Sabtu, 30 November 2013

Meningkatkan Profesionalitas Guru

Meningkatkan Profesionalitas Guru
Arifah Suryaningsih  ;  Guru SMK 2 Sewon,
Alumnus Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM
SUARA KARYA,  26 November 2013
  


Kita telah memasuki abad millenium, dimana kemudahan akses informasi semakin mendominasi segala lini kehidupan. Keadaan ini merupakan sebuah tantangan bagi bangsa kita untuk mensejajarkan diri dengan bangsa lain, dengan segala potensi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. Jika tidak terus bergerak, maka kita pasti akan tertinggal. Patut disyukuri beberapa hal kita bisa unggul dibandingkan dengan bangsa lain, namun di sisi lain beberapa hal kita juga masih dinilai jauh tertinggal, semisal rendahnya kemampuan bernalar serta rendahnya minat membaca yang keduanya merupakan suatu indikator kemajuan sebuah bangsa.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus 2013 lalu bahwa kemungkinan bangsa ini akan terjebak dalam ekonomi menengah (middle income trap). Dimana masyarakat kita merupakan orang-orang yang pengeluaran per kapita per harinya sebesar 2-20 dolar AS. Dari pengertian tersebut, menurut McKinsey, jumlah kelas menengah di Indonesia dari 2003 sejumlah 81 juta naik sekitar 50 juta orang menjadi 131 juta orang pada 2010. Hal ini tentu merupakan peningkatan yang sangat fantastik.

Namun, peningkatan ini tetap harus diwaspadai. Jangan sampai kita terlena dan terjebak dengan hasil yang sangat cepat. Banyak contoh dari berbagai negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang masuk dalam jebakan kelas menengah, namun pertumbuhannya justru malah jadi tersendat dan menjadi konsumtif akan produk dari negara lain. Maka, peningkatan kualitas SDM harus terus dilakukan agar kita akan mampu bertahan dan bahkan mampu mengungguli negara lain.

Pendidikan merupakan sebuah jalan yang diharapkan mampu membawa bangsa ini kepada kemajuan, dengan guru sebagai garda terdepan pemimpinnya. Tilaar (2012), mengatakan, bagaimanapun bentuk masyarakat yang akan datang, profesi guru tetaplah diperlukan. Fungsi dan peranannya bisa saja terus berubah, namun profesi ini akan tetap langgeng selama manusia memerlukan sosok guru untuk membantu setiap perkembangannya, yang tidak mungkin diserahkan begitu saja kepada kekuatan alam.

Guru diharapkan mampu membimbing anak manusia melalui setiap tahap perkembangannya. Guru dianggap mempunyai pengalaman dan kemampuan khusus dalam membantu anak manusia menjadi seorang yang berkepribadian dan sanggup memasuki dan menghadapi dunia baru yang penuh dengan tantangan dan harapan.

Guru sekarang, bukan lagi disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini terjadi setelah tunjangan sertifikasi guru digulirkan, sehingga guru dituntut untuk benar-benar profesional menjalankan pekerjaannya. Menjadi profesional dibutuhkan sebuah mental transformasional, bukannya malah menjadi transaksional (sekuler-kapitalistik), yaitu sebatas mentransfer ilmu untuk siswanya selama 24 jam mengajar, dan sebagai imbalannya mereka mendapatkan tunjangan profesional.

Itulah tantangan besar seorang guru. Maka, perubahan atas dirinya pun mutlak diperlukan, karena tanggung jawab besar ada di pundaknya. Seorang guru seharusnya mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang kuat serta mau dan mampu meng-update informasi dan pengetahuan yang ada padanya. Masyarakat yang kompetitif tentu saja hanya bisa terlahir dengan bantuan seorang guru yang profesional juga.

Keberanian seorang guru melakukan sebuah transformasi dalam model pembelajarannya adalah sebuah langkah besar bagi dirinya untuk memberikan satu hal terbaik bagi siswanya. Keputusan bertransformasi itu dapat diartikan guru mampu melepaskan segala macam kungkungan status quo lingkungan, keterbelakangan dan juga ketertinggalan. Artinya, ia dia telah menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri dalam mengalahkan egoisme, kemalasan dan juga kenyamanan. Semua dilakukan untuk orang lain, yaitu siswanya.

Hari guru yang diperingati setiap tanggal 25 November bertepatan juga dengan hari kelahiran organisasi terbesarnya, PGRI, yang kini telah memasuki usianya yang ke-68. Di usianya ini, profesi guru di negeri ini boleh dikatakan baru menggeliat beberapa tahun terakhir, setelah kesejahteraannya mulai diperhatikan.

Repotkan Guru

Sinyalemen ini pun nyatanya mampu mendongkrak minat lulusan SMA memasuki LPTK. Terlepas dari pandangan bahwa niatan mereka ini karena sekedar mengejar materi, namun hal ini merupakan sebuah kabar baik, bahwa peningkatan jumlah peminat menjadi guru akan memberikan ruang untuk menyeleksi calon-calon guru yang lebih baik.

Maka, harapan besar akan terlahirnya guru-guru yang lebih berkualitas mulai terbangun. Semua tentu saja harus diimbangi dengan peningkatan kualitas guru yang sudah ada. Keluhan-keluhan dari berbagai pihak akan stagnannya kinerja guru, bahkan menurun pasca kesejahteraannya dinaikkan, harus menjadi lampu kuning bagi pemerintah maupun guru sendiri.

Pemerintah harus menetapkan standar yang lebih jelas dan tegas untuk penilaian keprofesionalan seorang guru. Berubah-ubahnya persyaratan dan ketatnya aturan seharusnya bukan malah menyulitkan dan merepotkan apalagi menambah pekerjaan guru. Kecenderungan yang ada, banyak guru kini malah sibuk memperjuangkan nasibnya sendiri, bolak-balik mengurusi berkas ini dan itu, yang kesemuanya itu justru akan mengganggu kinerjanya pada tataran proses belajar mengajar yang menjadi pekerjaan utamanya.

Sebaliknya guru harus memberikan umpan balik yang seimbang atas perbaikan yang telah diupayakan oleh pemerintah. Integritas, konsistensi dan komitmen seorang guru adalah sebuah harga mati yang harus dimiliki untuk mengantarkan anak-anak didiknya menjadi manusia yang lebih unggul dan berkualitas. Selamat Hari Guru! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar