Senin, 28 Oktober 2013

Memperjuangkan Perdamaian Sesungguhnya

Memperjuangkan Perdamaian Sesungguhnya
R Valentina Sagala  Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN, 26 Oktober 2013


Beberapa hari lalu saya menerima N-Peace Award dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada Pembangunan dan Kependudukan (UNDP) Asia-Pacific Regional Centre.
Penghargaan ini diperuntukkan pemimpin perempuan dan pejuang perdamaian di Asia Pasifik, khususnya Indonesia, Sri Lanka, Timor Leste, Nepal, Afganistan, dan Filipina. Sebagian orang mengatakan perdamaian adalah ketika gencatan senjata tercapai atau perjanjian damai ditandatangani.

Merenungi perdamaian, bayangan saya langsung tertuju pada salah satu alasan saya menjalani perkawinan dengan suami. Ada damai yang saya rasakan kala bersamanya. Tak cuma menjunjung cinta dan keadilan, suami saya berupaya agar dalam keluarga, terbangun pengertian dan bekerja sama.
Hal serupa saya rasakan saat beraktivitas bersama aktivis-aktivis feminis Institut Perempuan, lembaga yang saya dirikan untuk memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) khususnya perempuan, anak, dan minoritas.

Perdamaian memiliki makna bervariasi. Agar perdamaian terwujud, kekerasan harus diakhiri dan struktur yang memperkuatnya mesti dibongkar. Johan Galtung, sosiolog sekaligus pakar konflik dan perdamaian, menjelaskan kekerasan sebagai yang terlihat dan tidak terlihat. Yang terlihat adalah kekerasan langsung, bisa terjadi dalam perang atau di rumah (kekerasan dalam rumah tangga/KDRT), berbentuk fisik seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, atau kekerasan seksual.

Galtung membagi yang tidak terlihat menjadi: pertama, kekerasan struktural yang merupakan bentuk kekerasan yang tertanam dalam sistem yang memprioritaskan kelompok tertentu atas orang lain berdasarkan kelas, jenis kelamin, gender, kebangsaan, dan sebagainya, baik dalam hal barang, sumber daya, atau peluang.

Contohnya adalah sistem apartheid atau prioritas pemberian pendidikan terhadap anak laki-laki daripada anak perempuan. Kedua, kekerasan budaya, yaitu budaya yang mendasari keyakinan dan sikap yang dicontohkan oleh agama, ideologi, bahasa, seni, untuk membenarkan kekerasan struktural/langsung. Contohnya adalah pemuliaan kekerasan.

Kekerasan langsung, struktural, dan kultural harus diberantas untuk menghasilkan perdamaian positif (positive peace) yang tidak hanya bermakna tidak adanya kekerasan langsung dan perang (perdamaian negatif, negative peace), namun keberadaan kerja sama dan pengertian antarmanusia.

Bagi saya, perdamaian bukan semata tidak ada perang atau konflik senjata. Ia mesti dipahami dari akar penyebabnya. Banyak ancaman berasal dari pola pikir intoleransi keserakahan, rasisme, terorisme, pemiskinan, kerawanan pangan, energi, iklim, dan ketidakadilan dalam pemanfaatan pembangunan. 
Perdamaian mengandung makna terpenuhinya HAM (sipil, politik, budaya, sosial, ekonomi) dan bebas dari kekerasan (langsung, struktural, kultural). Kerja sama dan pengertian antarmanusia hanya bisa hadir dalam bingkai ini.

Perempuan dan anak berisiko lebih besar atas ancaman lain terhadap perdamaian dan keamanan manusia, seperti perdagangan manusia, KDRT dalam pascakonflik, kekerasan dan eksploitasi seksual.
Aktivis perempuan di seluruh dunia berupaya memperjuangkan diakuinya pengalaman serta pentingnya keterlibatan perempuan dalam perdamaian dan keamanan. Barulah tahun 2000, Dewan Keamanan PBB berhasil melahirkan Resolusi Dewan Keamanan (UNSCR) 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, yang sampai kini menjadi instrumen penting.

Diabaikannya hak asasi perempuan serta keadilan gender adalah halangan utama pencapaian perdamaian dan keamanan manusia yang berkelanjutan. Sayangnya sampai sekarang pemerintah Indonesia belum berkomitmen melahirkan Rencana Aksi Nasional terkait masalah ini.

Berbagai laporan menunjukkan peristiwa intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama meningkat, disertai ketegangan konflik di daerah yang menewaskan dan menimbulkan korban. Pemicu yang muncul antara lain sengketa lahan, ketidakpuasan warga atas praktik penegakan hukum, kriminal, beredarnya pesan provokatif, dan konflik lama yang belum tertuntaskan.

Banyak lagi yang saya renungkan tentang perdamaian. Namun saya yakin, seperti saya, Anda bisa merasakan perdamaian. Atau mungkin rasa tidak damai, ketika diintimidasi, dipaksa “harmonis” (“sama”) dengan penguasa zalim, atau saat martabat kemanusiaan dihancurkan.

Bertanyalah pada hati nurani, kita mungkin menemukan apa makna perdamaian sesungguhnya. Esensi dari perdamaian berkesinambungan adalah komitmen akan cinta, hak asasi manusia, dan keadilan sosial; komitmen bertoleransi, menghormati, dialog, dan non-kekerasan.

Mereka yang menjalaninya dalam hidup keseharian dan berupaya menyebar serta memperjuangkannya, merekalah pejuang perdamaian! Kepada mereka, Institut Perempuan, Ayah, Ibu, adik-adik, Tri Sukma (Nanu) -suami saya tercinta-, Belai dan almarhum Janang Djandam, penghargaan ini khususnya saya dedikasikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar