Minggu, 29 September 2013

TVRI dan Ancaman atas Ruang Redaksi

TVRI dan Ancaman atas Ruang Redaksi
Roy Thaniago ;  Direktur Remotivi
TEMPO.CO, 28 September 2013


Seminggu terakhir ini, beberapa media menurunkan berita mengenai kengawuran TVRI yang menyiarkan acara konvensi calon presiden Partai Demokrat secara tunda selama 2,5 jam pada 15 September 2013. Riuhnya pemberitaan tersebut berhasil membuat Komisi Penyiaran Indonesia menindak TVRI dengan memberikan sanksi administratif berupa teguran. Tercatat beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), yang dipakai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai landasan atas sanksi yang diterapkan. Singkat cerita, melalui mekanisme tersebut, TVRI oleh KPI dinilai tidak menerapkan prinsip jurnalistik, seperti keberimbangan dan independensi.

Keputusan tersebut sedikit-banyak tentu melegakan bagi mereka yang berharap media bisa bekerja sebaik-baiknya untuk publik luas, bukan kepentingan segelintir pihak. Dan keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari hasil kerja jurnalistik beberapa media yang telah dengan tekun memberitakannya, seperti Koran Tempo dan Kompas.com. Padahal, pada awal kasus ini mencuat ke permukaan, Ketua KPI Judhariksawan menilai bahwa TVRI boleh menyiarkan konvensi Demokrat (Tempo.co, 16 September 2013).

Penggunaan TVRI oleh partai politik menjelang Pemilu 2014 sebenarnya bukan hal baru. Maka, sangat aneh kalau, terhadap kenyataan sedemikian, KPI masih mencoba tampil "bersahabat". Dalam catatan Remotivi, pada tahun ini TVRI menyiarkan acara ulang tahun Fraksi Partai Golkar (20 Maret 2013), Kongres Luar Biasa Partai Demokrat (30 Maret 2013), ulang tahun organisasi sayap Partai Golkar, SOKSI, yang mengedepankan Aburizal Bakrie (22 Mei 2013), sampai ulang tahun Partai Amanat Nasional (23 Agustus 2013). Selain lebih berdimensi kepentingan internal, tayangan-tayangan dalam format siaran satu jam penuh tersebut juga terindikasi sebagai praktek blocking time. Oleh UU Penyiaran, blocking time diterjemahkan sebagai praktik jual-beli waktu siaran untuk kepentingan non-komersial.

Tentu saja, praktek blocking time dilarang keras oleh regulasi yang ada. Namun mengukur secara pasti praktek blocking time adalah hal yang sulit. Analisis teks, dengan segala variabel indikatornya, hanya mampu memberikan argumen yang bersifat indikatif. Dengan demikian, atas tudingan blocking time, stasiun TV mampu menghindar dengan jawaban hafalannya: itu merupakan program redaksi, siaran tersebut punya nilai berita yang tinggi, peliputan juga dilakukan terhadap partai lain, dan sebagainya. Di sini kita bisa melihat betapa regulasi sering kali tidak memadai untuk mengikuti dinamika industri yang cepat dan mudah berkilah.

Selain masalah mengukurnya, blocking time masih dipahami dalam pengertiannya yang konvensional: transaksi uang. Padahal uang bisa saja dikonversi ke banyak hal lain: akses ekonomi, modal sosial, atau dukungan politik. Dengan kata lain, blocking time bisa juga diartikan sebagai upeti pengelola media kepada penguasa? terlepas dari ada atau tidak adanya permintaan dari penguasa.

Dalam konteks inilah kasus siaran konvensi Demokrat di TVRI mesti dilihat. Sebab, dalam banyak pemberitaan, dikabarkan bahwa Direktur Utama TVRI Farhat Syukri meminta redaksi menyiarkannya. Ditolak secara keras oleh redaksi, Farhat beralasan bahwa siaran tersebut merupakan permintaan Presiden SBY, yang ingin menonton dari rumahnya di Cikeas, Jawa Barat. Di hadapan publik, Farhat lantas membantahnya, dan menjawab bawa konvensi itu disiarkan sebagai bagian dari program TVRI sebagai stasiun TV pemilu? sebuah alasan yang kemudian dibantah pula oleh anggota Komisi I DPR, T.B. Hasanuddin.

Apa pun versi kebenarannya, yang jelas publik telah melihat bahwa intervensi atasan atau manajemen perusahaan terhadap ruang redaksi merupakan hal yang akan semakin tinggi tingkat ketegangannya menjelang 2014. Ruang redaksi menjadi tidak steril dari pengaruh kekuatan politik-ekonomi, yang bisa berubah sikap dan kebijakan kapan pun penguasa menagihnya. Kasus TVRI bisa jadi merupakan cermin bahwa ruang redaksi di media lain juga tengah menghadapi ancaman serupa. Dewan Pers mesti didorong peran aktifnya untuk mengadvokasi kinerja dan kesakralan ruang redaksi. Jangan sampai mereka yang berupaya independen batal melakukanya karena tidak cukup mendapatkan sokongan. Sebab, rapuhnya ruang redaksi bisa menjadi awal bencana demokrasi.

Tapi, apakah sanksi yang diberikan KPI dalam kasus TVRI dapat membuat jera dan akhirnya menjamin tiadanya pengulangan? Kita bisa melihatnya dari bagaimana konsekuensi yang diterima TVRI. Episode terakhir kasus ini ditutup dengan solusi agar TVRI juga memberikan porsi siaran dengan durasi yang sama bagi partai politik lain. Selain terlihat menggampangkan persoalan, solusi ini memperlihatkan cara pikir dominan penguasa atas frekuensi: bukan sebagai kepemilikan publik. Frekuensi diandaikan laiknya kue yang tiap-tiap pihak mesti mendapatkan jatah masing-masing, bak perompak yang berbagi hasil jarahan.

Selain "solusi" tersebut, saya kira kita juga gagal kalau memaknai pemberian hukuman atas TVRI karena semata ia adalah TV publik. Sebagai TV publik, tentu, saya sepakat bahwa ia mesti menjalankan tanggung jawabnya dalam melayani publik sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Tapi, dengan menekankan predikat TV publik secara berlebihan atas pelanggaran yang telah dilakukan, hal ini menimbulkan kesan bahwa kita lebih toleran terhadap TV swasta. Padahal tanggungjawab semua media adalah sama: melayani publik.

Terlebih, di TV swastalah limbah informasi dan keberpihakan kepada kubu politik tertentu sangat terlihat.
Tentu publik yang tak buta ini berharap agar langkah awal yang telah diambil KPI dengan menindak TVRI bisa dilanjutkan juga dengan menindak TV swasta yang seenaknya menggunakan frekuensi milik publik. Dan ini tidak bisa ditawar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar