Minggu, 24 November 2013

Keburukan RUU Penyiaran

Keburukan RUU Penyiaran
Nina Mutmainnah Armando  ;   Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI,
Komisioner KPI Pusat 2010-2013, Aktivis Yayasan Pengembangan Media Anak
REPUBLIKA,  23 November 2013
  


Iklan rokok berjaya di layar kaca. Inilah salah satu ironi di pertelevisian kita. Media siaran yang menggunakan frekuensi milik publik ini justru menyiarkan materi yang membahayakan dan merugikan publik. 

Apa boleh buat, aturan yang ada membolehkan iklan rokok tampil di TV.
Ini dinyatakan dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Memang di situ dikatakan bahwa dalam iklan rokok tidak boleh ada penampilan wujud rokok. Namun, pembatasan semacam itu terbukti dapat disiasati dengan iklan rokok yang tetap atraktif meski tak menampilkan wujud rokok. 

Kini, di DPR sedang berlangsung pem bahasan antara DPR dan pemerin- tah mengenai RUU Penyiaran. RUU ini me rupakan perubahan atas UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bagaimana ketentuan mengenai iklan rokok dalam RUU ini? Kita dapat melihatnya dalam RUU yang diajukan DPR (kita sebut RUU DPR) dan sandingannya yang di susun oleh pemerintah (RUU Pemerintah).

Ketentuan tentang iklan rokok dalam RUU DPR (dikeluarkan pada Oktober 2012) tidak mengubah ketentuan yang terdapat dalam UU 32/2002, yakni tetap membolehkan. Namun, dilihat dari sejarah proses penyusunannya, ketentuan ini berbeda dengan draf RUU yang disiapkan oleh Komisi I DPR pada September 2012. 

Draf RUU DPR tersebut memuat ketentuan tentang pelarangan total iklan rokok. Draf RUU secara tegas melarang disiarkannya periklanan yang mempromosikan zat adiktif, termasuk rokok. Namun, apa yang terjadi? Dalam proses di Badan Legislasi (Baleg) DPR, terjadilah perubahan pelarangan total berubah menjadi pembatasan. Iklan rokok tetap boleh disiarkan asalkan tidak menampilkan wujud rokok. 

Kenyataan ini membuat para aktivis pengusung gagasan pelarangan iklan rokok di media siaran bertanya-tanya: the invisible hand apakah atau siapakah yang membuat terjadinya perubahan ketentuan ini di Baleg DPR? Yang paling dapat menjawab pertanyaan ini tentulah Baleg dan Komisi 1 DPR.

Para aktivis ini kemudian menjadi makin kecewa saat RUU Pemerintah lahir. Pemerintah mengeluarkan ketentuan yang idem ditto dengan RUU DPR, yakni tetap membolehkan iklan rokok di media penyiaran dengan pembatasan. Bahkan, lebih jauh lagi, RUU Pemerintah menghapus ketentuan dalam RUU DPR tentang larangan bagi lembaga penyiaran untuk mempromosikan zat adiktif. 

Jelas sekali rokok adalah zat adiktif. Ini ditegaskan dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 113. Apalagi, pada 2010 uji materi mengenai Pasal 113 dan 116 UU Kesehatan mengenai tembakau sebagai zat adiktif telah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa tembakau tetap digolongkan sebagai zat adiktif.

Indonesia adalah negara yang memberi kebebasan seluas-luasnya bagi industri zat adiktif ini untuk beriklan, berpromosi, dan menjadi sponsor. Padahal, negara-negara lain sudah melakukan pengaturan tentang ini dari beberapa dekade lalu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan pentingnya pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok (disebut total taps ban. Taps: tobacco advertising promotion and sponsorship). Kini, ada 24 negara di dunia yang sudah melakukan pelarangan komprehensif iklan rokok. 

Di antara langkah-langkah menuju total taps ban, umumnya langkah pertama yang dilakukan adalah pelarangan iklan rokok di media penyiaran. Mengapa? Karena iklan TV adalah yang paling potensial memengaruhi kaum muda untuk mengenal dan kemudian mencoba rokok. Hasil penelitian Universitas UHAMKA bekerja sama dengan Komnas Perlindungan Anak pada 2007 di wilayah Jabodetabek menyimpulkan 99,7 persen anak-anak melihat iklan rokok di TV. Survei tersebut menunjukkan 70 persen remaja mengaku mulai merokok karena terpengaruh oleh iklan, 77 persen mengaku iklan menyebabkan mereka mempertahankan perilaku merokoknya, dan 57 persen mengatakan iklan mendorong mereka yang berhenti merokok untuk kembali merokok. 

Tampaknya, predikat untuk tetap menjadi negara yang membolehkan iklan rokok muncul di media siaran akan terus dipertahankan jika melihat ketentuan dalam RUU Penyiaran. Karena RUU ini sedang dalam proses pembahasan antara DPR dan pemerintah, diharapkan tentu saja, baik DPR maupun pemerintah, mau mengevaluasi kembali ketentuan yang mereka ajukan dengan melihat berbagai fakta yang ada. 

Di atas segalanya, ada dua hal yang menjadi dasar pertimbangan. Pertama, media penyiaran menggunakan frekuensi milik publik. Seharusnya, siaran digunakan untuk hal-hal yang membawa manfaat bagi publik. Kedua, rokok adalah zat adiktif yang membahayakan. Logiskah racun adiktif yang jelas-jelas berdampak buruk bagi publik dipromosikan kepada masyarakat dalam sebuah media milik publik? 

Iklan rokok di TV jelas ditujukan kepada kaum muda. Iklannya tampil dalam acara-acara yang disukai remaja, dengan membawa pesan-pesan khas anak muda. Iklannya keren, membuai, dan menyesatkan. Bagaimana tidak menyesatkan? Iklan bagus itu mempromosikan produk yang sangat berbahaya. Tidak heran WHO (2013) menyebutkan perusahaan rokok adalah salah satu dari penjual dan promotor produk yang paling manipulatif di dunia. 

Komnas Perlindungan Anak (2012) menyatakan bahwa bagi industri rokok, perokok muda (anak-anak dan remaja) sangat penting. Mereka yang sedang mencari identitas inilah yang akan terus menjamin keberlanjutan bisnis industri rokok. Anak dan remaja adalah "perokok pengganti" yang akan menggantikan mereka yang telah berhenti merokok atau meninggal akibat penyakit terkait merokok. Selain itu, karena perokok senior sangat loyal dengan merek yang dikonsumsinya, konsumen muda yang masih coba-coba merokok terus digarap dan dipupuk agar tumbuh subur melalui iklan, promosi, dan sebagainya. Jika DPR dan pemerintah bersepakat iklan rokok tetap dipertahankan dalam RUU Penyiaran, itu artinya DPR dan pemerintah memilih untuk mengorbankan anak Indonesia untuk dijual kepada industri rokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar