, istilahnya untuk ”menjaring aspirasi”. Wali kota Bogor terpilih, Bima Arya, menjelang pemilihan beberapa pekan lalu, sempat mengunjungi rumah perguruan Persatuan Gerak Badan Bangau Putih, Bogor. Bersama Guru Besar Gunawan Rahardja dan beberapa murid perguruan, ia ngobrol sampai lewat tengah malam. Karena waktu itu masih dalam masa hampir semua calon ingin mengemukakan programnya jika terpilih, Bima juga menguraikan beberapa pokok pikiran mengenai kemungkinan untuk memperbaiki kota ini.

Dibesarkan di Bogor, ia sempat mengenangkan keindahan Bogor di masa lalu. Dalam buku yang ia bagi malam itu, diceritakan antara lain Bogor semasa ia remaja. Bogor masih dingin, sering berkabut, sungai-sungai bersih, kalau petang banyak kelelawar di Kebon Raya.

Menyenangkan membaca kenangan Bima Arya. Seandainya kami ditanya, program apa sebaiknya yang bisa dilakukan, sebagai awam barangkali kami ingin menjawab: bagaimana kalau kota dibikin menyenangkan seperti kota dalam kenangan kita?

Kota adalah sebuah state of mind alias sesuatu dalam pikiran kita. Tata ruang dan arsitektur bukanlah soal bangunan, melainkan soal manusia.

Tentu saja, pada era yang disebut era demokrasi ini orang bisa bicara berbeda-beda, bahkan sampai ada yang merasa berhak memaksakan kehendak—seamburadul apa pun kehendak tersebut. Itulah tantangan para pemimpin zaman sekarang.


Bagi pemimpin yang ingin otentik, kelihatannya di zaman ini yang diperlukan bukanlah common ground atau landasan bersama. Yang tak kalah dibutuhkan kemungkinan adalah sesuatu yang di ambang hilang dari bangsa ini, yakni common sense alias nalar sehat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar