Selasa, 29 Oktober 2013

Pemuda dan Literasi Bangsa

Pemuda dan Literasi Bangsa
Joko Wahyono   Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
KORAN JAKARTA, 29 Oktober 2013


Tanggal 28 Oktober ini, kita kembali memperingati hari Sumpah Pemuda, sebuah peristiwa paling monumental bagi pemuda Indonesia. Siapa pun tidak akan menyangsikan kepeloporan pemuda yang kala itu bergerak secara nasional melawan hegemoni penjajahan (kolonialisme-imperialisme) setelah lebih dari tiga abad merampas wilayah, menjarah kekayaan alam, dan mengooptasi kehidupan sosial-budaya. Kesadarannya sebagai kelas terjajah (inlander) telah memantik progresivitas mereka sebagai pemuda.

Tak heran jika seorang ilmuwan politik, Robert R Jay (1963), menyebut pemuda Indonesia sebagai "vanguard for political struggle". Benedict Anderson (1972) mengabadikan istilah pemuda sebagai motor penggerak revolusi Indonesia. Begitulah sarjana Barat mencitrakan pemuda dalam dinamika sejarah kehidupan bangsa. 

Kendati demikian, ada sesuatu yang luput dari pembacaan kita di balik progresivitas pemuda saat itu. Sesuatu yang menjadi habitus, sekaligus titik kisar imajinasi kebangsaan. Ya, kultur literasilah yang menjadi suluh bagi pemuda untuk membangun narasi besar bertajuk revolusi politik kebangsaan. Kita pasti mengenal sosok Tirto Adi Suryo, seorang pemuda yang mengawali pergerakannya melalui jurnalisme di era 1900-an. 

Di mata Pramoedya Ananta Toer (2007), ia disebut sebagai sang pemula. Tulisan-tulisannya begitu menggugah khalayak untuk bergerak melawan penindasan kolonial. Kultur literasi juga kita temukan pada sosok Kartini. Meski hidup di ruang pingitan feodalis dan patriarkal, ia gemar mengirim surat kepada perempuan-perempuan Eropa, seperti Abendanon, HG De Booij-Boisevain, dan Estella Zeehandelar. 

Dari tradisi surat-menyurat inilah Kartini muda banyak mengenal ide-ide besar tentang kemodernan, sosialisme, dan perjuangan kaum perempuan sehingga lahir emansipasi. Begitu pula sosok Ki Hajar Dewantara. Selain pengabdiannya begitu besar bagi kemajuan pendidikan, melalui gerbong Boedi Oetomo 1908, tulisan-tulisan yang tajam dan patriotik pun tercipta sehingga membangkitkan semangat antikolonial. 

Imajinasi yang dibangun lewat tulisan, kata-kata, dan bahasa (literacy) mereka itulah penyebab awal (prima causa) lahirnya paham nasionalisme kebangsaan dan keindonesiaan.

Miskin Imajinasi

Sayangnya, dalam kenyataan rutin, generasi muda kini tak seindah citra yang dulu dibangun oleh konsepsi sejarah perjuangan bangsa. Bahkan, siapa pun harus siap kecewa ketika bertanya ihwal peran pemuda di tengah masyarakat. Karena, harus diakui, rekayasa teknologi informasi mutakhir telah menjerat mereka pada keterlelapan peradaban maya (illusion).

Ia mengasingkan generasi muda dari ruang sosial yang sebenarnya. Bagaimana tidak, hasrat berselancar melalui media jejaring sosial (Facebook, Twitter, chatting dll) tak jauh dari sekadar rekreasi, komoditas, dan ekstase. 

Energi mereka terkuras untuk membangun citra dengan berbagai macam fantasi ilusif. Kebohongan atas identitas mengerak menjadi karakter pembohongan atas sikap dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Kondisi ini jelas mereduksi khittah pemuda sebagai makhluk sosial yang berbudaya. 

Celakanya, di balik tampilan fantasional itu, tersimpan kepentingan egois kelas berkuasa, yakni kapitalis. Sebuah kelas yang selama ini memonopoli gagasan untuk memaksa (secara samar) generasi muda agar menghamba pada selera pasar. Selera yang bercorak monoton, materialistis, dan teknosentris. 

Apalagi ditopang dengan meledaknya budaya media massa yang menyilangsengkarutkan makna dan citra atau nilai guna dan nilai tanda. Sesuatu kemudian tak lagi didasarkan pada manfaatnya, melainkan prestisenya (simbolis). Demikian pula kualitas seseorang tidak menjadi tolok ukur di tengah khalayak umum. Tafsir tentang pemuda pun menjadi amburadul. 

Pemuda modern diterjemahkan sebagai pemuda yang dianggap bisa mengikuti tren modernitas dengan sederet idiom budaya pop (popular culture) yang materialistik, atributif, simbolis, tetapi artifisialistik. Sementara, pemuda yang melek politik, filsafat, sejarah, agama, sastra, bahasa, seni, budaya, dan nasionalisme dinilai tidak modern (tidak gaul). 

Lebih parah lagi, bagi pemuda yang aktivitasnya dekat dengan buku, justru diberi label cupu. Inilah indikasi tenggelamnya etos literasi pemuda di dasar jurang yang teramat curam. Akibatnya, mereka menjadi dangkal makna, pragmatis, hedonis, konsumtif, apolitis, sensual, dan fatalis. 

Mereka kehilangan kesadaran akan identitas, eksistensi, dan autentisitas keunikannya. Sensitivitas mereka atas ketertindasan menjadi lumpuh, dan resistensi meringkuk dalam kepatuhan yang serba-irasional. Tak heran jika generasi muda saat ini begitu miskin imajinasi, sangat instan dengan cita rasa yang seragam. Sebuah ironi generasi muda. Generasi yang runyam perubahan dan latah peradaban.

Etos Literasi

Dengan semangat Sumpah Pemuda, tafsir tentang pemuda kini harus didekonstruksi. Narasi tentang kultur literasi dari "tokoh pemula" harus menjadi pemantik bagi generasi muda untuk membangun kembali imajinasi kehidupan yang merdeka dan lepas dari cengkeraman ekspansi budaya kapitalistik. 

Ikhtiar untuk itu, tidak bisa tidak, harus dimulai dari membangkitkan etos literasi yang gigantis (dahsyat). Seorang penulis The Russo-Japanese War, Geoffrey Jukes (2002), mencatat bahwa penentu kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1904-1905 bukanlah teknologi, tetapi literasi. Saat itu, tentara Jepang memiliki tingkat literasi yang lebih tinggi ketimbang tentara Rusia.

Di sinilah pentingnya literasi yang mewujud dalam tradisi membaca, menulis, meneliti, berdiskusi, dan sederet aktivitas literasi lainnya sebagai titik kisar bagi lahirnya perubahan. Pemuda harus menjadikan literasi sebagai bagian inheren dalam kesehariannya. 

Dengan tradisi literasi, pemuda akan diperkenalkan pada ide-ide besar tentang perubahan, autentisitas kemodernan, sekaligus keindonesiaan sehingga pemuda akan terbebas dari nalar pragmatis dan kesadaran semu (pseudo consciousness) yang ilusif. Buku tidak sekadar diburu, apalagi sebagai simbol agar tampak modis dan eksibisionis. 

Dari buku harus tercipta katalis-katalis untuk menolak (negation) setiap nilai yang tidak sesuai, memadukan (integration) nilai yang baik dan menghadirkan nilai baru (value addition) yang lebih baik bagi peradaban bangsa. Di sinilah peran generasi muda dengan kultur literasinya akan terbentuk pandangan dunia (world view), cara berpikir dan karakter sehingga mampu menjalankan perbuatan utama. Pemuda modern adalah pemuda yang berkawan dengan keterlelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar