Kamis, 28 November 2013

Babak Akhir Century?

Babak Akhir Century?
Reza Syawawi  ;   Peneliti Hukum
TEMPO.CO,  28 November 2013

  

Pada 3 Maret 2010, melalui voting dalam Sidang Paripurna, DPR memutuskan untuk memilih opsi C atas pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik. Salah satu kesimpulannya adalah sejumlah pejabat, termasuk Boediono (wakil presiden), dinyatakan bertanggung jawab atas kebijakan tersebut.

Pada April 2010, Boediono diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi. Pada 23 November lalu, KPK kembali memeriksa Boediono dalam status yang sama, sebagai saksi dalam dugaan korupsi pemberian FPJP. Menariknya, kedua pemeriksaan tersebut dilakukan oleh KPK dengan cara mendatangi terperiksa. Suatu hal yang tidak lazim dilakukan oleh penegak hukum terkait dengan pemeriksaan dalam perkara pidana, terutama tindak pidana korupsi.

Perjalanan penyelesaian kasus Century agak menarik dicermati karena dimensi hukum dan dimensi politik yang mewarnainya. Mungkin saja tarik-menarik ini terjadi karena salah satu pihak yang diduga ikut bertanggung jawab adalah pejabat negara setingkat wakil presiden.

Pilihan mayoritas anggota DPR atas opsi C sebetulnya menjadi pintu masuk pertama untuk mengambil langkah penyelesaian kasus Century melalui jalur politik. Ketika DPR menyatakan bahwa pengucuran FPJP adalah sebuah pelanggaran, DPR sebetulnya memiliki hak untuk melanjutkannya kepada tahap "menyatakan pendapat". 

Sayangnya, kalkulasi politik di parlemen cenderung berpihak pada pemerintahan yang sedang berjalan. Pilihan itu kandas dan hanya berakhir pada pembentukan tim pengawas Century DPR yang bertugas mengawasi pelaksanaan rekomendasi atas opsi C yang telah diputuskan.

Saat ini, penyelesaian secara politik agak sulit dilakukan mengingat usia pemerintahan yang memang tinggal menghitung bulan. Koalisi pendukung pemerintahan (sekretariat gabungan) sepertinya juga tak lagi efektif untuk "mengubur" kasus ini secara politik ataupun melakukan langkah politik lain yang dulu dikesampingkan. Belum lagi mayoritas anggota DPR yang mencalonkan diri kembali sibuk dengan kegiatan di daerah pemilihannya. 

KPK, melalui rangkaian pemeriksaan terhadap Boediono, bisa saja menjadi pertanda mulai melemahnya proteksi politik yang dulu begitu kuat. Sejak penetapan 2 (dua) bekas deputi Bank Indonesia, yaitu Budi Mulya (BM) dan Siti C. Fadjriyah (SCF) sebagai tersangka oleh KPK pada akhir 2012, ada pandangan yang mengatakan bahwa ini akan menjadi "anak tangga" untuk menyentuh aktor di atasnya.

Arahnya tentu saja pada Boediono. Bahkan beberapa pihak mengambil langkah "bertahan" dengan mengatakan bahwa wakil presiden tidak dapat diproses secara pidana karena konstitusi memberikan jalur yang berbeda (impeachment). Dalam tulisan yang lain ("Mengadili Wakil Presiden", 24 November 2012), penulis sebetulnya juga menyampaikan bahwa bisa saja proses impeachment berjalan di DPR dan Mahkamah Konstitusi, tapi proses pidana juga tidak bisa berhenti, keduanya bisa berjalan paralel karena dampaknya menjadi berbeda. Putusan impeachment hanya pada pemberhentian atau tidak memberhentikan, tapi proses pidana akan berakhir pada sanksi pidana atau dibebaskan.

Pemeriksaan yang dilakukan sebanyak 2 (dua) kali terhadap Boediono secara "istimewa" sebetulnya sedikit mencederai proses penegakan hukum yang selama ini dilakukan KPK. Benar bahwa penegak hukum memiliki subyektivitas dalam teknis pemeriksaan, tapi publik tentu saja memiliki penilaian yang berbeda.

Jika pertimbangannya adalah protokoler bagi pejabat negara, apakah KPK menjadi tempat yang sangat tidak aman bagi pejabat negara selevel wakil presiden? Justru ketika pemeriksaan dilakukan di KPK, publik akan melihat hukum telah menempatkan orang dalam posisi yang sama. Bukankah konstitusi juga menjamin perlakuan yang sama di hadapan hukum? Mungkin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 perlu dibaca dan dipahami kembali. 

Penulis termasuk orang yang sedikit khawatir bahwa ini akan menjadi preseden yang buruk dan akan ditiru oleh penegak hukum yang lain. Apakah bisa dibayangkan ketika ada jaksa atau polisi di daerah yang mendatangi kantor atau kediaman pejabat daerah untuk melakukan pemeriksaan? Tentu sebuah pemandangan yang kurang elok. 

Terlepas dari subyektivitas, strategi penyidikan, atau alasan apa pun yang digunakan oleh KPK dalam penyelesaian kasus Century, publik tentu berharap agar perlakuan istimewa tersebut tidak menjadi salah satu sebab dan pertanda mandeknya penuntasan atas kasus ini. Publik juga sangat percaya bahwa KPK memiliki pengalaman yang cukup untuk menyeret pejabat aktif, walaupun baru sebatas pejabat selevel menteri atau anggota DPR.

Langkah KPK hari ini tentu saja bukanlah babak akhir dari penuntasan skandal Century. KPK harus menemukan pelaku utama pengucur Rp 6,7 triliun. Jika tidak, kejadian ini justru akan menjadi pertanda babak akhir dari sebuah drama penegakan hukum Century. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar