Minggu, 27 Oktober 2013

Tantangan Kapolri Baru

Tantangan Kapolri Baru
Mimin Dwi Hartono  ;   Staf di Komnas HAM
TEMPO.CO, 26 Oktober 2013


Setelah menanti selama beberapa bulan, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat secara aklamasi menetapkan Komjen Sutarman sebagai Kepala Kepolisian RI (Kapolri) yang baru, menggantikan Jenderal Timur Pradopo. Di tengah tantangan internal dan eksternal, tugas dan tanggung jawab Kapolri tidak akan mudah.

Terlebih menjelang tahun politik 2014, Kapolri dituntut untuk profesional dan independen dalam mengawal transisi kepemimpinan secara damai dan demokratis. Namun, secara spesifik, selain agenda Pemilu 2014, tantangan utama Kapolri setidaknya ada dua, yaitu pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia. 

Hal ini karena tidak sedikitnya kasus korupsi yang menjerat oknum anggota Polri, baik di tingkat perwira tinggi maupun di tingkat bawah, misalnya yang dilakukan oleh Irjen Djoko Susilo. Demikian juga dengan banyaknya peristiwa pelanggaran HAM yang melibatkan Polri, baik secara aktif (by commission) maupun secara pasif (by omission).

Transparency International (TI) baru saja merilis laporan bertajuk "Global Corruption Barometer 2013", yang menyatakan bahwa Polri salah satu lembaga terkorup di Indonesia. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan persepsi masyarakat terkait dengan pengalaman mereka berinteraksi dengan Polri. Polri pasti berlapang dada menerima hasil survei tersebut sebagai bentuk dari kontrol publik, agar Polri segera melakukan pembenahan secara progresif, baik di lingkup internal maupun eksternal.

Sementara itu, Komnas HAM pada awal tahun ini merilis laporan yang menyatakan bahwa Polri adalah lembaga yang diduga paling banyak melanggar HAM. Posisi pertama ini diduduki Polri selama beberapa tahun terakhir berdasarkan pengaduan masyarakat dengan kecenderungan semakin meningkat.

Walaupun kedua laporan tersebut belum tentu benar sepenuhnya karena memerlukan proses pembuktian lebih lanjut, dari sisi fakta sosial, menjadi sangat penting bagi Kapolri maupun Presiden untuk memperhatikannya secara serius. Hal tersebut menjadi peringatan dini untuk memperbaiki sistem penegakan hukum dan hak asasi manusia. 

Apabila kedua laporan tersebut tidak diperhatikan, ia akan semakin menambah rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap Polri dan melemahkan kewajiban negara untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban sosial. Sebagai lembaga garda terdepan dalam menegakkan supremasi hukum, Polri harus menjadi cermin yang baik bagi publik sehingga hukum tetap menjadi panglima.

Sejak kewenangan besar diemban oleh Polri pasca-pembagian fungsi dengan TNI, di samping menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan dalam tahap awal penegakan hukum secara umum pada tahap penyelidikan dan penyidikan, Polri berwenang penuh dalam menjaga ketertiban sosial dan perlindungan masyarakat di wilayah domestik. Pemisahan fungsi tersebut menjadikan Polri sebagai lembaga di garda terdepan dalam penegakan hukum dan ketertiban sosial yang setiap saat bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat, sehingga rentan terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Mandat reformasi yang bertujuan agar Polri menjadi lembaga sipil dan menegakkan supremasi hukum belum tercapai sepenuhnya. Kewenangan yang sangat besar yang dipegang Polri belum diimbangi dengan pengembangan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga berakibat pada penyalahgunaan wewenang oleh oknum anggota Polri yang bermuara pada terjadinya korupsi dan pelanggaran HAM. 

Sampai saat ini, bisa disebut, belum ada lembaga dan mekanisme publik yang bisa efektif dan berkekuatan dalam mengontrol dan mengawasi Polri. Secara internal, memang ada mekanisme pengawasan internal, di antaranya Divisi Profesi dan Pengamanan serta Inspektur Pengawasan. Namun kedua organ tersebut dinilai tidak cukup independen dan obyektif dalam mengawasi dan menindak setiap anggota Polri yang melanggar etika, disiplin, maupun hukum. Pasalnya, ada konflik kepentingan secara internal, sehingga tidak sedikit temuan dan tindak lanjutnya belum sesuai dengan harapan publik. 

Sedangkan secara eksternal, memang terdapat Komisi Kepolisian Nasional, tapi dinilai belum punya kewenangan yang memadai untuk secara efektif mengawasi dan mengontrol Polri. Selain itu, lembaga-lembaga negara maupun non-juga cukup banyak yang mengawasi Polri, namun semuanya terbentur keterbatasan akses dan wewenang, kecuali Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dengan kewenangan yang besar dan mekanisme pengawasan yang minim dan terbatas, Polri tumbuh menjadi lembaga yang dalam beberapa hal menjadi kurang terkontrol. Dengan demikian, tidak jarang terjadi penyalahgunaan wewenang yang berakibat terjadinya korupsi dan pelanggaran HAM, baik di ranah penyidikan, dalam menjaga ketertiban sosial, maupun pengamanan atas nama kepentingan publik. 

Ketika ada penyalahgunaan wewenang dan tidak ada hukuman yang obyektif dan adil, kepercayaan masyarakat pada Polri pun semakin terkikis. Padahal kepercayaan publik adalah modal dasar bagi Polri untuk menjadi lembaga yang akuntabel dan dipercaya. 

Perilaku korupsi oknum anggota Polri menjadi salah satu sebab terjadinya pelanggaran HAM, misalnya jika polisi berpihak pada salah satu pihak yang bermasalah secara hukum dan mengabaikan hak pihak lain, atau penyidikan yang direkayasa untuk tujuan menguntungkan pihak tertentu, sehingga melanggar hak atas persamaan di depan hukum dan hak atas keadilan.

Polri harus menegakkan kembali martabat dan reputasinya, yaitu harus mau melakukan pembenahan secara mendasar dengan menegakkan hukum secara adil dan setara terhadap masyarakat dan terhadap anggotanya yang terlibat dalam pelanggaran etik, disiplin, dan hukum. 

Mekanisme pengawasan internal harus dibenahi dan diperkuat, sehingga menimbulkan efek jera bagi anggota Polri yang menyalahgunakan wewenang,termasuk korupsi. Secara berkala, kasus-kasus yang diperiksa secara internal harus dipublikasikan ke masyarakat. Sedangkan secara eksternal, Kompolnas harus diberi kewenangan yang lebih memadai untuk mengontrol setiap aparat Polri yang terindikasi menyalahgunakan wewenang. 

Mata rantai antara korupsi dan pelanggaran HAM harus diputus dengan cara memperkuat pengawasan secara internal dan eksternal dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan partisipasi masyarakat yang dibangun dari level terbawah untuk mengawasi kinerja Polri, kepercayaan publik dan integritas Polri secara perlahan akan pulih dan semakin meningkat. Polri yang bersih dari segala bentuk tindakan korupsi akan mengeliminasi secara signifikan predikat Polri sebagai aktor negara yang diduga paling banyak melanggar HAM.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar