Sabtu, 23 November 2013

Menyadap dan Keberadaan Negara

Menyadap dan Keberadaan Negara
W Riawan Tjandra  ;   Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Pernah menjadi Visiting Scholars di Flinders Law School, Adelaide, South Australia, Doktor Ilmu Hukum UGM
MEDIA INDONESIA,  22 November 2013



TERUNGKAPNYA operasi intelijen Australia yang melakukan penyadapan saluran komunikasi elektronik pribadi para pejabat tinggi negara RI, termasuk Presiden, saat ini telah memanaskan relasi bilateral di antara kedua negara yang oleh Tony Abbott, PM Australia, selalu dipidatokan sebagai negara yang bersahabat dan bertetangga baik. Di kalangan dalam negeri Indonesia, semakin meluas dukungan terhadap pemerintah RI untuk mengambil sikap tegas yang kemudian berujung pada pemanggilan dubes RI untuk Australia. Namun, penya dapan telepon Presiden SBY dan pejabat Indonesia lainnya oleh badan intelijen Australia DSD (kini berubah menjadi Australian Signals Directorate) ternyata juga memicu reaksi luas di kalangan politikus Australia sendiri.

Dalam sidang di parlemen Senin (18/11/2013) siang, anggota parlemen dari Partai Hijau Adam Bandt bertanya kepada Perdana Menteri Tony Abbott, “Apakah benar Australia menyadap telepon Presiden Indonesia, apakah masih berlangsung, dan apakah Anda mendukung hal itu?”. PM Abbott menjawab secara diplomatis dengan mengatakan, “Semua pemerintah melakukan pengumpulan informasi. Saya tidak akan berkomentar tentang masalah intelijen. Saya tidak ingin merusak hubungan dengan Indonesia.“

Jawaban itu tak memuaskan bagi sebagian politikus di Australia. Bahkan, sebagian besar masyarakat Australia juga mengecam kebijakan pemerintahnya sendiri yang tidak bersedia meminta maaf atas kegiatan operasi intelijen yang melakukan penyadapan atas telepon pejabat-pejabat tinggi di Indonesia. Bahkan, pemimpin Partai Hijau, Senator Christine Milne, juga sampai menyatakan, bahwa penyadapan tersebut akan mempermalukan Indonesia yang kini mengetahui ke tika Tony Abbott berbicara tentang persahabatan dengan Indonesia, ternyata Australia melakukan hal yang sebaliknya.

Mayoritas publik di Indonesia memberikan dukungan atas tiga langkah yang diambil pemerintah Indonesia atas terung kapnya penyadapan telepon para pejabat tinggi RI tersebut. Kebijakan yang diambil pemerintah RI saat merespons sikap pemerintah Aus tralia adalah: (1 Meminta klarifikasi dari dubes Austra lia untuk Indonesia Greg Moriarty, (2) duta besar Indonesia untuk Australia Najib Riphat Kesoema dipulangkan ke Indonesia untuk dimintai keterangan mengenai sejumlah t informasi yang didapatkannya selama mengemban tugas di sana, dan (3) pemerintah Indonesia juga akan mengkaji ulang hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia. Nantinya, Indonesia akan lebih membatasi dan menjaga jarak dengan Australia yang selama ini dianggap sebagai negara tetangga dan sahabat.

Laporan sejumlah media asing yang membongkar operasi intelijen Australia memberitakan badan mata-mata Australia telah berusaha menyadap telepon Presiden SBY dan istri Presiden, Ani Yudhoyono, serta sejumlah menteri dalam kabinet SBY. Sejumlah dokumen rahasia yang dibocorkan whistleblower asal AS, Edward Snowden, yang berada di tangan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The Guardian, menyebut nama Presiden SBY dan 9 orang di lingkaran dalamnya sebagai target penyadapan pihak Australia.

Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa badan intelijen elektronik Australia, Defence Signals Directorate, melacak kegiatan Yudhoyono melalui telepon selulernya selama 15 hari pada Agustus 2009, saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjadi Perdana Menteri Australia. Daftar target penyadapan juga mencakup Wakil Presiden Boediono, yang pekan lalu berada di Australia, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juru bicara presiden untuk urusan luar negeri, Menteri Pertahanan, serta Menteri Komunikasi dan Informatika.

Berdasarkan hasil pooling harian terkemuka di Australia, Sidney Morning Herald (SMH), sekitar 62% dari 10.717 responden di ‘Negeri Kanguru’ itu setuju Australia harus meminta maaf kepada Indonesia terkait dengan skandal penyadapan yang dilakukan terhadap SBY, Ani Yudhoyono, dan beberapa pejabat tinggi. Sejumlah tokoh oposisi dan politisi Australia juga menilai Abbott harus segera meminta maaf dan tidak perlu merasa ‘gengsi’ untuk melakukannya.

Bahkan, mantan duta besar Australia untuk Indonesia, John McCarthy,  mengatakan Abbott seharusnya melakukan pendekatan personal kepada Presiden SBY untuk menenangkan perselisihan. McCarthy yang menjadi dubes Australia untuk Indonesia selama periode 1997-2001, dan kini bergabung dengan mantan Menteri Luar Negeri Australia, Bob Carr, dan tokoh oposisi Bill Shorten, mendesak Abbott segera mengambil langkah-langkah untuk menenangkan situasi diplomatik dengan Indonesia yang memanas akibat skandal penyadapan.

Bocornya informasi penyadapan ini seharusnya bisa menjadi momentum bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membentuk konvensi antipenyadapan yang kemudian bisa ditindaklanjuti dengan ratifikasi di negara-negara dengan mengeluarkan produk hukum berupa undang-undang antipenyadapan. Namun, sebenarnya hukum nasional Indonesia sudah mengatur persoalan larangan penyadapan tersebut. Sesuai dengan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, pada pasal 40 disebutkan tentang larangan penyadapan. Dalam aturan tersebut, tidak hanya WNI saja, tapi juga WNA bisa terjerat. Dalam pasal tersebut, sanksi pidana yang dikenakan berupa hukuman maksimal selama 15 tahun.

Selain itu, dalam UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di jelaskan bahwa masih terbuka peluang untuk tindakan penyadapan. Namun, tindakan tersebut hanya bisa dilakukan oleh aparat pe negak hukum dalam rangka penyidikan, di antaranya kepolisian dan KPK.

Dengan terungkapnya kasus penyadapan tersebut, PBB bisa didorong untuk segera menge ntuk segera menge luarkan konvensi internasional antipenyadapan. Hal itu bisa mendorong lahirnya sanksi hukum yang tegas bagi tindakan negara-negara yang melakukan operasi intelijen dan melakukan penyadapan di negara lain. Saat ini, Indonesia memang tengah berjuang bersama Brasil dan Jerman untuk mendorong mekanisme antipenyadapan di tingkat internasional. Ketiga negara itu sedang intensif menyusun resolusi ke PBB.

Melakukan penyadapan terhadap negara lain sebenarnya mendekonstruksi keberadaban negara pelaku karena wilayah pelanggarannya sudah bukan lagi merupakan pelanggaran kesopanan internasional semata-mata, melainkan sudah memasuki ranah pelanggaran hukum sebagai suatu tindakan yang ilegal. Namun, kompleksitas masalah penegakan hukum nasional di suatu negara untuk menghadapi aksi penyadapan tersebut terbentur pada mekanisme hukum internasional yang sering kali dihadapkan pada hubungan diplomatik yang diatur berbagai konvensi internasional.

Oleh karena itu, langkah pemerintah RI untuk mendorong lahirnya resolusi kepada PBB agar mengeluarkan konvensi internasional antipenyadapan akan berpengaruh terhadap negara-negara yang gemar melakukan penyadapan. Resolusi tersebut diperlukan untuk mengkaji ulang tindakan matamata yang dilakukan sebuah negara di luar wilayah mereka.

Saat ini, resolusi tersebut sedang dibahas di Komisi III PBB yang khusus menangani masalah HAM. Operasi penyadapan di Indonesia dan sejumlah negara juga dilakukan oleh AS.

Resolusi itu akan mendorong adanya aturan baku dan mengikat di internasional tentang praktik penyadapan dan matamata. Dengan begitu, kegiatan mata-mata dan penyadapan selama ini yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain bisa dikaji ulang. Tujuannya agar bisa dibuat mekanisme pengawasan global tentang penyadapan. Negara yang beradab tak perlu saling menyadap! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar