Sabtu, 23 November 2013

Menghalau Demoralisasi

Menghalau Demoralisasi
Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  22 November 2013



PENYADAPAN telepon sejumlah tokoh Indonesia oleh Australia menjadi skandal hubungan diplomatik. Indonesia memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Australia untuk konsultasi. Tentang penyadapan itu, Perdana Menteri Australia Tony Abbott sepintas menyatakan negaranya bermaksud membantu. Apa arti membantu? Siapa yang dia bantu? Di Indonesia sebagian anggota masyarakat menafsirkannya sebagai pelanggaran etika moral dalam hubungan diplomatik yang menghina NKRI. Penyadapan antarnegara sebenarnya biasa dilakukan, masing-masing demi keamanan maupun kepentingannya. Indonesia pun melakukannya. Namun, tentu akan timbul masalah bila tindakan itu terungkap. Indonesia sebagai negara besar Asia yang berpenduduk ke-4 terbesar di dunia wajar bahwa rawan terhadap penyadapan.

Di harian Sydney Morning Herald minggu ini, ahli pertahanan dan hubungan nasional Australia Philip Dorling menyampaikan opini bahwa pemerintahan Australia tidak pernah percaya pada Indonesia yang sistem politiknya meragukan, penuh teka-teki, dan korupsi. Ada sentimen seperti itu yang membuat pejabat-pejabat dan politisi mereka merasa perlu mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang Indonesia. Di pihak lain, ada juga penafsiran bahwa tujuan Australia membantu karena menganggap sejumlah elite Indonesia tidak transparan. Penyadapan atas sejumlah tokoh Indonesia mungkin mereka harapkan bisa mengungkap fakta tersebut.

Karut-marut situasi politik Indonesia akhir-akhir ini, yang banyak tercemar oleh perilaku pelaku-pelaku politik yang melanggar sopan santun pergaulan antarmanusia dan antarpribadi, bisa menimbulkan berbagai interpretasi, termasuk di kalangan masyarakat luar negeri.

Dilema kita bersama

Jawaban untuk menghadapi dilema yang kita hadapi tidak sederhana. Manusia masih saja menempuh jalan historis ke arah persaingan yang menimbulkan permusuhan. Yang memisahkan satu negara dengan negara lain, antara satu manusia dan manusia lain, terutama ialah keakuan dan keinginan untuk menang. Sebagian didasari keserakahan. Kita sadar akan krisis ini. Untuk mencoba mengatasinya, kita selama ini mencoba mengubah sikap dan perilaku kita. Namun rencana-rencana, pakta-pakta, konferensi-konferensi yang bersifat nasional maupun internasional terbukti tidak mampu memecahkan inti persoalannya. Problem ini menjadi problem dunia yang menuntut penyelesaian bersama.

Itulah yang antara lain menyebabkan masyarakat modern di mana-mana tertarik pada politik. Masa depan terletak di tangan orang-orang yang memiliki ideologi dan memandang jauh ke depan. Ada kaitan antara kemerdekaan, demokrasi, dan ideologi. Ideologi bisa memberi penyelesaian masa kini untuk problem-problem yang ditemui manusia sejak masa lampau. Tanpa ideologi, demokrasi ibarat etalase toko yang terang-benderang tanpa barang. Dengan ideologi, demokrasi akan bergerak dari sekadar ungkapan-ungkapan menjadi tindakan-tindakan, karena bukan dilakukan oleh orang per orang atau kelompok, melainkan dilakukan bersama atas dasar kesepakatan bersama. Bisa disimpulkan, ideologi tanpa demokrasi akan mudah hilang. Sebaliknya kemerdekaan dengan ideologi akan membantu kita bersama mengatasi masalah-masalah hingga kita bisa mengharapkan datangnya masa depan yang kita idamkan.

Rujukan lima M

Menurut pemberitaan minggu ini, pembukaan Sidang Paripurna ke-2 DPR RI hanya dihadiri kurang dari separuh anggotanya. Itu membuktikan kurangnya komitmen para anggota dalam peran mereka sebagai wakil rakyat sekalipun orang-orang terhormat itu mendapat remunerasi tinggi, belum lagi fasilitas-fasilitas lain yang memadai. Dalam kaitan ini, perbincangan televisi banyak membahas masalah kurangnya program pendidikan kepemimpinan, khususnya di kalangan kader-kader partai politik. Yang dimaksud bukan hanya kemampuan mereka sebagai wakil rakyat, tetapi bahwa sikap dan perilaku mereka tidak menggambarkan peran sebagai pemimpin yang wakil rakyat.

Dalam peran itu mereka dituntut menjadi pemimpin yang memberikan teladan kepada rakyat. Kenyataannya, sebaliknya sebagian malahan melakukan pelanggaran etika moral; bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi bahkan sebagai anggota masyarakat biasa. Berita-berita tentang korupsi besar-besaran yang tak kunjung reda sebagian menyangkut anggota-anggota DPR. Hukum terkesan diputar-putar tanpa menemui titik kesimpulan. Penyakit suap menjangkiti sebagian petinggi pengadilan. Berita-berita itu terbukti telah meluas ke luar negeri dan menimbulkan bermacam interpretasi. Kapan berakhirnya?

Menghadapi kesulitan sekompleks ini, memang paling gampang menunjukkan sikap kecemasan, putus asa, dan angkat tangan. Sikap itu bahkan ada di antara kaum cerdik cendekia. Pemikiran apatis semacam itu akan membawa masyarakat menuju bencana. Mungkin itu menyebabkan keresahan meluas yang sering berakhir dengan kerusuhan dan kekerasan.

Bila kita tinjau sejarah peradaban lokal kita, kelemahan manusia yang terpapar di sini sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala. Kearifan lokal mengajarkan kepada masyarakat Jawa tradisional, misalnya, agar menjauhi kemaksiatan yang disebut lima M (maling, main, madat, madon, dan minum). 

Dalam kehidupan modern, lima M meliputi `maling' yang artinya pencurian atau penipuan dan korupsi, `main' berarti perjudian, `madat' berarti penggunaan obat terlarang termasuk narkoba, `madon' menyangkut pornografi dan perselingkuhan, sedangkan `minum' artinya mabuk-mabuk an. Apakah larangan lima M yang menjadi rujukan masyarakat masa lalu bisa berlaku untuk masyarakat modern Indonesia? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar