Minggu, 24 November 2013

Memanggil Tuhan di Akhir Hidup

Memanggil Tuhan di Akhir Hidup
Gurgur Manurung  ;   Aktivis Sosial dan Lingkungan Hidup
SINAR HARAPAN,  23 November 2013
  


Banyak orang pergi merantau meninggalkan kampung halaman dan orang tua, pergi merantau untuk meraih cita-cita. Suka dan duka anak rantau begitu banyak. Salah satu hal yang mendalam di benak anak rantau adalah rindu kampung halaman dan keluarga, khususnya orang tua.

Waktu terus berjalan, umur terus bertambah. Dalam titik tertentu muncul masalah yang tidak dapat dihindari, yaitu ketika orang tua yang ditinggalkan sakit karena usia uzur.

Anak rantau diperhadapkan kepada berbagai persoalan. Persoalan utama adalah siapa yang merawat orang tua ketika sakit di usia tua di kampung halaman? Anak rantau diperhadapkan kepada kecintaan kepada orang tua dan pekerjaan di perantauan. Mengurus orang tua dan keluarga di perantauan. Hidup di antara orang tua, istri/suami dan anak-anak, apalagi jika diperhadapkan dengan keadaan ekonomi yang lemah.

Beberapa waktu lalu, seorang ibu yang usianya sudah uzur bersusah payah datang dari Pulau Samosir, Sumatera Utara, untuk menjumpai anak dan menantunya ke Tangerang, Banten. Ketika tiba di Tangerang, ibu yang sudah uzur ini sakit dan dilarikan ke rumah sakit.

Warga sudah sangat waspada agar ibu ini tidak meninggal di tempat perantauan anaknya karena anaknya bekerja sebagai tukang bengkel, istilahnya tukang tempel ban. Mereka pucat karena apa yang dikhawatirkan terjadi, tetapi kekhawatiran mereka tidak lama karena Tuhan menolong mereka.

Mayat si ibu itu dapat dibawa ke Pulau Samosir dan pesta adat berjalan dengan baik di Pulau Samosir. Tuhan tidak membiarkan mereka dalam kekhawatirannya yang sangat dalam.

Persoalan yang amat sulit muncul ketika si orang tua sakit di usia uzur dan orang tua tersebut tidak mau tinggal bersama anaknya di tempat perantauan. Alasan tidak mau tinggal berbagai macam.

Pertama, tidak merasa nyaman karena menantu dianggap tidak ikhlas atau dianggap menimbulkan konflik karena merawat orang tua yang sakit tidak mudah. Ada orang berkurang nafsu makannya ketika ada orang lain sakit di sekitarnya. Orang semacam ini disebut jijikan.

Kedua, dia tidak memiliki teman berbincang-bincang. Ketiga, tidak betah karena bukan habitatnya atau tempat yang terbiasa dia tinggali. Keempat, tidak ada yang mengurusi hewan ternaknya di kampung halaman, dan lain sebagainya. Alasan-alasan semacam ini membuat orang tua berjauhan tinggal dengan kita anak rantau.

Ketika muncul masalah orang tua yang sudah uzur memilih harus tinggal di kampungnya dan anak-anaknya harus bertanggung jawab atas keluarganya di perantauan, sikap seperti apa yang harus dilakukan? Pertanyaan inilah yang harus dijawab. Tidak sedikit orang gamang untuk menjawabnya, apalagi, jika suami istri tidak seia-sekata dalam mengambil keputusan.

Keluarga yang tidak memiliki kehangatan akan pusing tujuh keliling. Mereka akan kehilangan arah dalam mengambil keputusan. Ditambah lagi jika anak-anak orang tua yang sakit tersebut menghindar untuk merawatnya. Berbagai alasan muncul untuk menghindar.

Tidak sedikit kasus yang demikian. Mungkin hal semacam itulah latar belakang munculnya lagu yang mengatakan, “Kristen daku tetapi daku melanggar perintah-perintah-Mu”.

Dua puluh tahun lalu, saya meninggalkan ayah dan ibu untuk pergi kuliah. Tahun 1994 ketika saya di bangku kuliah semester 5, ayah saya meninggal.
Kini ibu saya dirawat di sebuah klinik di Laguboti Toba Samosir, Sumatera Utara. Bersyukur kepada Tuhan, ada seorang dokter membuka klinik yang sangat menolong, khususnya menolong kita yang mengalami persoalan keluarga yang anak-anaknya di rantau, sementara orang tuanya di kampung halaman.

Dokter Jumala Marpaung, namanya. Dia bersedia mengunjungi orang tua yang sakit ke rumah-rumah dan juga dapat merawatnya di klinik yang dia dirikan. Kita anak rantau bisa mengetahui perkembangan kesehatan orang tua kita setiap saat.

Satu bulan terakhir, saya sudah dua kali pulang. Seminggu berselang-seling. Kampung halaman saya itu sekitar tujuh jam perjalanan dari Bandara Kuala Namu, Sumatera Utara. Ada orang yang mengatakan hal ini saya lakukan karena saya banyak uang, padahal menurut saya, persoalannya bukanlah ada uang atau tidak.

Pertanyaannya adalah seberapa pentingkah kita merawat orang tua kita di masa tuanya? Banyak orang membiarkan orang tuanya tanpa perawatan yang optimal di akhir hidupnya karena orang tua itu menuju kematiannya. Tidak sedikit orang begitu tersiksa ketika masalah semacam ini muncul dalam hidup mereka.

Beberapa kendala mengapa orang mengalami kesulitan. Kesulitan yang sering kali muncul adalah kesehatian anak-anaknya untuk membiayai perawatannya, apalagi dalam persepsi mereka toh juga menuju kematian.

Dirawat atau tidak juga menuju kematian. Ditambah pula ketika anak-anaknya tidak memiliki keterampilan khusus untuk membersihkan orang tua yang sakit. Kejadian semacam ini rentan menimbulkan konflik jika tidak memiliki keterampilan khusus.

Persoalan ini akan terjawab jikalau orang tua kita dirawat di klinik atau di rumah sakit. Jika hanya dijaga di rumah, ceritanya sangat menyedihkan. Lain halnya, jika dirawat dengan sukacita oleh anak-anaknya. Dalam peristiwa inilah ujian siapa kita sebenarnya terhadap orang tua.

Saya bersyukur sekali kepada Tuhan, Dokter Jumala Marpaung membuka kliniknya di Laguboti. Saya bisa membagi waktu antara orang tua, istri, dan anak-anak saya di perantauan. Istri saya juga datang melihat ibu saya di kampung halaman ketika sakit.

Kami bisa pulang bersama ke perantauan dan menitipkan ibu saya di klinik yang dipimpin Dokter Jumala Marpaung. Kami bisa berkomunikasi dari Tangerang ke Dokter Jumala yang merawat ibu saya. Kami bersukacita atas gagasan pendirian klinik semacam ini. Klinik ini sangat menolong kami.

Hal yang membuat saya sangat bersyukur adalah istri Dokter Jumala Marpaung sangat fasih bermain organ. Istri Dokter Jumala Marpaung, yaitu Ibu Sitorus. Ibu Sitorus ini memainkan organnya dan melantunkan lagu-lagu rohani bernuansa Batak.

Walaupun ibu saya sekarat, kelihatan sekali wajahnya riang gembira jika mendengarkan lagu-lagu rohani dan lagu nostalgia yang menggembirakan, terutama yang memancing badannya untuk manortor (menari). Pernah secara spontan meminta saya untuk mendirikan dia agar bisa manortor.

Betapa sukacitanya saya melihat ibu saya begitu bersemangat di akhir hidupnya ini. Dia membutuhkan badannya bersih, harum, dicium, dan dipeluk. Ibu saya selalu menginginkan ciuman dan pelukan saya. Ketika saya kembali untuk istri dan anak saya, Ibu Sitorus dan Dokter Jumala dan perawat merawatnya dengan baik. Mereka dapat menggantikan kasih sayang kami.

Banyak orang berkata, semoga ibumu lekas sembuh. Dalam hatiku mengingat surat terakhir Pdt Eka Darma Putra, janganlah doakan agar umurku bertambah panjang. Doakanlah agar istri dan anakku digendong Tuhan. Kalau saya meminta sahabatku, doakanlah agar ibu saya yang buta huruf dan tidak pandai berdoa itu menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan dan juru selamatnya.

Selama ini, dia selalu mengelak untuk memimpin doa, walaupun dia sangat aktif di gereja, bahkan anggota kumpulan persekutuan kaum ibu, waktu saya mau kembali ke perantauan, dia minta agar dia memimpin doa. Dia hanya berkata, ”Berkatilah anakku ini, jagalah dia.” Betapa bersukacitanya saya ketika dia menyebut Tuhan Yesus dalam penderitaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar