Kamis, 31 Oktober 2013

Mengoptimalkan Hari-hari Terakhir

Mengoptimalkan Hari-hari Terakhir
Bambang Arianto   Dosen, Mahasiswa S2 Politik UGM
KORAN JAKARTA, 30 Oktober 2013


Hari-hari belakangan mulai banyak muncul penilaian kinerja pemerintah yang tinggal satu tahun. Baik formal seperti lewat survei-survei maupun dari percakapan sehari-hari di tengah masyarakat, banyak yang menilai bahwa kinerja pemerintah belum memuaskan. Mereka harus mengejar perbaikan kinerja dalam waktu tersisa yang tidak lama lagi.

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II tinggal menghitung bulan, namun publik belum puas pada kinerjanya. Persoalan bangsa masih begitu banyak, di antaranya carut-marut di bidang hukum, ekonomi, politik, dan kesejahteraan sosial. Dari berbagai indikator bidang hukum, publik mengungkapkan kekecewaan tertinggi. Hukum belum dilaksanakan secara ideal. Dia masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum sangat tegas kepada mereka yang tak berdaya, tetapi lemah kepada mereka yang berada di kalangan atas. 

Demikian juga, kepercayaan publik pada kekuatan perekonomian bangsa kian merosot. Ekonomi dari waktu ke waktu tampak tidak membaik. Sebaliknya, kondisinya justru kian parah, sehingga mengkhawatirkan terjadi krisis lagi. Pemerintah harus mau bekerja ekstrakeras guna mengejar ketertinggalan pembangunan di bidang perekonomian.

Dari sisi politis, pada akhir periode pemerintahan, nasib partai koalisi atau anggota Sekretariat Gabungan (Setgab) juga semakin tidak menentu. Kebanyakan anggota KIB II sibuk dengan kegiatan partai guna menggalang dukungan pada pemilu 2014 daripada menjalankan tugas untuk rakyat. Pertemuan partai-partai koalisi pendukung pemerintah tak lagi ada. Semenjak perseteruan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Juni 2013 lalu, hilang sudah kegiatan koalisi.

Tampaknya seluruh partai politik memfokuskan diri pada perhelatan tahun depan mulai dari kaderisasi sampai mengumpulkan dana. Bahkan pengumpulan dana untuk membiayai kampanye dan pemilu nanti telah membawa korban karena dilakukan dengan cara-cara kotor seperti korupsi dan perbuatan tercela lainnya, sehingga banyak elite partai yang terjerat kasus hukum. Mereka terjerumus sehingga dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi.

Jauh sebelum pembangkangan PKS, koalisi pendukung pemerintah diketahui telah bubar sejak Partai Golkar menetapkan Aburizal Bakrie setahun lalu sebagai calon presiden 2014. Namun, karena masa pemerintahan masih cukup lama, posisi Partai Golkar tetap berpengaruh besar bagi pemerintah. Meski begitu, tidak terdengar lagi komunikasi di antara anggota koalisi.

Keberadaan koalisi tidak pernah efektif membantu pemerintah karena dibangun setelah pemilu presiden. Kerjanya minimal. Koalisi lebih diartikan sebagai narasi kepentingan. Ia dibangun bukan berdasarkan ideologi, melainkan partai dengan presiden. PKS dan Partai Golkar hanya patuh pada keputusan Presiden SBY, bukan koalisi, apalagi Partai Demokrat. 

Model jatah untuk posisi menteri jelas meruntuhkan kualitas kabinet. Maklum pengangkatan seseorang menjadi menteri bukan berdasar kualitas atau mumpuni, melainkan karena ketua partai yang telah mendukung. Maka menteri adalah sebuah balas budi. Inilah yang ikut melemahkan kinerja kabinet. Bahkan ada survei yang menghasilkan bahwa menteri dari partai lebih banyak mudaratnya.

Jadi, wajar bila kinerja KIB II minim prestasi. Apalagi ada perseteruan antara PKS dan Partai Demokrat menjelang kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Tidak ada ketegasan menghadapi sikap PKS. Presiden juga tidak berani mendepak menteri dari PKS. 

Koalisi semakin tidak menentu. Seharusnya tetap dipertahankan hingga pemerintahan selesai. Suara koalisi makin tak terdengar karena ada rencana konvensi Partai Demokrat. Menteri dalam KIB II sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan Presiden sibuk mendongkrak citra partai dari berbagai sengkarut soal korupsi politik yang sedang melilit partai. 

SBY akhirnya terjebak pada kompetisi partai guna mengejar politik audisional publik. Nahas, ketika Demokrat memaksakan Ruhut Sitompul menjadi calon Ketua Komisi III DPR, koalisi menolak dengan tegas. Ini menjadi pertanda bahwa Partai Demokrat bukan hanya gagal mengemas, namun gagal memperbaiki pamor di hadapan partai koalisi. Harapan merevitalisasi koalisi agar permanen semakin jauh.

Poros Oposisi

Di tengah-tengah minimnya kinerja KIB II, publik tetap berharap masih ada partai politik yang tetap berada di garis oposisi. Hanya PDI Perjuangan yang konsisten mengawasi kekuasaan walau kadang larut pada proses kandidasi dalam elektoral. Oposisi masih diperlukan sebab setiap kebijakan dalam kontestasi politik harus dapat diuji dengan tetap mengedepankan transparansi. Di sinilah oposisi diperlukan guna memainkan peran sebagai penyelamat. 

Rantai jejaring partai koalisi putus karena banyak elite politik dan pemimpin partai tidak memahami pranata yang lebih serius. Oposisi diharapkan dapat mengemukakan titik-titik kelemahan suatu kebijakan sehingga diperbaiki sebelum diluncurkan. Ini penting untuk memperkecil dampak negatif kebijakan tersebut. Atau kalau memang tidak dapat diterapkan, ya lebih baik ditunda.

Di akhir masa pemerintahan KIB II, publik berharap tetap ada poros yang bertugas mengingatkan pemerintah agar kebijakan yang diambil pada hari-hari belakangan semakin bermanfaat dan berhasil guna. Jangan sampai ada tindakan yang seharusnya dilakukan malah tidak dijalankan.

Oleh karena itu, di akhir pemerintahan, SBY harus tetap menampilkan kinerja dan perubahan yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat. Pemerintah masih harus mengejar pekerjaan yang begitu banyak, seperti mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menegakkan keadilan seadil-adilnya. Meski berat, rasanya satu tahun terakhir ini perlu dioptimalkan untuk menaikkan citra pemerintah yang makin redup. 

Kuncinya, harus ada terobosan besar dalam menyejahterakan masyarakat. Ini perlu didorong dan dibantu anggota koalisi. Jangan malah terbalik cara berpikirnya: karena tinggal setahun, mari bersama-sama bancakan untuk membonceng dan menilep uang negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar