Sabtu, 23 November 2013

Menebar Spirit Artidjo Alkostar

Menebar Spirit Artidjo Alkostar
Akhmadi Yasid  ;   Wartawan Jawa Pos Radar Madura
JAWA POS,  23 November 2013



TENTU saja kita semua penyayang keadilan mengamini putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Angelina Sondakh. Bukan hanya karena keberanian MA yang menghukum berat. Tetapi, ini seperti oase di tengah kehausan keadilan. Seperti sebongkah harapan pada kegersangan hukum yang terkadang membuat kita jengah: antara malu dan bosan.

Putusan MA melalui majelis hakim kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar itu memang patut diapresiasi. Tentu saja apresiasi kita semua merupakan hal wajar. Pidana ''bonus'' bagi janda almarhum Adji Massaid dari 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun itu bagaikan mengobati rasa jengah kita. Itu juga bisa menjadi titik balik panggung sandiwara hukum yang selama ini mempertontonkan adegan kocak dan membuat kita tersenyum pahit.

Di luar apresiasi kita, vonis berat bagi Putri Indonesia 2001 tersebut bagaikan mengirim pesan penting. Sebuah pesan yang sengaja dikirim dari kamar pidana gedung MA kepada kita semua. Pengirim pesan itu seolah ingin mengatakan, ''Masih ada keadilan di sini, di MA.''

Dengan begitu, kita yang selama ini melihat suramnya penegakan hukum mendapat secercah harapan. Melihat setitik cahaya yang semoga akan menjadi efek penegakan hukum selanjutnya. Inilah optimisme yang secara perlahan menyeruak dari balik gedung MA. Inilah potret baru penegakan hukum yang dimotori Artidjo Alkostar itu.

Optimisme penegakan hukum tersebut mengingatkan kita pada legenda hakim keras dan adil dari negeri Tiongkok: Hakim Bao. Hakim pemilik nama lengkap Bao Zheng yang hidup pada 999 sampai 1062 itu dikenal sebagai hakim dan negarawan terkenal zaman Dinasti Song Utara. Meski kita mengenalnya sebagai hakim bersih, oleh musuh-musuhnya, dia kerap disebut Si Hitam Bao karena kulitnya yang memang legam.

Hakim Bao yang populer itu menghiasi banyak karya literatur sejarah Tiongkok. Tak heran, kita di Indonesia pun mengenalnya dengan familier lewat serial drama Justice Bao pada dekade 90-an. Karena ceritanya yang menginspirasi penegakan hukum, sosok Hakim Bao juga kerap menjadi aktor dalam opera dan drama.

Memang, hakim sekelas Artidjo Alkostar barangkali tidak sama dengan Hakim Bao. Tetapi, semangat Artidjo yang cenderung berani melawan arus demi keadilan bagaikan mewarisi watak Hakim Bao. Hakim agung yang berlatar pengacara jalanan tersebut pantang didikte siapa pun. Karena itu, tidak jarang hakim kurus kelahiran Situbondo berdarah Sumenep (Madura) tersebut berani dissenting opinion dengan hakim lain dalam beberapa perkara.

Sejak berbeda dalam menangani kasus Soeharto, ketika hakim agung lainnya menghendaki dihentikan, Artidjo tidak hanya sekali dua kali memutus berbeda suatu perkara. Saat dua koleganya membebaskan Joko Tjandra dalam kasus korupsi Bank Bali, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu menghendaki pidana, meski harus kalah suara. Tetapi, pendapat Artidjo yang berbeda akhirnya dimasukkan dalam putusan.

Belakangan, kegarangan Artidjo makin terasa. Mulai menghukum Anggodo Widjojo dari 5 tahun menjadi 10 tahun penjara, menghukum mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara, hingga Gayus Tambunan yang dipidana 12 tahun penjara dari sebelumnya 7 tahun penjara.

Oktober lalu Artidjo juga menambah secara dramatis hukuman seorang bandar narkoba Alung alias Ananta Lianggara yang asli Surabaya. Dia memberikan ''bonus'' hukuman dari sebelumnya hanya setahun penjara di tingkat PN dan PT menjadi 20 tahun penjara.

Sebelum memvonis Angie, Artidjo juga memperberat hukuman Tommy Hindratno, pegawai pajak di Kantor Pajak Sidoarjo yang terlibat suap. Artidjo selaku ketua majelis menambah hukuman 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun penjara. Dia bersama dua hakim agung lainnya juga menambah hukuman Zen Umar, direktur PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari 5 tahun menjadi 15 tahun.

Semua itu cukup menegaskan kepada kita kiprah ''Hakim Bao'' modern seperti Artidjo. Dengan begitu, mereka yang berada dalam lingkaran putusan ''neraka'' karena ketuk palu Artidjo tidak bisa menyebut ini sebagai pencitraan. Apalagi menyebut sebagai putusan untuk mendapatkan tepuk tangan seperti yang disebut Teuku Nasrullah, pengacara Angie.

Bahwa vonis MA melalui tangan Artidjo ini disebut hanya memuaskan keinginan publik, tentu tidak masalah. Sebab, publik memang menunggu terobosan hukum seperti yang dilakukan Artidjo ini sehingga putusan yang dibuat dirasakan adil oleh masyarakat.

Hanya, apakah cukup seorang Artidjo Alkostar bermain peran sendiri dalam panggung mulia penegakan hukum? Tentu tidak. Seleksi hakim agung akan menjadi titik masuknya. Mereka yang berhak menjadi hakim agung harus mewakili keadilan masyarakat. Bukan mereka yang tersandera oleh apa pun. Seperti halnya Hakim Bao, berani menghukum karibnya sendiri. Kita tunggu saja kiprah ''Hakim Bao-Hakim Bao'' yang lain dari spirit ketegasan Artidjo Alkostar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar