Sabtu, 30 November 2013

Anak Cucu Raja Midas

Anak Cucu Raja Midas
Komaruddin Hidayat  ;   Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO,  29 November 2013
  


Saya sulit melupakan kisah Raja Midas setiap menyaksikan perilaku para penguasa yang rakus dan korup. Meski pernah saya tuliskan di harian ini beberapa tahun lalu, saya ingin mengingatkan kembali betapa bahaya dan meruginya sikap rakus itu jika melekat pada penguasa karena akan mencelakakan diri, keluarga, dan rakyat banyak. 

Banyak perilaku penguasa lokal dan nasional yang terjangkit sindrom Raja Midas. Dalam mitologi Yunani, sifat serakah dan lupa diri ini dihadirkan dalam sosok Raja Midas. Midas adalah seorang figur penguasa dalam legenda Yunani Kuno, sosok seorang penguasa yang rakus, yang menempelkan kebanggaan dirinya pada jabatan dan kekayaan yang dipeluknya. Gairah hidupnya tertuju pada berburu kekayaan sekalipun harus mengorbankan kepentingan masyarakat. 

Mayoritas rakyat benci kepada Raja Midas, hanya menunggu momentum saja untuk melakukan kritik dan perlawanan. Sementara itu paling banter rakyat hanya berbisik-bisik atau menggunakan bahasa sindiran agar tidak terkena jerat hukum. Tiba-tiba, pada suatu hari masyarakat dihebohkan oleh berita bahwa Raja Midas telah gila gara-gara sang permaisuri mati dan berubah menjadi patung emas. Selidik punya selidik, rakyat akhirnya mengetahui apakah penyebab tragedi itu. Rupanya Raja Midas yang terkenal paling kaya di wilayah kekuasaannya itu masih juga belum puas atas kekayaan dan jabatannya. 

Dia melamun dan mendambakan agar dirinya menjadi orang terkaya yang tak tertandingi oleh penguasa mana pun. Maka Midas rajin datang ke kuil minta dukungan sang dewa. Dia rajin bersemedi dan membuat sesaji serta siap berkorban apa saja demi menjadi orang terkaya. Dia minta kepada sang dewa agar memiliki tangan ajaib (magic hand) sehingga apa pun yang disentuh berubah menjadi emas. Begitulah, wangsit dan restu dari langit kayangan turun, mengisyaratkan bahwa permohonan Raja Midas dikabulkan sang dewa. 

Maka Raja Midas bergegas pulang ingin segera menyulap istananya dengan tangan ajaibnya agar menjadi istana emas dan menjadi raja terkaya di muka bumi. Demikianlah, sesampai di istana, Raja Midas mulai menyentuh dan mengusap pagar istananya sambil mengucapkan mantera-mantera yang diterimanya sehingga pagar istana itu seketika berubah menjadi emas. Dengan semangat dan tertawa gembira, lalu disentuhlah bangunan rumah seisinya satu per satu sehingga berubahlah semua bangunan istana itu menjadi emas. 

Raja Midas merasa puas dan yakin tak ada lagi orang lain di negerinya yang mampu menandingi kekayaannya. Demikianlah, setelah puas memandangi istana emasnya yang sangat megah dengan tamannya yang luas, Raja Midas mulai merasa haus dan lapar. Maka bergegaslah masuk ke ruang makan ingin segera mengisi perutnya yang kosong dan membasahi tenggorokannya yang kering. Apa yang terjadi? Begitu makanan dan minuman tersentuh tangannya, semuanya berubah menjadi emas. 

Raja Midas kaget, lapar, haus, dan bingung sehingga berteriak-teriak minta tolong. Dengan tergopoh- gopoh, datanglah sang permaisuri yang sudah lama tak bersua dan memang sudah rindu untuk bertemu dengan suaminya. Begitu berjumpa, dipeluknyalah sang permaisuri untuk melepas rindu sambil menangis kebingungan bagaikan anak kecil. Kebingungan Raja Midas semakin menjadijadi ketika mendapatkan kenyataan bahwa sang permaisurinya pun berubah menjadi patung emas akibat sentuhan tangannya. 

Sungguh tragis, sejak saat itu Raja Midas pun merasa kesepian, bingung, sedih, menyesal, mengutuk dirinya, dan akhirnya menjadi gila. Rakyat pun kasihan bercampur gembira. Raja yang serakah telah berakhir. Dia telah menggali kubangan penderitaan untuk diri sendiri. Lalu, adakah Raja Midas di Indonesia? Banyak sekali. Mungkin juga diri kita sendiri. Karakter dan tipologi Raja Midas melekat pada banyak penguasa dan politisi yang rakus, yang menempatkan kemewahan, popularitas, tahta, dan harta sebagai tujuan hidupnya. 

Mereka tanpa sadar hanya mengejar hidup yang tidak otentik, sebuah fatamorgana yang menipu. Dari kecil kita diajari untuk mengejar dan mencari kekayaan dan jabatan. Padahal yang abadi dan bermakna itu bukan apa yang dicari lalu ditumpuk-tumpuk serta disembunyikan itu, melainkan pada akhirnya apa yang diberikan kepada orang lain dan masyarakat dengan niat tulus sebagai rasa syukur kepada Tuhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar