Selasa, 29 Oktober 2013

Jaringan Politik Kekerabatan

Jaringan Politik Kekerabatan
Dinna Wisnu  Direktur dan Co-founder Paramadina
Graduate School of Diplomacy, Jakarta
KOMPAS, 29 Oktober 2013


Menjelang Pemilu 2014, lagi-lagi polemik politik kekerabatan, yang dipopulerkan dengan istilah politik dinasti, muncul ke permukaan. Kasus dinasti keluarga Atut dari Banten menjadi momok yang mendorong sejumlah pihak untuk menetapkan pembatasan syarat jabatan untuk kepala daerah melalui RUU Pilkada.

Coba kita letakkan polemik itu dalam proporsinya. Politik kekerabatan sesungguhnya dipraktikkan di banyak negara, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Di Amerika Serikat, kita kenal dinasti Kennedy dan George Bush. Sebelum itu, ada juga John Adams (presiden kedua AS) yang putranya, John Quincy Adams, menjadi presiden keenam AS.

Ada pula Franklin Delano Roosevelt (presiden ke-32 AS) yang adalah sepupu Theodore Roosevelt (presiden ke-26 AS). Roosevelt sendiri dikatakan memiliki hubungan kekerabatan dengan 11 presiden: 5 berdasarkan hubungan darah dan 6 lain karena pernikahan.

Dinasti politik dan partai

Asia mungkin surganya dinasti politik di mana banyak kepala pemerintahan punya hubungan kekerabatan dengan pemimpin sebelumnya. Di ASEAN, kita temukan itu di Singapura (keluarga Lee), di Malaysia (keluarga Razak), di Thailand (keluarga Shinawatra), di Filipina (keluarga Marcos dan Aquino), serta di Indonesia (keluarga Soekarno).

Selain istilah dinasti politik, ada pula istilah dinasti partai. Istilah ini merujuk pada partai-partai yang dibangun dengan mengandalkan ketokohan atau nama yang sudah cukup dikenal. Istilah ini sering dipakai dalam menganalisis situasi politik di India dan negara-negara di Asia Selatan. Contohnya: Partai Kongres di India yang sangat mengandalkan nama Gandhi untuk menjalankan partainya. Partai ini menempatkan beberapa keluarga Gandhi sebagai pemimpin partai dan juga perdana menteri. Tidak hanya Partai Kongres, ada 12 dari 62 partai lain yang tersebar di beberapa negara bagian India menganut partai dinasti.

Di Pakistan ada People’s Party yang dipimpin keluarga Bhutto. Sesaat setelah Benazir Bhutto terbunuh, partai memutuskan bahwa penggantinya adalah anak tunggalnya, yakni Bilawal Bhutto Zardari. Namun, karena belum cukup umur dan belum tamat sekolah, sang ayah, Asif Ali Zardari, menjadi co-chairman dan menjalankan keputusan partai sehari-hari hingga sang anak cukup umur.

Contoh-contoh itu menggambarkan betapa jamaknya kekuasaan politik yang diwarnai hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Namun, kita tak bisa lantas mengatakan keluarga itu melakukan politik dinasti atau dinasti politik. Berkuasanya keluarga Bush dari Partai Republik adalah melalui sebuah proses seleksi partai ketat. Walaupun Bush Jr dianggap tidak punya kewibawaan atau kecerdasan seperti ayahnya, ternyata ia berhasil lolos seleksi partai dan bahkan berkuasa selama dua periode.

Dalam kasus dinasti partai di India, Pradeep Chhibber (2011) mengatakan dua hal yang memengaruhi sebuah partai berubah menjadi partai dinasti. Pertama adalah ketika partai tidak memiliki dukungan organisasi massa independen yang mampu memobilisasi suara atau tidak memiliki prosedur demokratis di dalam partai. Partai yang tidak punya organisasi massa umumnya mengandalkan ketokohan sebagai brand name dan menunjuk pengurus partai atas dasar kekuasaan yang dimilikinya itu.
Kedua adalah ketika keuangan partai bersifat ilegal dan dikuasai secara sentralistik oleh pemimpin partai. Dalam kondisi seperti itu, transaksi politik yang terjadi akan menciptakan defisit keterwakilan partai atas suara masyarakat yang memilihnya.

Kasusnya beda dengan di Filipina, karena dinasti politik di sana berkembang dan bertahan akibat langgengnya sistem patron dari segelintir keluarga kaya yang pernah dihadiahi tanah oleh penjajah Spanyol. Pada masa itu, Spanyol menggunakan metode bagi lahan untuk menciptakan loyalitas kepada pimpinan yang dicangkok oleh Spanyol sambil melakukan konsolidasi horizontal dari tiap tuan tanah yang dilindungi oleh Spanyol tadi.

Karena tidak pernah ada terobosan land reform (reformasi kepemilikan lahan), maka kekuasaan para tuan tanah berakumulasi terus dan mereka kemudian mendirikan partai-partai politik. Partai politik di Filipina sangat rentan didikte oleh segelintir keluarga dan sering kali antarkeluarga bekerja sama untuk memenangi kekuasaan. Filipina memang meloloskan UU Antidinasti Politik, tetapi keefektifan UU tersebut dipertanyakan karena struktur masyarakatnya tak berubah.

Politik dinasti di Indonesia

Di Indonesia, politik kekerabatan dapat ditelusuri dari zaman Orde Baru dan Reformasi. Periode Orde Baru ditandai hadirnya patrimonial state, di mana negara berperan besar melahirkan kepentingan bisnis tertentu dengan memanfaatkan fasilitas negara termasuk akses terhadap modal. Pengorganisasian ala kongkalikong ini dapat dilakukan oleh berbagai jaringan yang juga mewakili kekuatan politik. Misalnya lewat jaringan keluarga, jaringan militer, jaringan Golkar (sebelum menjadi partai), jaringan himpunan kemahasiswaan, jaringan keagamaan, dan lain-lain.

Pada periode Reformasi, liberalisasi ekonomi dan demokrasi telah mengurangi peran pemerintah pusat, tetapi tercipta sentra-sentra kekuasaan baru yang lebih tersebar dengan jaringan yang semakin beragam, tetapi sulit ditembus masyarakat awam. Sejumlah pengamat menyebut tren ini sebagai oligarchic state karena jejaring kekuasaan ini berhasil mengakali mekanisme kompetisi yang fair.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa jaringan politik kekerabatan tidak akan hancur hanya karena suatu UU. Kita harus memperhatikan faktor sosiologis dan historis, apalagi karena akan ada saja jaringan lain yang siap menggantikan dinasti yang tersingkir. Satu hal yang mampu memberikan jaminan akan kompetisi yang fairdalam politik (maupun bisnis) adalah jika birokrasi yang menggawangi proses seleksi politik (maupun ekonomi) bersikap profesional, transparan, dan akuntabel.


Saat ini KPK sudah berhasil membongkar beberapa jaringan yang berusaha menggembosi wibawa negara, tetapi hal ini harus terus dilanjutkan untuk membongkar semua jaringan yang berpotensi memenjarakan Indonesia dalam pola oligarki. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar