Minggu, 24 November 2013

Diplomasi dan Etika Persahabatan

Diplomasi dan Etika Persahabatan
Ferry Ferdiansyah  ;   Mahasiswa Pasca Sarjana
Universitas Mercubuana Jakarta, Program Studi Magister Komunikasi
SUARA KARYA,  23 November 2013
  

Hubungan bilateral antara Indonesia-Australia kembali memanas, kali ini bermuara dari beredarnya dokumen intelijen Australia tentang penyadapan telepon yang disampaikan Edward Snowden. Media penyiaran Australia Broadcasting Corporation (ABC) dan harian The Guardian pun merilis penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menteri, diplomat, dan beberapa pejabat negara Indonesia lainnya termasuk Ibu negara Ani Yudhoyono dan mantan Wapres Jusuf Kalla. Dalam bocoran dokumen tersebut, badan intelijen elektronik Australia, Defence Signal Directorate, telah melakukan tindakan pelacakan terhadap aktivitas telepon seluler Kepala Negara RI, selama 15 hari pada Agustus 2009 saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjabat sebagai perdana menteri.

ABC pun mengemukakan, salah satu dokumen itu berjudul "3G Impact and Update" telah memetakan upaya intelijen Australia untuk mengimbangi pertumbuhan teknologi 3G di Indonesia dan seluruh kawasan Asia Tenggara. The Guardian pun melaporkan hal yang sama, Australia dan AS menjalankan operasi pengintaian bersama terhadap Indonesia, saat digelarnya pertemuan iklim PBB di Bali pada 2007.

Apa pun alasannya, tetap saja tindakan tak terpuji ini telah mengingkari nilai persahabatan kedua negara. Efeknya, bukan hanya dirasakan Menlu Marty Natalegawa yang meradang, Presiden SBY juga mengutuk tindakan tak terpuji ini. Bahkan seluruh lapisan masyarakat negeri ini pun mengambil sikap kekecewaan mendalam atas tindakan negara kanguru tersebut.

Melalui siaran resmi, Presiden SBY mengatakan, Indonesia akan mengkaji ulang kerja sama dengan Australia, terutama tiga program kerja sama yang sementara dihentikan. Termasuk di dalamnya kebijakan penting menyangkut pencari suaka ilegal yang menjadi salah satu mata kampanye terpenting pemerintahan PM Tony Abbott. Sangat wajar, Presiden SBY murka terhadap insiden ini karena selama ini antara Indonesia-Australia menjalin hubungan diplomatik yang sangat baik. Namun, tindakan tak terpuji ini menunjukan sikap congkak yang ditunjukan Australia terhadap bangsa ini.

Tak dipungkiri, meski negeri kanguru merupakan negara donatur terbesar bagi bangsa ini. Terutama di bidang pendidikan yang dibuktikan dengan adanya kehadiran ribuan pelajar Indonesia menempuh pendidikan di Australia dengan bantuan dari negara tersebut. bahkan Australia pun berniat melakukan pembangunan di kawasan timur terutama NTT, sepatutnya, niat baik ini disesuaikan dengan tindakannya. Dapat dipastikan memanasnya hubungan persahabatan ini, bukan hanya dirasakan Indonesia yang akan mengalami kerugian yang begitu besar, Australia pun akan merasakan hal yang sama.

Sejak negeri ini ada, Australia selalu menganggap Indonesia merupakan negara yang sangat penting. Meski dilihat dari sejarah kedua negara selalu mengalami konflik silih berganti. Di antaranya, turut campurnya Australia ketika berpihak kepada Malaysia waktu terjadinya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Saat itu, militer Australia mendukung Malaysia terlibat pertempuran dengan militer Indonesia di Borneo (Kalimantan). Insiden berkurangnya wilayah Indonesia tahun 1999, yakni Timor Timur (sekarang Timor Leste), akibat dari turut campur Australia. Namun anehnya, keberadaan bumi khatulistiwa ini tak akan pernah terabaikan dan selalu mendapatkan prioritas utama dalam berbagai kebijakan nasional Australia bagi setiap pemerintahan yang berkuasa.

Perhatian ini dilatarbelakangi kepentingan Australia terhadap negeri ini yang cukup tinggi. Baik secara geopolitik dalam konteks Asia Pasifik, maupun dari letak geografis. Negara seluas 1.904.569 km2 dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, dengan kekayaan alam yang melimpah, dengan 17.000 pulau, dan dengan beragam etnis dan kebudayaan, jika terjadi perpecahan kongsi, akan membawa dampak kerugian yang cukup besar bagi Australia. Dapat dipastikan, Pemerintah Indonesia akan melakukan blokade perairan yang selama ini menjadi jalur perdagangan Australia. Padahal, selama ini sebagian besar perdagangan yang dilakukan Australia dengan negara-negara lain yang menuju negara-negara Asia Timur, seperti China dan Jepang, harus melewati perairan Indonesia.

Ketegasan Pemerintah Indonesia menyikapi permasalahan ini patut diapresiasi. Sepatutnya dalam hubungan diplomatik, kedua negara saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai perssahabatan. Bukan sebaliknya mencurigai bahkan sampai memata-matai sahabat sendiri. Sangat wajar, pemerintah bersama rakyat Indonesia akan merasakan kekecewaan mendalam terhadap peristiwa ini.

Berangkat dari kasus penyadapan itu, dipastikan sejumlah agenda kerja sama telah dikaji ulang. Di antaranya, kerja sama pertukaran informasi dan intelijen. Ikut dihentikan sementara latihan bersama antara tentara Indonesia dan Australia, baik TNI AD, AU, AL maupun latihan yang sifatnya gabungan. Coordinated military operations pun mengalami hal yang sama, dihentikan sampai semuanya jelas. Termasuk, pembatalan jadwal kunjungan resmi pejabat Indonesia. Di antaranya, jadual Menteri Agama Suryadarma Ali untuk sebuah seminar tentang kerukunan beragama ke Melbourne, pekan depan dibatalkan dengan alasan menteri sedang sibuk menyelesaikan laporan keuangan kampanye.

Memang, selama ini, Pemerintah Indonesia lebih mengutamakan soft power dalam penyelesaian konflik. Tampaknya inilah yang sedang dimainkan pemerintah dalam menyikapi masalah penyadapan oleh Australia.

Sangat beralasan bila Presiden SBY akhirnya mendorong kedua negara menyepakati kode etik atau semacam protokol yang mengatur kerja sama Indonesia-Australia di berbagai bidang ke depan. Tujuannya agar masing-masing negara saling menghargai dan menghormati serta menjaga etika dan norma persahabatan. Sikap ini merupakan bagian dari strategi Indonesia yang menegaskan kekecewaan mendalam bangsa ini, akibat insiden penyadapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar