Minggu, 27 Oktober 2013

(Merasa) Dikhianati…

(Merasa) Dikhianati…
James Luhulima  ;    Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 26 Oktober 2013


Kemarahan Perancis terhadap Amerika Serikat atas penyadapan percakapan telepon warga Perancis yang dilakukan oleh AS masih berlanjut. Selasa (22/10) lalu, Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius meminta kepada Menlu AS John Kerry agar AS tidak mengulang lagi penyadapan percakapan warga Perancis. Fabius juga menuntut agar AS memberikan penjelasan rinci terkait program spionasenya. Reaksi Kerry atas permintaan yang diajukan oleh Fabius itu tidak diketahui.
Sebelumnya, Presiden Perancis Francois Hollande langsung menelepon Presiden AS Barack Obama dan mengekspresikan kekecewaannya. Hollande mengecam AS dengan menyatakan, program spionase AS itu jelas-jelas tidak dapat diterima di antara sahabat dan sekutu karena melanggar privasi warga Perancis.
Namun, tampaknya, langkah itu belum cukup. Perdana Menteri Perancis Jean-Marc Ayrault mengatakan, Perancis membawa masalah spionase AS itu ke pertemuan puncak para pemimpin Uni Eropa di Brussels, Belgia.
Ayrault mengatakan, sangat terkejut oleh penyadapan itu. ”Ini luar biasa bahwa negara sekutu, seperti AS, pada saat ini telah bergerak terlalu jauh dengan menyadap komunikasi pribadi yang tidak memiliki pembenaran strategis. Tidak ada alasan pembenaran atas dasar pertahanan nasional,” katanya.
Penyadapan yang dilakukan oleh AS itu dilaporkan oleh surat kabar terkemuka Perancis, Le Monde. Disebutkan, Badan Keamanan Nasional AS (NSA) menyadap 70,3 juta percakapan telepon di Perancis selama 30 hari, dari 10 Desember 2012 hingga 8 Januari 2013. Surat kabar itu mengutip dokumen rahasia yang dibocorkan oleh eks analis dan kontraktor NSA, Edward Snowden, yang kini tinggal dalam pengasingan (in exile) di Rusia. Juga disebutkan, agen mata-mata AS menyadap percakapan pada nomor-nomor tertentu di Perancis. NSA tak hanya menyadap individu yang diduga terlibat terorisme, tetapi juga pebisnis dan politisi papan atas.
Di Washington DC, Selasa, Direktur Intelijen Nasional AS James R Clapper membantah pemberitaan Le Monde, dengan menyebut, laporan itu berisi informasi yang tidak akurat dan menyesatkan.
Menurut Clapper, AS mengumpulkan informasi intelijen dengan cara yang sama seperti dilakukan negara-negara lain. Dan, informasi intelijen itu dikumpulkan untuk melindungi tidak hanya kepentingan nasional, tetapi juga kepentingan negara sahabat. ”AS sangat menghargai persahabatan dan persekutuan dengan Perancis. Kami akan terus bekerja sama dalam bidang keamanan dan intelijen di masa yang akan datang,” kata Clapper.
Dalam tulisan ini, kita tidak membahas tentang mana yang benar, keterangan Snowden yang dimuat Le Monde atau keterangan Clapper, tetapi lebih membahas tentang bagaimana Perancis menyikapi laporan Le Mondeitu. Pada saat ini, terlepas dari benar atau tidaknya laporan Le Monde itu, Perancis merasa dikhianati oleh negara sahabatnya, AS.
Hampir sama
Perasaan yang hampir sama juga pernah dialami AS ketika ingin mengajak Perancis bergabung dalam penyerbuan ke Irak untuk menumbangkan Presiden Irak Saddam Hussein tahun 2003. Saat itu, Perancis bukan saja menolak bergabung, melainkan bersama-sama Jerman menentang keras niat AS menyerbu Irak.
Pada saat itu, AS merasa dikhianati Perancis, yang pernah dibantunya ketika diduduki oleh pasukan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Bahwa sikap Perancis menentang keras niat AS menyerbu Irak itu adalah tindakan yang benar, itu adalah persoalan lain, yang tidak akan kita bahas dalam tulisan ini.
Yang kita bahas adalah kekecewaan AS karena Perancis bukan saja tidak mau bergabung, tetapi bahkan dengan keras menentangnya. Dalam pandangan AS, AS merasa dikhianati Perancis, yang telah dibebaskannya dari pendudukan pasukan Nazi dalam Perang Dunia II, tetapi dengan arogan malah menentangnya.
Dan, situasi itu didramatisasi oleh The New York Post, dengan menerbitkan foto kuburan pasukan AS yang menjadi korban pada Perang Dunia II di halaman satu dengan tulisan Sacrifice (Pengorbanan). Tulisan utamanya berjudul ”They Died for France, but France Had Forgotten (Mereka Mati untuk Perancis, tetapi Perancis Sudah Melupakannya)”.
Dalam keadaan seperti ini, persoalan itu bukan lagi benar atau tidak, karena luka tersebut sudah tertoreh. Jika penyadapan itu benar-benar terjadi, AS harus dapat meyakinkan Perancis bahwa hal tersebut memang perlu dilakukan dan AS tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun mungkin hal itu tetap akan didebat oleh Perancis. Sedangkan, jika penyadapan yang dilakukan AS benar-benar tidak terjadi, AS harus dapat meyakinkan Perancis bahwa penyadapan itu benar-benar tidak terjadi.
Namun, seperti disebut di atas, persoalan itu bukan lagi soal benar atau tidak, melainkan soal perasaan. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih dari AS, di samping menjelaskan mengapa penyadapan itu dilakukan, jika penyadapan itu benar-benar dilakukan, atau membuktikan kepada Perancis bahwa penyadapan tersebut benar-benar tidak terjadi. Dengan upaya ekstra dari AS, diharapkan Perancis dapat dengan cepat memulihkan perasaannya yang terluka.
Kata-kata bijak, atau pepatah, yang menyebutkan bahwa waktu akan menyembuhkan luka itu pasti berlaku, tetapi persoalannya berapa lama…. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar