Sabtu, 30 November 2013

Jati Diri Ekonomi Nasional

Jati Diri Ekonomi Nasional
Bernhard Limbong  ;  Doktor Hukum Pertanahan; Magister Hukum Bisnis
KOMPAS,  28 November 2013
  


BANGUNAN ekonomi Indonesia ambruk tatkala badai krisis menimpa negeri ini pada 1997-1998. Fondasi ekonomi konglomerasi berbasis KKN itu hancur begitu Rp 600 triliun dana para konglomerat terbang ke luar negeri. Tak ada pilihan kecuali minta bantuan kepada IMF.

Indonesia bisa bertahan berkat kerja keras petani, nelayan, peternak, petambak, perajin, petenun, tukang, guru, pedagang, perawat, usaha mikro, dan koperasi. Realitas itu menyadarkan semua pihak bahwa jati diri ekonomi Indonesia sesungguhnya adalah ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi konglomerasi.

Namun, globalisasi ekonomi di bawah rezim neoliberalisme justru semakin mengimpit perekonomian kita. Indonesia ibarat rumah tanpa daun jendela: modal dan produk asing bebas masuk-keluar. Aset-aset ekonomi strategis didominasi asing. Pertumbuhan investasi mempercepat perusakan hutan dan daerah pesisir, menyulut konflik agraria di mana-mana. Kekayaan sumber daya alam pun terkonsentrasi pada segelintir orang.

Semua tertutup pertumbuhan ekonomi yang menembus 6 persen sejak 2005. Pemerintah berbangga diri merujuk semua indikator ekonomi makro yang positif. Kelas menengah bertambah besar. Investasi terus bertumbuh pesat dan konsumsi meningkat tajam. Pendapatan negara (APBN) terus memecahkan rekor hingga mencapai Rp 1.500 triliun tahun 2013 (Rp 1.663 triliun dalam RAPBN 2014).

Akan tetapi, mengapa kita kembali panik ketika krisis menerpa tahun 2008? Mengapa pula hari-hari ini kita cemas menghadapi guncangan ekonomi Amerika? Sampai kapan rakyat terus menderita akibat kenaikan harga BBM, harga barang, dan biaya hidup? Sampai kapan kita berdaulat dalam bidang ekonomi, memiliki keamanan pangan, energi, devisa?

Jawabannya karena pertumbuhan berbasis investasi kapital dan stabilitas pasar finansial sejak 2004 sebetulnya mitos. Jenis pertumbuhan seperti ini amat rapuh terhadap guncangan krisis karena berorientasi keuntungan jangka pendek di pasar modal dan finansial. Jenis pertumbuhan ini tidak pernah menghasilkan kesejahteraan rakyat jangka panjang karena tidak terjadi pertumbuhan total faktor produksi berupa penyerapan tenaga kerja.

Jati diri kita

Kerapuhan perekonomian nasional bersumber pada persoalan mendasar, yaitu pergeseran fondasi ekonomi Pancasila ke ekonomi kapitalisme neoliberalisme, ekonomi konglomerasi. Padahal, jati diri ekonomi NKRI adalah ekonomi kerakyatan berbasis sumber daya alam (agraris dan maritim).

Ekonomi kerakyatan berorientasi pada nilai-nilai fundamental ideologi dan dasar negara Pancasila (ekonomi Pancasila), seperti keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Kerangka bangunan ekonomi kerakyatan ialah Pasal 33 UUD 1945 (Ayat 1, 2, dan 3).

Untuk melaksanakan tugas konstitusional tersebut, kewenangan dan tanggung jawab negara sangat besar dan menentukan komponen sosial-ekonomi dasar, seperti standardisasi harga-harga, upah minimum, jasa layanan sosial (pendidikan, kesehatan masyarakat, jaminan sosial), mencegah praktik monopoli, jaminan pelestarian lingkungan, partisipasi ekonomi rakyat, perlindungan nilai-nilai lokal, dan penghargaan etika.

Paham negara kesejahteraan (welfare state) dalam Pancasila yang dijabarkan dalam UUD 1945 lahir dari pergulatan sejarah bangsa di bawah kolonialisme-imperialisme, kesadaran akan sumber daya alam yang melimpah, kondisi riil sosial-ekonomi mayoritas rakyat Indonesia yang miskin dan hidup di desa-desa, serta budaya masyarakat Nusantara yang agraris, maritim, dan gotong royong. Dengan demikian, pengabaian terhadap nilai-nilai moral Pancasila dan tiga patokan dasar UUD 1945 berarti pengingkaran terhadap jati diri ekonomi NKRI.

Fondasi yang rapuh menyebabkan struktur bangunan ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi dunia. Ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas berbasis sumber daya alam. Industri hilir berjalan lambat. Industri produsen barang modal dan bahan baku minim. Daya saing rendah karena infrastruktur dan teknologi tepat guna minim dan tidak merata.

Selain itu, aset-aset ekonomi strategis 70 persen dikuasai asing sehingga sangat rentan jika terjadi arus balik modal ataupun repatriasi laba perusahaan. Defisit perdagangan kita semakin melebar karena besarnya impor minyak akibat kesalahan pengelolaan energi nasional. Dampak dari semua itu, pengangguran bertambah, devisa tergerus, dan nilai rupiah melemah.

Kita memang tidak bisa menghindari liberalisasi ekonomi dunia. Yang harus dan bisa kita hindari adalah ketergantungan pada ekonomi global: investasi asing, produk asing, teknologi, dan tenaga asing. Satu-satunya cara adalah mengembalikan kedaulatan dan kemandirian ekonomi dengan menegakkan jati diri ekonomi nasional. Itu sangat bisa kita lakukan karena modal kita luar biasa: kaya sumber daya tambang, lautan dan hutan yang luas, jumlah penduduk besar, dan demokrasi yang terus bertumbuh.

Akan tetapi, semua itu masih bersifat potensial. Untuk mengaktualisasikan potensi atau modal-modal besar itu, kita membutuhkan modal besar yang lain, yaitu nasionalisme ekonomi yang dilandasi spirit patriotisme. Dalam era globalisasi, nasionalisme juga mengental di negara-negara maju, seperti Eropa, AS, Jepang, Australia, hingga China dan Korea Selatan. Wujudnya adalah proteksi ekonomi dalam negeri.

Wujud nasionalisme ekonomi Indonesia pertama-tama adalah meletakkan ekonomi Pancasila dan ekonomi kerakyatan di garda terdepan pembangunan ekonomi domestik sekaligus mengatasi berbagai dampak globalisasi ekonomi. Dalam ekonomi kerakyatan, rakyat, seperti petani, nelayan, buruh, tukang, serta usaha mikro dan menengah, menjadi subyek sentral dan aset pembangunan.

Dengan ekonomi kerakyatan, pertanian dan perikanan kita akan dikenal sebagai pemasok pangan dan energi dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar