Senin, 28 Oktober 2013

Sekali Lagi : Sumpah Pemuda

Sekali Lagi : Sumpah Pemuda
Henny Supolo Sitepu  Yayasan Cahaya Guru
KOMPAS, 28 Oktober 2013


Kami Poetra dan Poetri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Air Indonesia, Kami Poetra dan Poetri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia, Kami Poetra dan Poetri Indonesia Menjoenjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”.
Betapa indahnya bunyi sumpah yang diikrarkan delapan puluh lima tahun lalu. Lebih terasa indah lagi membayangkan sejumlah wakil organisasi pemuda, di antaranya Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan Pemuda Tionghoa. Delapan puluh lima tahun merupakan waktu yang cukup lama. Apa yang telah kita warisi dari semangat dan keindahan itu?
Pemberitaan mengenai pemuda di media memperlihatkan kekerasan terjadi dalam berbagai lini dan meruyak dalam berbagai bentuk. Terakhir kita mendengar penyiraman air keras di beberapa tempat dan pemaksaan yang dilakukan pada siswa yunior untuk melakukan hubungan seksual yang disaksikan dan direkam senior-seniornya. Apa yang tengah terjadi di pemuda kita? Di mana semangat membangun dan jiwa persatuan mereka? Semangat Sumpah Pemuda yang melihat ke masa depan Indonesia gemilang terasa jauh.
Padahal, pemuda kita saat ini jelas ikut membangun bangsa dalam porsi masing-masing. Kita melihat perkembangan pesat pola kegiatan Indonesia Mengajar dalam bidang pendidikan. Para pemuda yang tergabung dalam tim Pencerah Nusantara mengambil porsi pendampingan masyarakat di bidang kesehatan. Atau Kegiatan Sabang Merauke yang memberikan kesempatan siswa dari daerah terpencil tinggal di kota bersama keluarga dengan latar belakang budaya berbeda untuk memberikan pemahaman keragaman budaya yang kita miliki dan masih banyak lagi. Sayangnya, semangat para pemuda di atas tertutup oleh pemberitaan kekerasan oleh pemuda juga yang tidak mungkin kita ingkari.
Bagaimana Sumpah Pemuda dihayati di sekolah-sekolah? Mudah ditemukan Sumpah Pemuda diikrarkan saat upacara tanpa penjiwaan. Siswa tidak mendapatkan rasa kepemilikan pada ikrar penting yang layak dimaknai. Lebih jauh lagi, Yayasan Cahaya Guru menemukan beberapa penolakan sekolah, meski secara halus, untuk melakukan upacara bendera. Kegiatan reflektif penghayatan ikrar persatuan sangat dibutuhkan. Penolakan, apa pun alasannya, menunjukkan gagalnya pemaknaan dan kegembiraan mengecap udara ”merdeka” yang telah diupayakan para pejuang pendiri negeri ini. Mengapa demikian?
Tidak ikut memiliki
Tampaknya, penekanan pada kegiatan akademis membuat guru terengah-engah. Ujian nasional (UN) yang menjadi tujuan akhir, tanpa menimbang keragaman kondisi guru, sekolah, dan siswa turut menciptakan suasana pembelajaran yang sangat rutin jauh dari pertanyaan-pertanyaan dasar dalam proses pembelajaran, yaitu mengapa penting? Bagaimana artinya untuk proses pembelajaran siswa?
Saat kelulusan menjadi tujuan satu-satunya, sementara proses untuk mendapatkan kelulusan itu tidak dipentingkan, maka siswa tidak akan ikut merasa memiliki proses pembelajaran yang terjadi dalam dirinya sendiri. Doni Koesoema dalam artikelnya ”Kanibalisasi di Dunia Pendidikan” menyebut UN ”membuat semua bergembira kecuali siswa” (Kompas, 22 Oktober 2013).
Masuknya kegiatan pramuka sebagai ekstra kurikuler wajib dalam Kurikulum 2013 juga merupakan pemaksaan yang menyalahi roh kepanduan. Kegiatan pilihan yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi beban saat diwajibkan. Perubahan mendasar menghilangkan esensi pramuka dan merupakan pelanggaran terhadap UU Kepramukaan Pasal 20 Ayat 1 UU No 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka yang ”bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis.” Pelanggaran UU yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan contoh lain sikap kekuasaan yang tidak memahami pentingnya perasaan kepemilikan pemuda.
UU Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan dalam Bab II Pasal 3 bahwa ”Pendidikan nasional… bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dari sekian banyak kata kunci di atas, ”akhlak mulia” sering sekali disebut termasuk dalam tujuan Kurikulum 2013. Padahal ”akhlak mulia” sulit digambarkan dan diukur. Pilihan kata yang akrab dalam keseharian dan netral dalam pengertian akan memudahkan timbulnya rasa kepemilikan. Pilihan kata juga berkaitan dengan kerendahan hati dan pemahaman adanya keragaman.
Di mana negara berada?
Pertanyaan ini sangat mudah terlontar ketika kita menyaksikan pergeseran sekolah negeri seakan-akan ”didominasi”oleh penganut agama mayoritaspada tempat sekolah itu berada. Sekolah negeri dengan fungsinya sebagai penyemai keragamandan kebangsaan utama pelan-pelan meninggalkan semangat yang delapan puluh lima tahun diikrarkan. Justru dalam sisi ini negara bisa segera melakukan perannya. Kemdikbud bisa dengan mudah memastikan bahwa semua kegiatan pendidikan, termasuk tata cara upacara dan ketentuan berpakaian, tidak dilakukan berdasarkan ajaran agama mayoritas. Bahkan ditemukan seragam sekolah negeri di mana siswa nonmayoritas diminta menggunakan simbol agama masing-masing yang dipasang pada seragam hari tertentu.
Melalui intervensi Kemdikbud, setiap insan di sekolah negeri selayaknya diberi kesempatan untuk memilih ekspresi yang dikehendaki dalam kaitannya dengan agama atau kepercayaan yang mereka anut. Bukan menyeragamkan, melainkan memastikan suburnya keragaman. Karena hanya dengan inilah sesungguhnya Sumpah Pemuda yang diikrarkan sungguh dihayati dan tecermin dalam kegiatan sehari-hari.
Memaknai Hari Sumpah Pemuda bisa dilakukan dalam keseharian yang sama sekali tidak rumit. Marilah mulai mendengarkan dan mencontohkan. Mari memakai segenap indera, hati, dan kemampuan berpikir agar terjadi keselarasan keragaman yang membuat hidup lebih indah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar