Selasa, 29 Oktober 2013

Mengelola Negara Tanpa Melek Etika

Mengelola Negara Tanpa Melek Etika
Yudi Latif  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 29 Oktober 2013


Dalam demokrasi beradab, hukum berenang di lautan etika, sehingga defisit undang-undang selalu bisa ditutupi kecukupan moralitas. Dalam demokrasi lemah adab, hukum berenang di lautan para perompak, sehingga surplus undang-undang tak membuat tertib hukum, malah semakin membuka peluang bagi aksi-aksi kejahatan manipulatif.

Persoalan yang menyangkut politik dinasti sebagai sarang korupsi dan tsunami yang menimpa Mahkamah Konstitusi (MK) adalah gunung es yang menyingkap persoalan besar republik ini. Akar terdalam kebiadaban penyelenggara negara itu bersumber dari paceklik etika politik. Padahal, etika politik menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul Ricoeur, etika politik adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.

Tidak ada yang lebih sempurna menggambarkan krisis etika politik ini seperti musibah yang menimpa MK. Para hakim konstitusi mestinya sadar benar akan sebuah diktum yang menyatakan, ”tidak ada konstitusi tanpa moral”. Diktum inilah yang melandasi pernyataan Prof Soepomo di akhir penjelasannya tentang Rancangan Undang- Undang Dasar 1945. ”Segala sistem ada baik dan jeleknya,.. sistem mana saja tidak sempurna.” Lantas ia tekankan, apa pun rancangan Konstitusi Indonesia, untuk kesempurnaannya sangatlah ditentukan semangat moral penyelenggara negara. Bahwa ”yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik.”

Alangkah tragisnya ketika ketidaksempurnaan konstitusi yang mestinya ditutupi moral penyelenggara negara, Ketua MK malah jatuh ke tangkup penguasaan tangan-tangan amoral. Namun, solusi atas kemelut MK yang ditempuh Presiden juga menggambarkan situasi yang lebih sinister. Krisis etika tidak ditutupi oleh solusi etis, tetapi oleh pelanggaran etis. Mengeluarkan perppu tanpa kegentingan yang memaksa selalu mengandung potensi susupan kepentingan lain dan melampaui batas etis.

Berbagai ekspresi ketidakpatutan etis yang diperagakan para pemimpin republik ini mengindikasikan meluasnya fenomena ”buta moral” (moral iliteracy) yang melanda bangsa. Rendahnya tingkat melek moral inilah yang membuat para penyelenggara negara kekurangan rasa malu dan rasa kepantasan. Dalam kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Namun, dengan menipisnya rasa malu dan rasa kepantasan, cuma sedikit yang masih tersisa. Hampir semua nilai, termasuk harga diri, bisa dibeli oleh uang.

Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, atau popularitas tokoh, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat moral kehidupan bernegara. Hilangnya harga diri dan prinsip kehidupan membuat para politisi dan penyelenggara negara tumbuh dengan mentalitas pengemis. Para pemimpin di segala lapis dan segi tak terbiasa lagi meletakkan tangan di atas, melainkan senantiasa di bawah. Mereka mengalami kemiskinan permanen karena tak pernah merasa cukup dengan yang telah ditimbunnya dari mencuri hak orang banyak.

Betapa banyak orang menyandang predikat pemimpin, tetapi dengan mentalitas pengemis. Dalih ketidakcukupan gaji sebagai pejabat negara dijadikan alasan terus menggelembungkan aneka tunjangan dan pencarian rente. Tabiat seperti ini melenceng jauh dari kesadaran etis pendiri bangsa. Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata: ”Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.”

Indonesia lahir karena perjuangan dan komitmen luhur memuliakan nilai dan martabat manusia. Dalam memperjuangkan harga diri manusia lewat kemerdekaan, Indonesia telah lolos dari berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan itu justru goyah saat ketamakan dan kezaliman kuasa menari di atas penderitaan rakyat banyak.

Tanpa basis moral yang kuat, negara hukum Indonesia menyimpan banyak kemungkinan kebuntuan karena konstitusi memberikan kepercayaan besar pada moral penyelenggara negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, ”Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara budipekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.”


Pejabat publik adalah representasi rakyat yang harus memiliki kepekaan etis. Kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan di atas hukum. Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan gaya hidupnya harus menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang terempas dan terputus. Para penyelenggara negara dalam mengemban tugasnya tidak hanya bersandar pada legitimasi hukum, tetapi juga legitimasi moral. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar