Sabtu, 30 November 2013

Degradasi Konstitusi Kepemimpinan

Degradasi Konstitusi Kepemimpinan
Dedi Mulyadi  ;  Ketua Presidium Kahmi Jawa Barat
MEDIA INDONESIA,  29 November 2013

  

KONSEP kepemim pinan selalu menarik untuk dibahas. Teori dan pemahaman yang menelaah tentang diskursus ini juga terus berkembang dan berevolusi dari masa ke masa. Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dan menentukan arah, gerak dan perkembangan sebuah konstalasi. Sejak Republik ini merdeka, kita telah beberapa kali mengalami suksesi kepemimpinan. Sampai saat ini kita belum mempunyai rezim kepemimpinan yang mampu membawa Indonesia ke gerbang kemajuan.

Arus reformasi sebagai antitesis dari rezim Orde Baru, yang dihembuskan kaum muda mahasiswa Indonesia pada pertengahan 1997 dan 1998, sampai saat ini pun belum bisa mewujudkan cita-citanya membentuk pola kepemimpinan yang dapat membawa Indonesia keluar dari berbagai krisis.
Mekanisme pemilu yang seharusnya merupakan wahana seleksi yang sah dan konstitusional sebagai jembatan suksesi kepemimpinan demokratis, juga belum bisa menciptakan kepemimpinan yang ideal. Proses demokrasi yang berlangsung bisa jadi baru dalam tahap seremoni demokrasi yang mewujud dalam sebuah proses pemilihan yang melibatkan seluruh rakyat. 

Adapun, substansi dan kualitas output proses demokratisasi tersebut tidak berjalan dengan baik. Partai politik (parpol) yang diharap kan bisa bertindak optimal dalam menjalankan perannya sebagai intermediary terjadinya suksesi kepemimpinan, juga belum menunjukkan peranannya. Mereka saat ini baru sibuk berbicara memikirkan kepentingan politik dan golongannya serta upaya melanggengkan kekuasaan. Parpol tidak lagi menjadi proses pendidikan untuk menjadi pemimpin, tapi hanya dijadikan sebagai kendaraan politik dengan uang sebagai motor penggeraknya. Tidak jarang juga kepopuleran menjadi indikator penting sebagai salah satu yang dipaksakan.

Mayoritas pemimpin yang tampil ke permukaan gagal merepresentasikan cita-cita kebangsaan. Berbagai indikasi seperti minimnya visi kebangsaan, pudarnya rasa tanggung jawab, maraknya kasus pelanggaran hukum dan praktik asusila jadi bukti tak terbantahkan. Fenomena tersebut hampir merata di semua tingkat kepemimpinan mulai pusat hingga daerah. Bahkan pemimpin yang mengusung serta lahir dari rahim reformasi pun mengalami nasib serupa.

Kegagalan kaum akademikus

Kaum akademikus atau kaum berpikir selalu gelisah ketika berbicara tentang konsep k kepemimpinan. Mereka r pada umumnya dalam bertindak hanya didasarkan pada dua sudut pandang, yakni apa yang dibaca dan didengar. Jarang sekali diinternalisasi dengan apa yang dirasa. Sehingga ketika yang terjadi hanya menginternalisasi pada apa yang dilihat dan didengar, rata-rata kaum akademikus menentukan suatu kesimpulan dalam bentuk kebijakan atau suatu langkah, setelah apa yang dilihat dan didengarnya, yaitu melalui mata dan telinga.

Karena memutuskan sesuatu itu berdasarkan yang masuk pada pikirannya lewat mata dan telinga, yang terjadi kemudian adalah kaum akademi kus punya ketergantungan pada sumber-sumber informasi yang diterima seperti buku, media cetak/elektronik, dan sumber informasi lainnya. Apakah yang menjadi sumber-sumber informasi penyebab ketergantungan kaum akademikus itu memiliki nilai kebenaran yang sesungguhnya? Tentu tidak semua informasi yang masuk tersebut memiliki nilai validitas dan harus diinternalisasi melalui kekuatan rasa. Proses internalisasi kekuatan rasa tersebut justru jarang dilakukan kaum akademikus. Mereka sangat percaya diri, bahwa premis-premis dalam bentuk informasi yang diterima melalui mata dan telinga adalah bernilai benar.

Kaum akademikus pada awal kelahiran awal kelahiran Indonesia beru paya untuk menggagas terbentuknya Republik Indonesia. Setelah merdeka, mereka bergerak untuk menyusun dan menciptakan tatanan ketatanegaraan Indonesia sebagai sebuah negara. Tetapi, mereka sendiri yang menganggap rezim saat itu (Orde Lama) telah gagal dan menggantinya dengan rezim Orde Baru, dan selanjutnya dengan alasan yang sama, diganti dengan Orde Reformasi.

Tidak berlebihan ketika ada anggapan kaum akademikus lah yang membuat desain konflik di Indonesia. Bangsa ini seolah-olah menjadi bahan percobaan untuk mengganti dan bongkar pasang kepemimpinan dan konstitusi. Kita sebagai bangsa telah lupa. Tidak selamanya pemimpin-pemimpin hebat di Indonesia dari Aceh sampai Papua selalu lahir dari kaum akademikus dan terdidik.

Dalam mereposisi kepemimpinan, dibutuhkan perubahan kultur, bukan perubahan politik. Reposisi kepemimpinan dari satu rezim ke rezim lainnya yang pernah terjadi di Indonesia nuansa dominannya adalah perubahan politik, bukan revolusi kultur dan para digma. Indo nesia tidak pernah mengalami Aufklarung dan revolusi seperti yang terjadi di Iran. Jika revolusi kultural yang terjadi, pemimpin yang terbentuk adalah mereka yang lahir dari rahim kultur masyarakat Indonesia. Pemimpin yang mengerti masalah rakyatnya.

Perlunya sintesis

Dari aspek kebangsaan, kenegaraan dan ketatanegaraan, secara konstruktif Indonesia itu sebenarnya bangsa yang tidak mungkin dibangun menjadi sebuah negara. Karena sesungguhnya secara umum persyaratan formal sebuah negara haruslah memiliki kesamaan ideologi, visi, ras, golongan, yang semuanya tertata dengan rapi dan homogen. Indonesia memiliki ideologi pemahaman, ras, suku, bahasa, dan warna kulit yang berbeda. Berdirinya negara bernama Indonesia menjadi sebuah bangsa adalah sebuah keajaiban dunia.

Sehingga negara yang ajaib ini, sepanjang sejarahnya diperlukan pemimpin yang ajaib, yaitu pemimpin yang memiliki keunggulan kompetitif dibanding warga negara yang lainnya. Bahkan secara mitologi, telah sejak lama orang Indonesia beranggapan bahwa seorang pemimpin diyakini memiliki kesaktian, bukan hanya kesaktian akademik, melainkan kesaktian spiritual.

Secara pragmatis, pemimpin itu memiliki keterbatasan dan kekurangan. Keterbatasan dan kekurangannya dalah keter batasan aka demik dan keterbatasan politik. Keterbatasan akademik menyebabkan pemimpin terperdayakan logika berpikir akademik yang cenderung menyimpang. Keterbatasan politik menyebabkan pemimpin terperdayakan secara politik, yang berakibat dia terkungkung pada kebijakan yang hanya berpihak pada suatu parpol dan kelompok tertentu. Inilah problem kepemimpinan Indonesia selama ini.

Degradasi konstitusi

Dalam pengelolaan negara modern, rule dan garis pengelolaan negara terletak pada konstitusi, bukan pada kepemimpinan individu yang cenderung terkultuskan. Pengelolaan negara individual kita kenal sebagai model negara teokratis, yakni kekuasaan tertinggi berada pada satu tangan pemimpin yang sekaligus sebagai penentu rule, konstitusi dan penyelenggaraan negara. Dalam negara seperti ini akan sering terjadi pergantian konstitusi seiring suksesi kepemimpinan. Di Indonesia terjadi seperti ini.

Beda dengan negara modern, siapa pun presidennya, konstitusi tentang penyelenggaraan negara, pelayanan masyarakat, jaminan kesehatan, pendidikan, pengelolaan ruang dan infrastruktur, hingga pengaturan welfare state (negara kesejahteraan), cetak birunya tecermin dalam konstitusi. Pergantian kepemimpinan tidak mengubah arah konstitusi dan konsep welfare state akan terus berkelanjutan.

Kelemahan para pemangku kebijakan negeri ini, telaah akademis tentang kepemimpinan lebih didasarkan pada penguatan aspek mekanisme, yang didasarkan pada sentimen kelompok partai dan kelompok kepentingan. Sehingga konstitusinya terus berubah, sedangkan peran dan fungsi seorang pemimpin untuk menyejahterakan masyarakat justru terabaikan. Inilah salah satu faktor kenapa reformasi belum dapat memecahkan kesejahteran publik, dan baru sebatas memecahkan kebebasan publik.

Dari sudut pandang degradasi konstitusi kepemimpinan, penulis cenderung untuk mengatakan bahwa bangsa ini tidak sedang mengalami krisis kepemimpinan, tetapi lebih kepada krisis opini kepemimpinan dan degradasi konstitusi kepemimpinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar